Abel memarkirkan mobilnya di area parkiran disekitar TPU. Setelah mobilnya terparkir rapi, ia langsung berjalan sambil membawa sebuket bunga mawar yang sangat indah.
Abel memasuki pemakaman hingga akhirnya berhenti di sebuah makam yang bertuliskan nama sahabat baiknya.
"Hai, Charen nya gue," ucapnya kepada batu nisan yang bertuliskan nama Charen tersebut. Seolah dia tengah berbincang dengan Charen.
"Lihat gue bawa apa." Abel meletakkan bunga mawar yang di bawanya.
"Bunga mawar kesukaan lo," isakan kecil lolos dari bibirnya yang bergetar hebat.
Suara tawa, wajah ceria, dan senyuman manis Charen berputar di kepalanya membuat Abel terisak hebat. Air mata yang berusaha ia tahan sedari tadi luruh begitu saja.
"Gue kira dari awal lo cuman sembunyi, Ren. Setelah itu lo bakalan dateng dan ngagetin gue kayak biasanya."
"Tapi sampai sekarang lo nggak dateng juga. Ternyata lo memilih ninggalin gue untuk selamanya, Ren, jahat ...," lirihnya disela isakannya.
Ia mulai menarik nafas panjang mengisi paru-parunya yang terasa kosong dan terhimpit, "Maaf ya, Ren. Gue nggak bisa pertahanin persahabatan kita sama Hendra, gue milih buat selesai dari dia."
"Ren ...."
"Kenapa harus elo? Kenapa nggak gue aja? Gue nggak kuat Ren."
"Gue nggak kuat di bully habis-habisan, bahkan ayah ...."
"... Ayah selalu mukulin gue, Ren. Gue nggak bunuh lo tapi kenapa ini yang gue dapetin?" tangisnya kembali pecah.
"Harusnya lo nggak perlu nyelamatin gue waktu itu, harusnya lo lebih mikirin keselamatan lo," lirihnya sambil menangis tersedu-sedu.
Ia kemudian mulai mengusap airmata dengan punggung tangannya "Bahkan gue pergi dari rumah aja nggak di cariin sama sekali, Ren."
"Biasanya tiap gue ada masalah di rumah, gue punya elo. Lo yang janji kan sama gue buat selalu jadi rumah kedua gue."
"Tapi lo sendiri yang ingkarin itu."
"Gue kangen banget sama lo, Ren. Gue kangen lari pagi tiap hari minggu bareng lo, gue kangen nikmatin sunset di taman bareng lo sambil liatin anak kecil main kejar-kejaran sambil tertawa tanpa beban, gue kangen nyanyi-nyanyi di dalam mobil bareng lo. Gue kangen semua tentang lo. Tawa lo, wajah ceria lo, bahkan segala kejahilan lo, lo pasti gitu juga kan, Ren?"
"Dateng sekali lagi, Ren. Kagetin gue lagi, gue nggak akan marah lagi. Izinin gue memeluk lo, sekalipun itu pelukan perpisahan. Mungkin setelah itu gue bakal ikhlas buat lepasin lo," lirihnya sambil terisak hebat.
Ia kembali menghirup udara dengan rakus sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak dan panas.
"Tapi gue yakin, lo sama Bunda selalu jagain gue dari atas sana. Iya kan?" ucapnya dengan suara parau.
"Kayaknya nggak pernah ada yang bisa gantiin posisi lo di hidup gue, Ren. Lo bakalan selalu jadi yang terbaik yang pernah ada, selalu." senyuman yang sangat tipis terbit di wajahnya yang sembab itu.
"Makasih waktu itu lo pernah ada, dan selalu berusaha buat gue bahagia, walaupun akhirnya lo memilih surga."
Hingga hujan deras mulai turun seolah ikut merasakan sesak yang Abel rasakan.
"Istirahat yang tenang disana, Ren. Tungguin gue sampai takdir akhirnya mempertemukan kita kembali." Kemudian dengan sedih, dia beranjak meninggalkan makam tersebut.
Tanpa disadari ada seseorang yang tengah mengintip di sebuah pohon besar tepat di samping makam tersebut dan mendengar semua ucapannya tadi.
----
Abel memilih untuk pulang ke cafe. Ia masih enggan untuk pulang ke rumah. Ia mengingat kembali kejadian kemarin apalagi sampai sekarang ayahnya tidak mencari ataupun sekedar meminta Abel untuk pulang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, tapi Abel masih setia di balcon kamar sambil mendongak menatap langit malam.
Abel mulai membuka ponselnya, membuka kembali playlist di spotify yang pernah dia buat bersama Charen.
Abel memutar lagu dari Betrand dan Anneth Delicia yang berjudul sahabat tak akan pergi sudah entah berapa kali di putar dari tadi.
melangkah ku ke ujung samudera
karna tanpa kamu aku hampa
Lirik lagu tersebut membuat dada Abel seketika sesak, ia kemudian melipat kakinya lalu menelungkupkan wajah diatas kedua lutut, perlahan terisak melampiaskan segala perasaan yang dirasakan.
-----
Pukul setengah tujuh Abel sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Hari ini ia tampak sangat malas karena Haikal tidak akan berangkat karena masih diskors. Tetapi ia juga harus berangkat untuk mengikuti ujian praktek.