"Lo tau darimana?"
Hendra menatap Haikal sejenak sebelum akhirnya dia menjelaskan bahwa dia mengikuti Abel saat akan berkunjung ke makam Charen.
Hendra juga mengatakan semua yang di ceritakan Abel di makam Charen kemarin.
Haikal hanya mendengarkan Hendra sambil sesekali menyesap kopinya.
Hingga akhirnya helaan nafas panjang terdengar dari mulut Hendra.
"Gue beneran ga tau kalau ternyata kejadiannya bakalan kaya gini," ucapnya lirih.
"Lo bukannya nggak tau, tapi lo emang nggak mau tau," sahut Haikal.
"Lo terlalu sibuk sama diri lo sendiri."
"Selama Charen masih ada, Abel juga sering keluar masuk rumah sakit," sambungnya lagi.
Mendengar itu, Hendra menatap Haikal dengan heran, "Ngapain?"
"Hah."
"Lo bahkan nggak tau itu,"
"Atau lo bahkan nggak tau penyakit yang Abel simpan selama ini,"
"Apa?"
Haikal membuang nafasnya kasar kemudian kembali melanjutkan, "Kanker paru-paru."
Mata Hendra kembali membola, sebelum akhirnya kembali menundukkan wajahnya. Yang di katakan Haikal benar adanya. Dia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga dia benar-benar tidak tau apa yang sudah di alami Abel akhir-akhir ini.
"Tapi dia nggak pernah bilang apa-apa ke gue," ucapnya dengan pelan.
"Dari dulu Abel selalu menyimpan masalahnya sendiri, bukan?"
"Lo tau darimana?" tanya nya lagi.
"Charen."
Hendra kembali mengangkat wajahnya hingga tatapannya bertemu dengan Haikal.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama elo, hah?"
"Akhir-akhir ini lo sibuk banget. Nggak tau emang sengaja menghindar atau apa," ucap Haikal santai.
"Gue emang sengaja menghindar. Latihan basket itu cuman alibi gue doang." Hendra berkata dengan lantang.
"Dan lo tau kenapa?"
"Karna gue lihat mereka berdua nyaman banget sama lo ...," ucapnya pelan.
"Gue pikir, mereka udah nggak butuh gue lagi," ucapnya lebih pelan hampir berbisik. Tetapi tentu saja masih terdengar oleh Haikal.
"Nggak habis pikir gue sama jalan pikiran lo."
"Pulang sekolah nanti, temui Abel, minta maaf langsung sama dia. Gue pikir ini belum terlambat."
"Setelah ini gue harap nggak ada lagi alasan buat biarin Abel di bully dengan dalih dia pantes dapetin itu," lanjut Haikal.
"Nggak, Kal. Gue udah terlambat. Bener yang lo bilang, gue terlalu bodoh untuk percaya gitu aja pas Gita datengin gue dan ngomong yang macam-macam tentang Abel," ucapnya sambil kembali menundukkan kepalanya.
"Gue nyerah sekarang. Gue titip Abel buat lo. Setelah mendengar ucapan Abel kemarin, gue udah nggak punya kesempatan lagi buat perbaiki semuanya," lirihnya.
"Maksud lo?"
"Abel memilih untuk selesai dari gue."
"Kapan Gita datengin lo?"
"Waktu satu sekolah lagi heboh karena foto di mading itu," jelas Hendra.
Haikal mengepalkan tangannya dengan kuat, "Ini nggak bisa di biarin."
"Rencana lo selanjutnya apa?" tanya Hendra lagi.
"Gue lagi nyari preman yang di bayar sama Gita buat nyelakain Abel. Gue nggak mau tau, kali ini Gita harus mendapatkan hukuman yang setimpal," ucap Haikal dengan rahang yang mengeras menahan amarahnya.
"Gue mau ikut nyari," ucap Hendra dengan tatapan memohon kepada Haikal.
"Baiknya lo minta maaf dulu sama Abel," ucap Haikal.
"Gue bakalan minta maaf setelah semua ini selesai," ucapnya dengan yakin.
"Ini nggak bakalan mudah, bahkan selama ini gue dan teman-teman udah berusaha nyari. Sampe sekarang hasilnya nihil," sahut Haikal.
"Gue tau itu. Biasanya orang-orang seperti ini bakal menghilangkan jejaknya sebisa mungkin," ucap Hendra dengan yakin.