"Rumah rasanya bukan rumah kalau kamu nggak ada disana, Nak."
Mendengar itu Abel mendengus geli, ia menatap Zaki sambil tersenyum kecut.
"Ayah khawatir kamu kenapa-napa disini, Nak. Ayah nggak tenang kalau kamu ada nggak di rumah."
"Nggak tenang ya, Yah?"
"Bukannya akan lebih baik kalau Abel nggak di rumah?"
"Abel jangan ngomong gitu, Nak. Ayah akan tenang kalau di rumah kamu pasti aman."
Mendengar itu Abel menghembuskan nafasnya kasar ingin rasanya ia menertawakan ucapan ayahnya tetapi justru air mata lah yang mengalir disana.
Abel menghapus airmata nya dengan kasar kemudian kembali mendongak menatap tubuh tegap ayahnya, "Kenyataannya sebaliknya, Yah. Nyatanya, ayah lebih senang marahin aku, mukulin aku karna drama anak kesayangan ayah itu," ucapnya dengan lirih.
Air mata yang tadinya di tahan kini ia biarkan mengalir dengan deras.
Zaki mendekat hendak membawa tubuh putrinya kedalam pelukannya, tetapi Abel langsung mundur beberapa langkah untuk menghindar.
Zaki menghela nafasnya berat, "Ayah khawatir sama kamu sayang."
Abel kembali mendengus geli, "Kenapa baru sekarang, Yah? Kalau emang beneran khawatir harusnya ayah nyariin Abel sejak Abel keluar dari rumah. Tapi ayah baru datang sekarang. Kalaupun Abel mati malam itu ayah nggak akan peduli!" ucap Abel dengan lantang.
Biarlah dia dikatakan durhaka, ia hanya ingin ayahnya tau seberapa sakit yang di rasakan Abel selama ini.
"Dulu ayah janji nggak akan ada yang berupa setelah ayah menikah lagi. Tapi lihat sekarang?" Kekehan geli keluar dari bibirnya.
"Semenjak mereka ada, ayah berubah. Ayah udah kasar sama Abel, ayah udah mukulin Abel, membuat Abel merasa suasana di rumah nggak lebih dari tempat terkutuk."
"Dan sekarang, saat Abel udah nyaman disini, ayah malah nyuruh Abel pulang." Abel menghapus airmata nya dengan kasar.
"Biar ayah dan keluarga ayah itu nyiksa Abel lagi? Biar ayah mukulin Abel lagi? Nggak, Yah."
Zaki hanya diam mematung menatap putrinya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Semenjak Charen meninggal, Abel terus di rundung di sekolah kalau ayah mau tau."
"Dan ayah tau siapa pelakunya? Anak kesayangan ayah itu."
"Semuanya nyalahin Abel atas kepergian Charen. Itu cukup buat mental Abel rusak, di tambah ayah yang terus nyiksa Abel."
"Sakit ayah, sakit!" jeritnya sambil memukul dadanya yang terasa terhimpit.
"Harusnya Abel yang mati bukan Charen ataupun bunda."
"Abel nggak mau hidup kayak gini terus ayah. Tiap kali Abel bangun, Abel merasa takut," ucapnya dengan tubuh yang luluh hingga dia duduk bersimbah dilantai yang dingin.
"Kalau ayah kesini cuman mau bujuk Abel untuk pulang, mendingan ayah pulang aja. Sebelum di cariin sama keluarga sialan ayah itu!" ucapnya dengan lantang.
"Jaga mulut kamu!" tukas Zaki yang sepertinya tidak terima dengan perkataan Abel.
Abel kembali menangis. Seberapa keras pun ia meluapkan emosinya tak membuat Zaki sedikitpun sadar akan rasa sakit yang selama ini ia pendam.
Sebanyak apapun airmata nya menetes tidak membuat keadaan berubah. Zaki tetap akan mempertahankan keluarga barunya, pun Charen dan Bunda tidak akan pernah bisa kembali.
Pikiran-pikiran itu selalu berhasil membuat Abel hancur setiap harinya.
Ia kembali menatap ayahnya dengan nyalang.
"Bahkan saat Abel udah mengatakan sakit yang Abel rasakan secara terang-terangan, ayah masih tetap membela mereka," kekehan geli terdengar di sela-sela isakannya.
"Kamu nggak boleh ngomong gitu. Kamu merasakan semua ini juga karna salah kamu sendiri!" Zaki berkata dengan pelan tapi tajam.
"Kamu mencari masalah mu sendiri, dan kamu selalu merasa jadi yang paling menderita!"
"Ayah diam bukan berarti ayah nggak tau apa-apa. Ayah tau kamu nggak pernah suka sama mereka makanya kamu selalu berusaha untuk menyingkirkan mereka dari keluarga kita. Disini kamu yang jahat, Abel. Kamu yang tidak tau di untung!"
"Kamu iri kepada Gita, itu masalahnya dari awal. Karna ulah mu juga Charen meninggal. Dan lihat sekarang, kamu bukannya merasa bersalah, kamu malah semakin menjadi. Harusnya kamu berterima kasih kepada Gita dan mama kamu. Mereka masih mau menyembunyikan kasus kriminal kamu. Kalau tidak, kamu sudah mendekam di penjara sekarang!" hardik Zaki.
Abel menatap ayahnya tidak percaya. Ia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Zaki. Isakan yang tadinya terdengar sangat pilu kini sudah tidak terdengar lagi.
Abel memejamkan matanya sejenak, merasakan perkataan Zaki yang sepertinya berhasil membuat hatinya bagaikan di sayat oleh pisau yang sangat tajam.
"Pergi," ucap Abel lirih sambil berusaha berdiri dengan sisa tenaga yang ia punya.
Zaki tersentak, ia menatap Abel dengan heran, "Kamu ngusir ayah?"