"Ma?"
Rani hanya menatap Gita dengan dingin.
"Baiklah, Bu. Mari mbak."
"Ma, maafin Gita, Ma, jangan biarin Gita mendekam di penjara, Ma," lirih Gita memelas.
Tetapi Rani masih bergeming, membuat Gita semakin frustasi, "Gita benar-benar minta maaf, Gita nyesal, tolong keluarin Gita, Ma," lirihnya menatap Rani dengan tatapan memohon.
Rani mengalihkan pandangannya kepada Gita, "Kurang apa saya selama ini sama kamu, hah?" Teriakan Rani berhasil membuat Gita tertunduk lesu.
"Selama ini saya menyayangi kamu seperti anak kandung saya sendiri. Tapi lihat apa balasan kamu? Gara-gara kamu saya di ceraikan suami saya, BELUM PUAS?" hardik Rani dengan teriakan di ujung kalimatnya.
Gita mendongak menatap Rani dan Ilham bergantian, tentu saja dia terkejut mendengar kalimat cerai yang di katakan Rani.
"Pa-pa ceraiin mama?"
"Iya. Dan semua itu terjadi karena kelakuan kamu. Kamu yang nggak pernah merasa cukup."
"Dan sekarang apa? Kamu menyesal dan berharap saya membebaskan kamu? Tidak akan."
"Maafin Gita, Ma." Hanya kata maaf yang terus terucap dari bibirnya sambil terus berharap Rani akan merasa iba dan membantunya bebas dari jeratan hukum yang berlaku.
"Terlambat," sela Rani.
Gita kembali menangis sambil menatap Ilham, tetapi yang di tatap langsung mengalihkan pandangannya kearah lain.
"Jalani hukuman yang sudah sepantasnya kamu dapatkan," ucap Rani dingin.
"Mari, Mba," ucap polisi tersebut sambil menuntun Gita memasuki jeruji besi yang terlihat seperti ruangan yang sangat kelam dan mencekam. Tidak ada kehidupan sama sekali disana.
Gita akhirnya pasrah, yang di katakan orang-orang sangat benar, bahwa sebesar apapun penyesalannya sekarang, sudah tidak berarti apa-apa lagi.
Dengan langkah lesu, ia berjalan mengikuti polisi tersebut tanpa penolakan. Baru melangkah beberapa langkah, ia kembali menoleh ke belakang, ia melihat Rani tengah menangis tersedu-sedu sambil melihat kepergiannya.
Gita kembali berbalik mendekati Rani dan Ilham, "Gita gapapa di penjara, Ma. Tapi mama sama kak Ilham mau kan maafin Gita?"
"Gita benar-benar menyesal, Ma, Kak," ucapnya lirih.
Rani langsung membawa tubuh Gita kedalam pelukannya, ia kembali menumpahkan tangisnya membuat rasa iba sekaligus rasa bersalah kembali menghantui Gita.
"Mari, Mba," ucap polisi itu membuat pelukan antara Rani dan Gita lepas.
"Makasih, Ma," ucap Gita tulus, senyuman yang terlihat di paksakan terukir di wajah sembabnya. Ia sama sekali tidak berfikir arah perbuatannya akan berakibat sefatal ini.
Setelah kepergian Gita, tangisan Rani kembali pecah, karena sebesar apapun kesalahan yang di lakukan Gita, walaupun Gita tidak lahir dari rahim nya, tetap saja dia sudah sangat menyayangi Gita.
Ilham langsung memeluk tubuhnya dengan sangat erat, hati nya ikut tersayat melihat keadaan mamanya saat ini.
"Kita pulang ya, Ma. Mama butuh istirahat," ucapnya setelah Rani merasa sedikit tenang.
"Ada Ilham, Ma. Mama nggak sendirian."
Rani mengangguk lemah dan membalas pelukan putranya tersebut dengan tidak kalah erat.
------
Kini kelima laki-laki itu sudah berada di ruang inap Abel. Setelah berhasil menuntaskan masalah di sekolah, Haikal dan teman-temannya langsung datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan Abel.
Sesuai janjinya, orang yang ikut terlibat dalam kasus perundungan Abel akan mendapatkan hukuman juga.
Dengan bermodalkan beberapa bukti, dan hasil demo murid saat itu, akhirnya Intan dan kedua temannya di keluarkan dari sekolah.
Hal itu membuat seluruh siswa menghela nafas lega. Selama ini mereka sudah sangat muak dengan kelakuan Intan dan kedua temannya yang terus merundung siswa yang di anggap lemah.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu terdengar memecahkan keheningan di ruangan tersebut. Karena dari tadi kelima laki-laki itu hanya terdiam sambil menatap Abel yang masih setia memejamkan matanya, mereka terlihat sibuk dengan isi kepala masing-masing.
Gilbert yang posisinya paling dekat dengan pintu segera beranjak untuk membuka.
Setelah pintu terbuka, Zaki langsung berjalan masuk menghiraukan tatapan bingung Gilbert.
"Bagaimana keadaan putri saya?"
Pertanyaan itu cukup untuk menjawab kebingungan Gilbert dan yang lain karena sebelumnya mereka belum mengenal ayah Abel.
Sementara Aidel yang mendengar suara yang sangat familiar itu langsung berdiri dan menatap Zaki dengan tajam, "Keluar!" ketus Aidel sambil menunjuk kearah pintu.
"Saya hanya ingin melihat keadaan putri saya."
"Dia baik-baik saja, dan sekarang silahkan keluar."
Alih-alih mendengarkan ucapan Aidel, Zaki justru berjalan mendekati brankar Abel. Melihat wajah pucat dan tubuh yang sudah kurus tersebut membuat hatinya sakit.
Ia menatap Abel yang masih tertidur dengan tenang dengan tatapan getir.
"Keluar!"
Suara bariton Aidel membuat Zaki kembali menoleh kepadanya, "Maafin ayah, Del. Ayah mau jagain putri kesayangan ayah, kasian dia kesakitan begitu," ucapnya dengan sedih.
Haikal langsung berdecih mendengarkan perkataan Zaki yang sangat berbanding terbalik dengan perlakuannya kepada Abel selama ini.
"Selama ini lo nggak mikir gitu ya? Lo nggak mikir pas lo mukulin dia, dia bakalan kesakitan? Sekarang apa? Setelah keadaannya kayak gini lo dateng dengan perasaan tidak bersalah?"
"Maafkan saya."
"Jangan temui Abel lagi, dia aman sama gue."
"Maafin ayah."
"Cabut lo!"
Zaki tidak bisa berkutik, ia akhirnya mengalah dan berbalik menuju pintu keluar. Ia mengerti bagaimana kecewanya Aidel saat ini. Tetapi penyesalan itu sudah tidak berarti apa-apa sekarang.