“Ves!”
Entah keberapa kalinya, Pak Wawan menegurku, membuatku tersentak.
“Ya, Pak?”
“Jangan tertidur begitu! Ayo, sana, bereskan bukunya! Duh, berantakan sekali toko ini!”
Dalam keadaan setengah sadar aku berjongkok, membereskan buku-buku yang habis dibaca pelanggan dan ditaruh di sembarang tempat.
Sudah sepuluh hari terakhir aku bekerja lembur tiap hari, dari Senin sampai Minggu. Ternyata sangat melelahkan. Berkali-kali aku jatuh tertidur ketika berada di toko maupun di sekolah. Apalagi sekarang awal bulan, banyak buku-buku baru yang datang, aku harus membantu mengeceknya dan membereskannya. Setelah aku pulang, nyaris tengah malam aku baru sampai di rumah setelah bersepeda dari toko ke rumah karena aku menghemat biaya transporku. Belum cukup, aku mandi dan masih harus belajar untuk esok harinya. Aku belajar sampai jam 2 pagi, kemudian jam 5 atau 6 pagi aku harus bersiap untuk ke sekolah. Di sekolah aku mencuri waktu tidur di waktu istirahat. Pulang sekolah jam 2 siang, aku langsung ke toko untuk bekerja sampai jam 11 malam. Hari Sabtu dan Minggu, aku bekerja full time dari jam 10 pagi sampai 11 malam. Itulah rutinitasku selama sepuluh hari terakhir.
Masih teringat jelas olehku kejadian sepuluh hari lalu di kantor Kepala Sekolah. Hari itu, Mama menghadap Kepala Sekolah. Di tengah pelajaran, aku dipanggil ke Kantor Kepala Sekolah. Kami bertiga membicarakan masalah uang karyawisata.
***
Baru kali ini kulihat Mama memohon-mohon seperti itu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, itu semua demi aku.
“Saya mohon, Pak, keluarga saya sedang tak punya uang. Anak saya tidak bisa ikut dalam karyawisata ini.”
“Tapi, Bu, ini wajib sifatnya! Untuk anak-anak kelas 9 seperti anak ibu! Kalau tidak ikut dan tak membuat laporan perjalanan, anak Ibu tak boleh ikut UN dan UAS!”
“Anak saya, kan, juara umum, penerima beasiswa, tidak bisakah diberi keringanan? Saya mohon, Pak ....”
“Tak ada tapi-tapian! Mungkin sekolah lain bisa, tapi ini sekolah unggulan. Kalau Ibu tak bisa membayar, silakan Ibu dan anak Ibu keluar dari sini!”
Mata Mama berkaca-kaca. Aku sangat tak tega melihatnya.
***
“Tidak ada lagi yang mau meminjamkan kita uang. Kita sudah meminjam terlalu banyak. Maafkan Mama, ya,” Mama memelukku erat. Pertama kali setelah sekian lama.
“Mama akan lebih giat lagi mencari orang yang mau membeli karangan bunga Mama. Mama juga tetap akan mencari pekerjaan. Mama usahakan dapat pekerjaan baru, kalau bisa yang lebih baik dari dulu sebelum mama di-PHK, dalam waktu 1 bulan ini. Pokoknya, Mama tidak mau pelajaranmu keteteran karena terlalu banyak kerja lembur,” katanya lagi.
Ada ketegasan dalam suaranya. Aku juga tak mau mengecewakan Mama. Jadi aku melakukan satu-satunya yang bisa kulakukan, mengangguk kuat-kuat, mengiyakan semua perkataannya.
***
Malam itu, sepulang kerja lembur hari Seninnya, kulihat Mama sedang sibuk dalam kegiatannya seperti biasa, membaca koran bagian lowongan pekerjaan.
“Ma?”
“Ves? Kok kamu baru pulang jam segini?”
Aku memeluk Mama dari belakang. “Aku ga mau ngecewain Mama. Aku ga mau ngerepotin Mama. Mulai besok, aku mau kerja lembur tiap hari, dari Senin sampai Minggu. Aku udah minta ke Pak Wawan, dan dia setuju. Kebetulan kasirnya lagi cuti, jadi dia memang sedang mengharapkan aku bekerja lembur.”
“Tapi, pelajaranmu?” Mama menghela napas.
“Aku bisa belajar di sana sambil bekerja, kok, Ma. Tenang aja, aku sekarang bukan anak kecil lagi. Udah bisa ngatur waktu.”
Hening. Mama seperti memikirkan sesuatu yang amat berat. Akhirnya dengan terpaksa, dia mengangguk.
“Maafin Mama, ya, Ves... Mama ga bisa jadi Mama yang baik. Mama yang harusnya nyari duit untuk kamu, tapi sekarang kamu harus kerja mati-matian begini.”
Aku menggeleng. “Ini mauku, kok, Ma. Gapapa. Mama ga salah. Mama udah berusaha yang terbaik buat aku. Aku juga akan berusaha buat Mama. Apalagi aku anak tunggal. Aku akan berusaha membalas kebaikan Mama, meski ga semuanya. Dan ini salah satu caraku untuk membalasnya.”
Aku akan berusaha, walaupun ini berat buatku. Papa, di manapun dirimu, dukung aku juga, ya.
***
Hari ke-24 aku bekerja lembur. Sepertinya aku sudah mencapai batas daya tahanku. Kepalaku sangat pusing, rasanya mau pingsan. Tubuhku terasa meriang. Semalam aku tidur jam 4 pagi gara-gara hari ini ada ulangan Biologi yang bahannya lumayan banyak. Tapi, aku harus tetap bangun dan beraktivitas seperti biasanya, demi mengumpulkan uang untuk tiket dan uang karyawisata.
***
“Ma, aku berangkat dulu, ya,” kataku.
“Ya. Kamu tak apa-apa? Mukamu pucat,” Mama menatapku khawatir.
“Gapapa, Ma. Perasaan Mama aja mungkin,” aku menggeleng. Aku tak mau ketahuan kalau aku sakit. Cepat-cepat aku keluar rumah. Kalau sampai ketahuan aku demam, pasti aku tak boleh masuk kerja hari ini.
***
Sepulang sekolah, seperti biasa aku mengayuh sepedaku menuju toko. Matahari hari ini sinarnya sangat menusuk. Keringatku mengucur deras dan napasku semakin kepayahan. Sedikit lagi aku sampai di toko. Mataku sudah berkunang-kunang. Aku berhenti sejenak di pinggir jalan, menepikan sepedaku yang sudah nyaris hilang keseimbangan.