Chrive

Shiina Lee
Chapter #4

Bab 3

Hari konser akhirnya tiba. Aku sudah berupaya dengan segala cara untuk membuat tiket itu tak lecek, tapi masih saja lecek di sana-sini. Akhirnya aku nekat. Biasanya aku selalu tak tega membohongi Mama, tapi aku ingin, sangat ingin, melihat Christin setelah 9 tahun berlalu.

Hari itu hari Kamis, kebetulan aku tak kerja sambilan, setelah aku kembali ke jadwal kerja awalku.

“Mama,” kataku pagi itu.

Mama mengintip dari balik dapur, “Ya?”

“Hari ini aku izin pulang telat, ya.”

“Kenapa lagi? Bukannya Mama sudah bilang waktu itu kamu tak usah kerja lembur lagi?”

“Aku ... ada tugas. Kerja kelompok di rumah Dio, sampai malam,” Aku bertanya dalam hati apa ini alasan yang bagus untuk berbohong.

“OK, cepat pulang sebelum jam 10, ya!”

“Yah, paling lambat jam setengah sebelas, deh, Ma. Aku pergi ke sekolah dulu!”

Asyik, aku berhasil! Meski merasa tak enak sudah membohongi Mama, tapi aku akan melihat Christin malam ini!

***

Pulang sekolah, aku langsung berganti baju. Aku tak boleh terlihat memalukan di depan penonton lain! Konser masih beberapa jam lagi, dan tadi kulihat antrian penontonnya masih tak terlalu banyak, jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan sendirian di mal dekat tempat konser. Sudah lama aku tidak berjalan-jalan ke mal seperti ini. Terakhir kali, sepertinya, saat Papa masih ada bersama kami.

Aku menuju ke toko CD dan mencari nama Christin di antara album-album yang ada. Dapat! Kucoba mengambil CD itu dan mendengarkannya di mesin pemutar yang terdapat di toko itu. Ternyata lagu-lagunya lumayan juga. Simpel, easy listening, namun ia menyanyikannya dengan bagus dan dengan improvisasi yang bagus pula.

Aku memejamkan mata sembari mendengar suara Christin mengalun di telingaku. Rasa penasaraku membuncah. Masihkah kamu ingat padaku? Masihkah kamu ingat janji itu? Janji yang sama-sama kita ikrarkan dulu, 9 tahun lalu?

***

Jam 7 malam, konser dimulai, setelah menunggu selama tiga jam berdiri berdesak-desakan bersama ribuan orang lainnya. Beruntung, tempatku duduk berada di deretan depan tengah, sehingga aku bisa melihat Christin dengan jelas. Lampu panggung dimatikan, membuat jantungku berdebar tak karuan. Beberapa saat kemudian, belasan lampu sorot menyinari panggung, membuatku menahan napas. Sosok Christin terlihat di layar besar yang ada di kiri dan kanan panggung. Ia tampak amat bersinar.

Memang, ia seperti terlahir untuk tampil di panggung. Penampilannya di atas panggung juga amat memesona banyak orang. Terbukti, karena hampir semua lagu yang dibawakannya diiringi nyanyian penonton. Bahkan, ia sempat turun dari panggung dan mengajak nyanyi bareng penonton deretan VVIP itu. Aku terpana melihatnya.

Seseorang menepuk punggungku saat sedang sesi break. Aku menoleh. Beberapa teman sekelasku, duduk tepat di belakangku. Sepertinya mereka semua pergi nonton bareng. Aku mengetahuinya dari percakapan beberapa temanku akhir-akhir ini.

“Yves? Kok bisa ada di sini?” kata Aria, teman sebangkuku.

“Haha, emang dia ga boleh nonton? Bagus, dong, bisa nonton bareng kita-kita!” Jesse, sahabat sekaligus saingan terberatku di pelajaran, ranking 2 di sekolah, membelaku.

“Christin, ya .... Hmm, cantik juga dia,” kata Dio sambil mengetik di HP-nya. Sepertinya sedang mengirim pesan, entah ke siapa.

“Gimana menurut lo, Ves? Cantik, kan, dia?”

“Ehm, iya, cantik. Suaranya juga bagus,” aku tersenyum.

“Ga nyangka ternyata lo juga nge-fans sama dia!”

Aku diam saja. Tak mungkin, kan, aku bilang, „Ga, kok, tahu lagu-lagunya aja baru tadi sore!‟ 

***

Lihat selengkapnya