“Ves,Ves!” Jesse mengguncang-guncang bahuku.
“Ya, apa?” sahutku setengah mengantuk. Kemarin aku masih harus terpaksa lembur karena aku dan kak Tommy sama-sama cuti saat konser Christin dua hari lalu.
“Udah denger belom? Katanya si Christin hari ini pindah ke SMA sebelah lho!”
“Christin? yang mana?”
“Yang artis itu!”
"CHRISTIN GUE?!"
Aku lekas menggeleng kuat-kuat, kelepasan seperti itu memang tidak pernah mebawa kebaikan. Dengan jari telunjuk teracung aku berkata dengan suara tertahan.
“Woi, jangan teriak kenceng-kenceng, dong! Diliatin tuh!”
‘Apa tadi? Christin gue? Ngayal juga musti lihat-lihat, bro.”
Aku menepis tangannya dari pundakku. Sebentuk pemikiran mendadak muncul. Kali ini aku berbalik, menatap Jesse lurus-lurus.
“Jesse, pas pulang nanti temenin gue liat dia, ya!” pintaku serius.
“Ga ah, waktu itu lu ga temenin gue minta tanda tangan.”
"Cih, ngambek, nih, ceritanya?"
“Ga, kok, Sayangku,” kata Jesse keras-keras sambil merangkulku. “Tapi aku ga mau tanggung jawab kalau nanti kamu kenapa-napa, ya, Sayang.”
Aku memutar bola mataku, dan mendesah kesal, sambil melepaskan diri, “Sayang, Sayang! Pantes aja lo ga dapet-dapet pacar!”
***
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, aku segera mengajak Jesse ke SMA sebelah.
“Yah, sorry banget, Ves. Hari ini supir gue ga bisa jemput katanya, jadi gue nebeng Dio. Tapi Dio mau langsung bimbel abis itu, jadi dia ga bisa nunggu," katanya.
Terpaksa aku nekat sendirian ke SMA Harapan yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari SMP-ku. Takut-takut, aku berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi siswa-siswi berseragam putih abu-abu. Di dekat pintu gerbang, aku berdiri canggung. Tidak sulit untuk menemukan sosok Christin. Cewek itu berdiri di antara gerombolan siswa, termasuk dari sekolah lain, yang sibuk mengabadikan momen dan meminta tandatangan. Jantungku berdebar lebih cepat melihat Christin dari jarak sedekat ini. Christin masih tampak mempesona, sama seperti ketika sembilan tahun yang lalu. Senyumnya yang lebar, rambutnya yang tergerai dan binar matanya yang sangat aku sukai.
Waktu berlalu hingga kerumunan mulai menipis. Christin berjalan ke arah gerbang sekolah, tempatku berdiri. Kakiku terasa semakin lemas seiring dengan langkah kakinya yang semakin mendekat. Ketika ia melewatiku, aku mengumpulkan semua keberanian yang ada dan menyapanya lirih.
“Hai, Christin.”
Ia berbalik, menoleh, menyunggingkan senyum lebarnya. Aku terkesiap.
"Hei, kenapa, Dik?"
Dik? Hatiku mencelos. Pikiranku buyar. Dengan bibir bergetar, aku mencoba memaksakan diri mengucapkan sesuatu.
“Ehm ... aku dengar ... kamu sekolah di sini ... dan aku--"
Kalimatku terputus begitu saja ketika serombongan cowok-cowok mendesakku ke samping, ingin berfoto bersama Christin.
Aku berbalik, menjauhi Christin yang sibuk meladeni para penggemarnya. Sembilan tahun, dan aku sudah menjadi kenangan yang tersembunyi jauh di dalam benaknya.
***
Keesokan harinya aku begitu tak bersemangat masuk sekolah. Kejadian kemarin masih membekas, menorehkan perasaan tidak enak yang menyelubungiku seolah selimut basah.
“Tumben lo ga semangat gitu,” kata Jesse yang mendekatiku, “Lo sakit? Kecapekan lagi kayak waktu itu?”
Aria memegang kepalaku, “Ga panas, kok. Kenapa sih lo?”
Aku menggeleng, masih terduduk lemas di kursiku.
“Kemaren gue lihat lo disapa Christin,” kata Aria.
Aku menegakkan tubuhku. Jantungku kembali berdetak cepat. “Kenapa emang?”
“Kalo gue jadi lo, sih, gue bakal seneng banget disapa kayak gitu!” kata Jesse disambut anggukan Aria.