“Ves, kamu kenapa?” Mama bertanya padaku, melihat ekspresiku selepas mengantar Christin dan Kak Donny. Aku menggeleng dan berusaha tersenyum, “Ga, ga ada apa-apa, Ma. Mungkin agak pusing kehujanan tadi. Aku mau istirahat dulu.”
“Kamu ga mandi dulu? Habis hujan-hujanan begitu, nanti sakit.”
“Nanti aja, Ma. Aku udah ganti baju, kok."
Aku segera masuk kamar dan membanting pintu. Aku bingung sekali akan perasaanku sekarang. Rasanya semua campur aduk. Sedih, sebal, kesal, marah, bingung, semuanya. Kepalaku sakit sekali. Mungkin gara-gara perkataan Kak Donny tadi.
Apa maksud dia mengatakan itu? Benarkah harapanku selama ini sia-sia? Janji yang waktu itu aku dan Christin ucapkan, jadi semua itu dianggap angin lalu saja? Janji yang cuma main-main? Cuma sekadar janji masa kecil yang asal diucapkan? Sayangnya aku tak menganggapnya begitu.
Aku berbaring di kasurku, mengenang peristiwa janji itu. Rasanya sakit sekali jika dibayangkan pada saat seperti ini.
***
Waktu itu beberapa hari setelah ulang tahunku. Christin, sambil menangis, datang bersama kakak dan orangtuanya ke rumahku.
“Kenapa, Christin?” aku menghampirinya. Orangtua beserta kakaknya sedang berbicara sesuatu ke orangtuaku.
“Aku ... besok aku mau pindah ....” isak Christin.
“Pindah? Pindah ke mana?” tanyaku.
“Ke Surabaya ...."
“Surabaya?! Kapan?!” aku terlonjak. Mataku berkaca-kaca.
‘Surabaya kan jauh sekali!’ begitu pikirku waktu itu.
“Dua hari lagi ...” isaknya makin keras, lalu ia memelukku.
“Apa? Kok kamu baru kasih tau sekarang?” aku mulai menangis, “Kalau kamu ga ada, nanti kita gimana ketemunya?”
“Aku ... mau kasih tau ... dari dulu .... tapi ... Ayah ... Bunda ... sama Kakak ... ga ijinin aku ... ke rumah kamu ....” isaknya lagi, “Aku ... aku juga ga tau ... kapan kita bisa ketemu lagi ... abis ini ...”
Seingatku, setelah itu yang kami lakukan hanyalah saling menangis. Kulihat orangtua dan kakak Christin juga bersedih karena keluargaku dan keluarganya berteman baik.
***
“Christin, pulang yuk!” kata ibu Christin setelah sekian waktu berlalu.
“Ga mau!” Christin memelukku, “Aku mau sama Yves!”
“Christin,” ibu Christin berusaha membujuk anaknya, “Kita harus beres-beres. Keperluan sekolahmu, mainanmu ....”
“Bunda ... Bunda boleh pindah ... Ayah boleh pindah ... Kak Donny boleh pindah ... Tapi aku ga mau! Aku mau di sini aja!” Christin terisak lagi.
“Terus kalau di sini kamu tinggal sama siapa?” ibu Christin mengelus rambut panjang anaknya itu dengan penuh kasih sayang.
“Sama Yves, sama Papa dan Mama juga!” kata Christin sambil tetap memelukku.
Dibujuk berkali-kali pun Christin tak mau, bahkan oleh kakaknya dan orangtuaku. Aku sendiri sebenarnya tak rela Christin pergi. Ini terakhir kalinya aku melihat dia, dan aku tak tahu kapan aku bisa bertemu lagi dengannya.
“Ya sudah,” kata Papa, “Christin nginep di sini aja malem ini,” usulan Papa direspon dengan anggukan Mama.
Akhirnya, malam itu pun Christin menginap di rumahku.
***
Malam sudah larut. Papa dan Mama sudah tidur. Namun, aku dan Christin masih saja mengobrol di kamarku. Ia sudah tak menangis lagi. Malah sekarang, di hadapanku, ia tersenyum sangat lebar.
“Kalau udah gede aku mau jadi pengantinnya Yves!”
“Pengantin? Apa itu?”
“Pengantin itu kayak Ayah dan Bunda, kayak Papa dan Mama juga! Jadi suami istri!”
“Oh, begitu! Kayaknya asik, ya!”