Malam itu aku berbaring dengan mata nanar menatap langit-langit kamar. Bayangan Christin, adegan ketika janji itu diucapkan, juga berbagai perasaan kembali menghantam. Perlahan aku memejamkan mata. Sebentuk pikiran muncul, aku harus benar-benar mencari kegiatan yang bisa mengisi masa liburanku ini atau aku akan terus kembali terkenang kepadanya.
Esok paginya aku langsung mengambil sepeda kesayanganku, yang selalu kupakai ketika tidak naik kendaraan umum. Ini hadiah kelulusanku dari ujian piano tingkat akhir. Hanya ini satu-satunya barang yang tak mungkin kulepaskan. Di sana ada kenangan terakhir, ketika keluarga kami masih baik-baik saja.
Kubersihkan debu-debu yang menempel, mengelapnya penuh sayang. Terakhir aku bersepeda sudah beberapa bulan yang lalu, ketika aku mati-matian bekerja sambilan setiap hari sampai sempat pingsan, untuk membayar uang karyawisata. Padahal dulu, saat baru pertama memiliki sepeda ini, hampir setiap hari aku akan berkeliling kompleks, naik sepeda menikmati semilir angin sore. Aku belum tahu ke mana harus mengarahkan sepeda ini. Seingatku tidak banyak toko-toko yang mempekerjakan pegawai paruh waktu apalagi yang masih berstatus siswa tamatan SMP. Namun, paling tidak aku harus mencoba.
Tanpa sadar aku mengarahkan laju sepedaku ke arah toko buku bekas tempatku bekerja. Sekelebat bayangan ketika aku bertemu dengan Christin setelah sembilan tahun lamanya, kembali bermain di pelupuk mata. Aku mengerjap, mencoba mengenyahkannya lalu kembali memusatkan perhatian ke jalanan.
Tepat di ujung jalan, aku melihat rangkaian bunga-bunga ucapan selamat. Naluriah aku mengarahkan sepedaku ke sana. Kemudian aku pun melihatnya. Sebuah papan nama sederhana dengan logo piano mencuat dari balik kerimbunan pohon. Ada beberapa mobil terparkir rapi. Rumah Musik Gema Nada tertulis dengan tinta hitam. Ada sesuatu di balik kata Gema Nada yang serta merta mengingatkan aku akan seseorang.
Aku memarkir sepedaku dan masuk ke sekolah musik itu. seorang resepsionis menyambutku dengan ramah.
“Selamat siang, Dik,” katanya.
“Umm,” kataku gugup, “Saya mau melamar ....”
“Ya? Melamar apa?” tanyanya bingung.
“Apa ada pekerjaan yang cocok untuk saya?”
Kami saling menatap, cukup lama.
“Adik, kalau ingin bermain-main, sebaiknya keluar saja!” resepsionis itu mulai jengkel.
Aku bersikukuh, berdiri tak beranjak.
“Ada apa?"
Suara bariton itu memaksa kami menoleh. Aku terkesiap. Kedua lututku goyah saat menatap tubuh tinggi ringkih yang berjalan lamat-lamat ke arah meja resepsionis. Pria itu masih sama persis seperti dalam ingatanku. Hanya sedikit lebih kurus dan rambutnya memutih di beberapa bagian. Jarak kami tinggal beberapa langkah. Ia menatapku lurus-lurus, seakan hendak memastikan bahwa yang dilihatnya bukan mimpi.
Lalu ia tersenyum samar.
“Ves?” tanyanya dengan suara bergetar.
Aku hanya mampu mengangguk satu kali. “Papa?” balasku lirih.
“Kamu sudah tambah besar ya, Ves. Sudah jadi … cowok yang gagah.”
Aku menelan ludah. Andai bisa ingin rasanya aku berlari pergi, meninggalkan pria yang kepergiannya membuat aku dan Mama terjebak dalam kepahitan hidup. Gemuruh kemarahan menyesaki dada, memaksaku mengepal. Namun mata itulah yang membuatku menunduk, tatapan yang sarat akan penyesalan, kerinduan dan juga rasa malu.
“Pak?” tanya sang resepsionis tanpa mampu menyembunyikan rasa bingungnya.
‘Tidak apa-apa. Ini anak saya.”
Aku menatap wajah di hadapanku tanpa mampu menyembunyikan kebingunganku. Dan rasa bingung itu semakin kentara ketika Papa melingkarkan lengannya, membimbingku masuk ke dalam kantornya.
***
“Bagaimana kabarmu, Ves?”
“Biasa saja, Pa.”
“Kabar Mama gimana?”