Masa orientasi siswa akhirnya dimulai.
Ternyata siswa yang masuk hampir tak ada bedanya dengan siswa yang kutemui di SMP-ku. Sebagian besar dari siswa yang masuk ke sini, bisa kutebak berasal dari SMP-ku. Mungkin karena SMP-ku dan SMA ini berdekatan.
“Sekarang saya akan membacakan pembaguan kelasnya. Silakan berkumpul sesuai kelas kalian,” kata salah seorang kakak kelas yang menjadi mentor. Kemudian ia dan beberapa kakak kelas lainnya membacakan daftar murid menurut kelas, yang sudah dikelompokkan menurut pembagian jurusan saat tes masuk. Aku sendiri mendapat kelas 10 IPA 3, urutan absen terakhir.
“Ves! Kita sekelas lagi!” kata Aria dari depan barisan. Syukurlah, setidaknya aku tak sendirian di kelas ini! Hmm ... sepertinya tadi nama Jesse disebut juga, tapi dia di kelas berapa, ya? Aku tadi terlalu konsentrasi memperhatikan kalau-kalau namaku disebut.
“Para mentor kalian dalam tur singkat keliling sekolah ini adalah ketua kelas dari kelas 11,” kata mentor itu menjelaskan.
Siapa, ya, kira-kira, mentorku? Para ketua kelas berjalan satu-persatu menghampiri kami. Aku menahan napas ketika melihat Christin ada diantara para ketua kelas itu, dan menghampiri rombongan kelasku. Untung aku di barisan paling belakang, jadi tak bisa terlalu banyak interaksi dengan dia. Ia tampak sedikit kaget ketika melihatku ada di barisan paling belakang. Tapi, setelah itu semuanya tampak seakan baik-baik saja. Ia mengajak kelasku untuk berkeliling sekolah.
“Maaf, Kakak itu Christin yang artis itu, bukan?” kata seorang siswa laki-laki di barisan depan. Bukan siswa SMP-ku, wajahnya tampak tak familiar di mataku.
"Ah, iya, betul," Christin memamerkan senyumnya, yang masih saja sangat kusukai.
"Saya boleh foto bareng, Kak?" kata siswa itu lagi, diikuti oleh beberapa siswa dan siswi lain, dilanjutkan dengan sesi selfie berdua-dua antara Christin dan para siswa. Kalau sudah melihat Christin yang begini, aku merasa bahwa aku memang tidak ada apa-apanya dibanding Christin. Sembilan tahun berpisah, semakin memperlebar jarak hubungan diantara kami. Semuanya sudah berubah, tak lagi sama seperti dulu.
“Yves!” aku tersentak, ternyata aku sudah tertinggal jauh dari barisan gara-gara melamun tadi. Christin menghampiriku dan menepuk pundakku perlahan.