Tadinya aku mulai sanggup merelakannya. Merelakan Christin bersama dengan cowok yang ia suka. Namun, akhirnya aku tak lagi bisa, setelah aku tahu bahwa Chris tidak sebaik yang kukira.
***
“Yves, kamu bisa menghubungi Christin?” tanya Mas Adam, gitaris band pengiring Christin. Kami akan latihan untuk penampilan kami minggu depan. Semenjak Christin pacaran beberapa minggu lalu, aku tak pernah pergi berdua dengannya. Ia selalu diantar jemput Chris, sementara aku naik turun kendaraan umum.
“Eh? Saya kira dia sudah sampai duluan? Sebentar, Pak, saya hubungi.”
Aku mengeluarkan ponselku, memencet kontak Christin. Terdengar nada sambung, namun kemudian diputus. Beberapa kali aku mencoba, hasilnya nihil. Mendadak, perasaanku tak enak. Biasanya ia selalu menjawab teleponku, dan kalau ada urusan pun, ia akan memberitahuku. Apalagi untuk urusan pekerjaan seperti ini.
“Ves, sudah bisa?”
Aku menggeleng, sambil terus menelepon. Entah berapa ratus kali aku membuat panggilan untuk Christin, hingga akhirnya tersambung. Mataku melebar saat mendengar isakan Christin dari seberang sana.
“Christin? Kamu kenapa?!” tanyaku panik.
Sebelum ia sempat menjawab, telepon ditutup. Menyisakan kekhawatiran di hatiku dan sejuta tanya di pikiranku.
Ia tak datang latihan malam itu. Pun aku tak bisa berbuat apapun. Aku hanya bisa berdoa dan berharap, di manapun dirinya, semoga Christin baik-baik saja.
***
Ternyata harapanku meleset.
Keesokan harinya, baik Christin maupun pacarnya sama-sama tak kujumpai di kelasnya. Teman-teman sekelasnya pun tak ada yang tahu keberadaan mereka. Membuatku tanpa pikir panjang melakukan segala cara untuk menghubungi Christin. Meneleponnya, mengirimkannya SMS, pesan di media sosial, menghubungi Kak Donny, hingga mendatangi rumahnya dan kantor milik ayahnya. Hanya satu informasi yang kudapat dari asisten rumah tangganya. Christin pergi dijemput dengan Chris dari kemarin sore, untuk pergi ke luar kota. Berkat diplomasi yang entah bagaimana, orangtua Christin menyetujuinya.
Barulah pagi setelahnya, orang yang kucari ada di kelasnya. Matanya terlihat agak sembab. Ia terlihat terkejut ketika aku datang. Meski begitu, aku tak berani mendekatinya karena di sampingnya, Chris menatapku dengan pandangan menusuk.
***
Saat istirahat sekolah, aku berpapasan dengan Chris di tangga darurat.
“Lo yang asistennya Christin itu, ya?”
“Asisten?”
“Ya, Christin kan suka nyuruh-nyuruh lo. Gue kira kayak gimana orangnya, gak taunya kayak banci."
Aku mengatupkan rahangku kuat-kuat. Apa dia sengaja memancing amarahku?
"Gue tau, lo suka sama Christin. Tapi, Christin gak suka sama lo. Gue peringatin lo biar ga deket-deket Christin lagi. Dia itu udah jadi milik gue. Dia suka sama gue. Dia udah tunduk sama gue. Dia bilang ke gue, dia mau ngelakuin apapun buat hubungan kita. Emang bego tuh cewek.”
Aku teringat, waktu itu Christin bilang kalau dia rela melakukan apapun untuk Chris. Jangan-jangan .... “Berani-beraninya lo bilang Christin --”
Sebelum aku sempat menyelesaikan perkataanku, sebuah bogem mentah dari Chris meluncur ke arah pipiku. Aku hampir saja membalasnya kalau saja aku tak ingat aku tak boleh membuat keributan, atau beasiswaku dicabut dan aku bisa langsung dikeluarkan dari sekolah ini. Kurasakan pipi kananku berdenyut-denyut nyeri. Amis darah tercium dari mulutku.
“Gue kasih tau ini biar lo ga deket-deket dia lagi. Biar lo tahu, kalau Christin itu sama begonya dengan lo!”
Cukup. Aku tak akan membiarkan dia mendekati Christin lagi.
***
Pulang sekolah, aku sengaja menunggu Christin diam-diam hingga ia keluar dari kelasnya. Aku sengaja masuk ke laboratorium Komputer yang tidak terkunci, yang tepat berada di seberang kelas Christin, Dari jendela kaca yang ada di depan pintu setiap ruangan, baik laboratorium maupun kelas, aku dapat melihat dengan jelas apa yang ada di kelas seberang.
Christin tak keluar hingga setengah jam kemudian, saat kelas sudah benar-benar sepi. Saat ini sedang pekan ujian tengah semester, jadi hanya segelintir siswa yang masih tinggal di sekolah untuk urusan organisasi maupun belajar pribadi.
Hampir saja aku merasa sudah kehilangan jejak Christin dan pacarnya, kalau saja aku tak mendengar teriakan Christin yang sekarang sudah ada di luar kelas.
“Udah berapa kali dibilang, aku ga mau!”
Chris memegang tangan Christin, “Kemarin kita udah janji, lho, dan kamu mau, kan?”
“Nggak! Aku ga mau!” sambil menangis, Christin berusaha melepaskan diri dari genggaman pacarnya, yang cukup kuat untuk setengah menariknya hingga ke ujung lorong. Aku mengendap keluar. Degupku seakan bertalu begitu keras hingga terdengar di telingaku. Bibirku tanpa sadar berdarah akibat kugigit keras-keras.
Kuakui sebenarnya aku takut melakukan hal ini sendirian. Namun, aku tidak mau melibatkan teman-temanku. Tadi saja, teman-temanku sudah bertanya mengapa pipiku bengkak selepas istirahat. Guru-guru juga ada beberapa yang memperhatikan aku, walau mereka tak bertanya.
Dari jarak sejauh ini, aku tak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Christin terus meronta, namun Chris tetap jauh lebih kuat. Sampai akhirnya mereka berbelok ke arah tangga darurat, dan lenyap dari lapang pandangku. Kulangkahkan kakiku perlahan ke sana. Dari dalam pintu darurat, terdengar suara terjatuh cukup keras, dibarengi teriakan Christin. Aku mendorong pintu darurat itu.
"Lari!"