Yves
Sudah beberapa hari ini aku tak ketemu Christin karena pekan ulangan dimulai, sehingga aku sangat sibuk belajar. Ternyata sekolah ini memang sekolah yang persaingannya sangat ketat. Maklum, SMA-ku merupakan sekolah terbaik yang ada di Jakarta. Bahkan persaingan di sekolah ini jauh lebih ketat dari SMP-ku dulu, terutama di kelasku, tempatku dan Jesse berada, yang merupakan kelas akselarasi angkatan pertama, satu-satunya kelas yang membuka slot untuk penerima beasiswa. Dulu, saingan beratku cuma Jesse, yang nilainya selalu bagus walau jarang terlihat belajar. Sekarang, mayoritas anak di kelasku jenius seperti Jesse, atau gila belajar seperti aku, atau kombinasi keduanya.
Seperti besok, misalnya. Besok ada ulangan Matematika, dilanjutkan dengan ulangan Geografi, lalu Bahasa Inggris. Walaupun sudah mencicil dari hari-hari sebelumnya, tetap saja nilaiku tak setinggi dulu. Butuh perjuangan lebih keras untuk menembus tiga besar nilai tertinggi dalam tiap ujian. Pelajaran di sini juga lebih padat, karena untuk kelasku, materi tiga tahun dipadatkan menjadi dua tahun saja, agar dapat lulus lebih cepat.
“Ves,” terdengar ketukan pintu dari luar. Itu suara Papa.
“Ya, Pa? Masuk aja.”
Papa masuk ke kamarku, “Lagi belajar, Ves?”
Aku mengangguk.
“Kamu memang rajin, ya, pagi-pagi begini sudah belajar,” Papa tersenyum, “Seperti Papa dulu.”
Papa memang sifatnya sangat mirip denganku. Kepintarannya biasa saja, namun ambisius. Beda dengan Mama yang waktu sekolahnya lebih senang berkecimpung di bidang non-akademis.
“Papa punya kabar gembira buat kamu.”
“Apa, Pa?”
“Kemarin Papa buka internet,” kata Papa, “tahu, kan, Berlin University of Arts yang ada di Jerman itu?”
“Itu universitas yang dulu pernah Papa ceritain, bukan?” tanyaku. Papa pernah bilang padaku, dulu dia hendak ikut tes beasiswa masuk universitas itu, dan sayangnya dia tak bisa karena tidak lolos seleksi. Akhirnya terpaksa Papa belajar di Jurusan Musik sebuah universitas di Indonesia.
“Ya, kamu benar,” kata Papa, “dan kemarin Papa cek, katanya mereka menerima murid kelas 1 dan 2 SMA buat ikut tes masuk beasiswanya.
“Jadi, Papa mau minta kamu buat ikut tes masuk itu, mau, kan? Yah, siapa tahu berhasil.”
Tes masuk? Sebenarnya aku ingin sekali masuk universitas itu, apalagi katanya banyak sekali pemusik terkenal yang lulusan dari sana. Apalagi klub orkestra di universitas itu merupakan orkestra universitas yang paling bergengsi diantara orkestra universitas lain di Jerman. Kalau masuk ke klub itu, impianku sejak tahap akhir sekolah piano namun sempat kukubur dalam-dalam saat Papa sempat pergi, yaitu menjadi pianis di Berlin Philarmonic Orchestra, menjadi selangkah lebih dekat.
“Sekalian meneruskan jejak Papa dulu,” bujuk Papa lagi, “Mau ya, Ves? Biar Papa daftarkan. Kalau berhasil, ya syukur. Kalau gagal juga ga apa-apa.”
“Boleh, deh, Pa, aku coba,” akhirnya aku menyetujui setelah terdiam cukup lama. Mungkin terasa berat, kalau aku lulus tes ini berarti aku harus pindah ke luar negeri. Selama ini aku hidup di Jakarta bersama keluarga dan teman-temanku, dan aku harus meninggalkan mereka kalau aku berangkat ke Jerman. Dan lagi, sanggupkah aku kalau harus jauh dari Christin?
***
Sudah sebulan ini aku total belajar. Selain belajar untuk ujian harian maupun ulangan umum yang seakan datang tanpa henti, aku juga belajar untuk tes beasiswa ke Berlin University of Arts. Sepulang sekolah, aku ke Gema Nada, bukan untuk mengajar piano tapi untuk berlatih lagu yang akan kubawakan dalam audisi. Satu lagu ciptaanku sendiri, dan lima lagu lain yang akan kubawakan, yang akan direkam dan dikirim via e-mail. Sisanya, saat kursus piano Papa sudah tutup sekitar jam delapan malam setiap harinya, aku pulang dengan Papa, lalu fokus belajar tes sampai larut malam atau kadang dini hari. Rasanya iri juga melihat teman-temanku bersenang-senang waktu istirahat sekolah maupun pulang sekolah, tapi aku harus tetap belajar, walau rasanya sudah hampir tak sanggup, baik secara fisik maupun mental.
“Ves, belajar mulu,” sapa Aria, melihatku yang mencicil PR Fisika di sekolah saat jam pulang tiba, karena aku tak punya kesempatan mencicil pelajaran sekolah lagi setelah aku sampai di kursus piano.
“Iya, nih, Yves kerajinan,” kata Jesse, “Ayo, dong, sekali-kali jangan belajar melulu! Besok kita diundang ke pesta sweet seventeen Luna, loh!”
Aku menggeleng, walau sebenarnya ingin. Luna adalah primadona angkatan kami, satu kelas dengan Dio.
“Sorry,” kataku, “gue belom cerita ya? Soal beasiswa."
“Beasiswa? Yang mana? Belom deh kayaknya.”
“Gue ada tes buat beasiswa Berlin University of Arts.”
Aria melongo, “Wah, gokil!”
“Hebat banget lo, Ves!” Jesse menepuk bahuku.
“Yah, tesnya masih sebulan lagi, sih. Tapi ga ada salahnya, kan, belajar dari sekarang.”
“Justru lo harus belajar dari sekarang! Peminatnya pasti banyak banget! Dan pinter-pinter juga!”