Yves
Akhirnya hari tes beasiswa tiba juga.
Tes diadakan di lembaga yang menawariku beasiswa. Perwakilannya ada di Jakarta, dan kebetulan dekat dengan kantor ayah Christin. Saat tes pertama yaitu tes teori umum, dalam ruangan hanya ada aku, lima orang lainnya yang sepertinya jenius, dan enam orang pengawas. Soalnya dalam bahasa Inggris, karena aku mengambil program untuk mahasiswa internasional yang 90% kurikulumnya memakai bahasa Inggris. Walau sudah belajar sangat keras selama dua bulan lebih, dengan dibantu Jesse dan Christin sekalipun, tetap ada beberapa soal yang aku kurang yakin jawabannya. Akhirnya aku gunakan faktor keberuntungan. Aku asal menjawab jawaban-jawaban yang aku sama sekali blank, tak tahu jawaban pastinya, sambil berharap semoga hasil itu benar.
Tes kedua, tes teori musik, lumayan mudah, apalagi aku diajari Papa yang memang punya pendidikan di bidang ini.
Sorenya, aku menjalani tes piano. Namaku disebut paling terakhir sesuai alfabetis. Aku membawakan lagu Tocatta and Fugue in D minor dari Bach, Moonlight Sonata dari Beethoven, dan Hungarian Rhapsody no. 2 dari Lizst, sesuai yang pernah kupelajari di tingkat akhir kelas pianoku dulu dan aku pelajari ulang saat aku akan ujian saat ini, karena keterbatasan waktu. Saat-saat begini, aku bersyukur setidaknya aku sudah terbiasa bermain piano di depan umum saat mengiringi Christin, meski bukan aku bintang utamanya saat itu. Walau tetap saja saat awal bermain tanganku sempat gemetaran dan membuat beberapa kesalahan, namun setelahnya aku cukup puas dengan penampilanku.
“Bisa tesnya?” tanya Papa saat aku keluar dari gedung dengan wajah lesu.
“Ga terlalu yakin, Pa,” jawabku jujur, “Yah, mudah-mudahan aja banyak yang jawabannya benar. Semoga aja penampilan pianoku bisa membantu juga."
Papa mengangguk, “Kalau gagal juga jangan kecewa, ya, Ves?” Papa mengacak rambutku. Aku mengangguk.
***
“Gimana tesnya? Susah?” tanya Christin padaku ketika ia lagi-lagi ke rumahku dan masuk ke kamarku.
Aku mengangguk. Ia menuju meja belajarku dan membolak-balik buku latihanku.
“Lebih susah dari yang ada di buku-buku itu, Chris,” kataku.
Ia menyusuri sisi meja yang lain dan menyentuh buku-bukuku, “Aku boleh lihat buku musikmu?” tanyanya.
“Boleh, ada di laci,” aku tetap sibuk pada pekerjaanku, belajar untuk ujian di sekolah besok.
“Ves? Ini apa?” tanya Christin saat mengambil sebuah kotak. Itu ... dia tidak boleh melihatnya!
“Jangan liat!” refleks aku merebut kotak itu, tapi terlambat, ia sudah mengambil salah satu kertas dari sana dan membacanya.
“ ‘Christin sayang sama gue ga ya? Gue sayang, sayang banget sama dia,” Christin membaca surat itu keras-keras, membuat wajahku merah padam, “‘Tapi gue ngerasa gue ga pantes banget buat dia. Apalagi waktu Kak Donny bilang ke gue dulu, kalau Christin itu ga pernah tertarik sama gue...’
“Sejak kapan aku pernah bilang begitu, Ves?” tanyanya heran sambil terkikik geli. Mungkin dikiranya aku ini aneh, suka curhat-curhatan, seperti cewek saja.
“Bukannya kata Kak Donny kamu bilang begitu?” tanyaku.
Christin menggeleng, “Yah, dulu aku memang pernah bilang kalau aku tertarik sama cowok yang lebih dewasa. Tapi aku akhirnya sadar kalau aku ga boleh seenaknya mengelompokkan cowok menurut tipe seperti itu. Mungkin Kak Donny salah paham.”
Apa aku bermimpi?
“Karena sebetulnya aku juga sayang sama kamu, Ves.”
Ia menghampiriku lebih dekat, dan aku memeluknya erat.
“Makasih, Chris!” ujarku bahagia. Sangat bahagia. Kurasakan jantungnya berdebar cepat sama seperti jantungku, membuktikan bahwa ucapannya tadi memang tak cuma bualan belaka.
Kalau ini memang cuma mimpi, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi ini. Aku sampai tidak dapat melukiskan kebahagiaanku dengan kata-kata. Ternyata Christin juga membalas perasaanku!
Aku akan terus berusaha menjagamu. Mungkin aku bukan tipe impianmu seperti yang kau bilang itu, tapi percayalah, aku akan berusaha menepati janjiku.
***
Christin