Chrive

Shiina Lee
Chapter #18

Bab 17

2 bulan kemudian

Yves

Pagi ini pagi terakhirku di Indonesia. Nanti sore, pesawat akan membawaku ke Jerman, meninggalkan semuanya.

Pesta perpisahan untukku sudah dilaksanakan sejak minggu lalu, minggu terakhir sebelum liburan sekolah dimulai. Sangat mengharukan. Satu sekolah menyelamatiku dan mereka semua, termasuk guru-guru, mengirimkan pesan-pesan padaku yang dituliskan lewat kertas lipat warna-warni yang dirangkai dengan benang menjadi satu rangkaian indah penuh warna, yang amat sangat panjang. Aku bahkan belum sempat membacanya satu-persatu saking banyaknya.

Seharian kemarin, aku berkeliling sendirian dengan sepedaku, melewati kawasan tempat tinggalku. Ini terakhir kalinya aku bersepeda di sini. Lalu aku melewati gedung-gedung sekolahku, dari waktu aku TK sampai SMA. Tak lupa aku mengayuh sepedaku ke arah Ancol, ke arah tempat tinggalku dan Christin dulu. Tempat-tempat yang begitu banyak membawa kenangan.

Aku juga ke toko buku milik Pak Wawan dan berpamitan padanya dan Tommy. Ia masih bekerja di sana, dan sekarang posisiku digantikan oleh seorang karyawan baru yang cantik, Lisa namanya. Dia mahasiswi semester 1 di universitas yang sama dengan universitas tempat Tommy kuliah. Aku rasa mereka bisa menjadi pasangan yang cocok.

Perjalananku berlanjut ke Forte Music School, sekolah musikku dulu. Aku rasa, inilah salah satu tempat yang paling berjasa bagiku. Kalau tidak pernah belajar musik di sini, mungkin aku tidak akan bisa lolos ke Universitas Musik yang ada di Jerman sana. Kalau tak pernah belajar di sini pula, aku mungkin tak bisa menemukan Christin. Di sekolah musik inilah aku dan dia pertama kali berkenalan.

“Kamu ... Yves?” tanya Ibu Wina, guru pianoku, yang rupanya masih mengajar di situ ketika aku mengunjungi sekolah musik itu. Rupanya sudah tua, tapi kecantikannya yang memang sudah ada dari dulu masih tetap terpancar.

“Iya, ini Yves, Bu,” kataku.

“Kamu sudah besar, ya,” Ibu Wina tersenyum, “Bagaimana kabarmu?”

“Baik, Bu,” kataku, “Mulai besok saya mau berangkat ke Jerman. Saya menerima beasiswa dari universitas musik di sana...”

“Benarkah? Sudah kuduga dari dulu, kalau kamu memang sangat berbakat,” ia merangkulku.

Ibu Wina mungkin salah satu guru yang paling berjasa bagiku. Beliau yang pertama kali menyadari bakatku, yang mengajariku aku sampai lulus piano tingkat akhir, sampai akhirnya beliau bilang kalau beliau tak bisa lagi mengajariku karena aku lebih unggul baik dari segi teknik maupun interpretasi lagu. Salah satu pujian yang paling membekas dalam ingatanku sampai sekarang. Beliau juga yang memberi aku keberanian, dari aku yang tadinya selalu menangis dan kabur setiap kali disuruh tampil, perlahan-lahan mulai bisa menunjukkan permainanku di depan umum.

Aku melanjutkan pergi ke tempat-tempat kenanganku selanjutnya. Hanya untuk sekedar melewati atau masuk sebentar, untuk mengenang kejadian-kejadian yang terjadi di sana, yang takkan pernah terulang lagi, setidaknya selama beberapa tahun ini.

Rumahku yang dulu, rumah kecil tempatku dan Mama tinggal saat Papa pergi, yang sekarang sudah dijual.

Mal dengan toko musik tempat aku mendengarkan suara Christin untuk pertama kalinya setelah 9 tahun berlalu. Toko musik yang saat ini sudah tutup karena tergerus oleh perkembangan zaman.

Tempat konser Christin, yang letaknya tak jauh dari mal itu.

Tempat-tempat dimana aku pernah menemani Christin selama konser.

Kantor milik ayah Christin, yang sangat megah dan terletak di kawasan SCBD.

Rasanya kenangan-kenangan itu akan menjadi kenangan-kenangan yang takkan kulupakan seumur hidupku. Terlalu indah.

Tak lupa juga aku ke Sekolah Musik Gema Nada, tempatku mengajar piano selama beberapa bulan, yang juga merupakan sekolah musik milik Papa dan tempatku melatih kembali permainan pianoku setelah tiga tahun vakum. Saat aku mengunjunginya, kebetulan beberapa mantan muridku ada di sana. Aku berpamitan dengan mereka, dan mereka terkejut ketika mengetahui aku mendapatkan beasiswa.

Sayang, peristiwa-peristiwa yang terjadi waktu itu kini hanya tinggal kenangan semata. Terlambat, jika aku mengatakan bahwa aku ingin mengulang peristiwa-peristiwa itu. Aku harus merelakan mereka menjadi kenangan yang takkan kulupakan dalam hatiku.

***

“Ves, ayo berangkat!” suara Mama membuatku tersadar dari lamunanku.

Lihat selengkapnya