Chrive

Shiina Lee
Chapter #20

Bab 19

Minggu depan audisi klub orkestra, dan untuk itu aku harus belajar partitur yang akan diujikan untuk audisi. Tidak mudah juga, sebab kalau dipikir-pikir, semenjak aku berhenti jadi pianis di kafe itu, aku sama sekali belum menyentuh piano kecuali saat pelajaran.

Karenanya, sekarang selesai kuliah dan sela-sela jam pergantian kuliah, aku langsung ke ruang musik untuk latihan. Setelahnya, jam enam sore, aku langsung keluar dari universitas untuk berangkat menuju tempat kerja sambilan, lalu bekerja dari jam 6 sampai jam 11 malam. Hanya 5 jam memang, tapi ternyata jauh lebih melelahkan daripada waktu di toko buku dulu, karena restoran ini hanya buka saat jam makan malam. Sebagai satu-satunya pelayan di situ (walau kadang Gratia dan ayahnya membantu juga selain berada di balik meja kasir), otomatis kegiatanku saat bekerja nyaris tanpa istirahat sebelum jam 9 malam tiba, saat pengunjung mulai menipis. Ditambah latihan piano dan belajar, kalau aku harus mengurangi lagi waktu istirahatku, bisa-bisa aku jatuh sakit.

Artinya, semakin sulit bagiku mengatur waktu untuk tetap menjaga kontak dengan Christin. Kami hanya bisa berkomunikasi lewat e-mail saja. Tapi, mungkin ini merupakan tantangan bagiku. Christin juga mungkin akan senang ketika nanti aku menceritakan kalau seandainya aku diterima di klub orkestra universitas ini.

Yah, mungkin ....

***

“Ves, kamu ikut audisi klub orkestra?” tanya Gratia padaku ketika aku istirahat sejenak saat kerja sambilan.

“Iya, kamu tahu dari mana?”

“Kemarin kamu ke ruangan klub buat menyerahkan formulirmu, kan? Nah, kebetulan aku melihatmu.”

"Ah iya, kamu ikut klub apa?"

Aku tak sempat mendengar jawabannya karena aku sudah dipanggil-panggil oleh ayah Gratia untuk mengantarkan pesanan tamu.

***

Christin

Aku me-refresh messenger-ku berkali-kali. Hari ini Minggu pagi, dan tak biasanya Yves tidak online. Ke mana dia? Biasanya dia selalu online walau hanya sebentar.

Apa mungkin dia kelelahan? Dia pernah bilang padaku beberapa waktu lalu kalau ia minta maaf hanya bisa menghubungi lewat e-mail karena jadwalnya sangat padat.

Aku menutup messenger, dan menatap foto kami berdua yang menjadi wallpaper komputerku. Aku kangen sekali padanya, tapi aku tahu, aku tak boleh terus-terusan manja begini. Yves selama ini rela tidur dini hari, bahkan kadang tidak tidur semalaman demi menemaniku chatting Minggu pagi. Padahal, melihat jadwalnya yang penuh dengan kuliah, kerja sambilan, dan latihan piano saja, sudah cukup melelahkan. Bodohnya aku, selama ini tidak menyadarinya.

Sebaiknya aku tak boleh mengganggunya dulu. Aku menutup jendela e-mail yang tadinya akan kutulis pada Yves, ketika tiba-tiba HP-ku berbunyi. Nomor tak dikenal. Siapa, ya? Ragu, aku mengangkat telepon.

“Halo?”

“Christin Aurelia?” sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku. Caesar, teman sesama artisku, yang menjadi dekat denganku setelah kami berdua berperan sebagai sepasang kekasih dalam film pertama yang kubintangi. Akhir-akhir ini, dia semakin menyebalkan. Ia jadi makin sering menggodaku, setelah dia tahu kalau aku sudah punya pacar, namun terpisah jarak.

“Ya?” jawabku malas.

“Gimana kabarnya?” katanya, sangat basa-basi.

“Buruk!”

“Eh, kenapa gitu, Sayang?” kata yang terakhir membuatku ingin muntah.

“Udah gue bilang berkali-kali, jangan sayang-sayangan sama gue!”

“Kenapa gitu?” tanyanya, lalu dilanjutkan dengan suara pura-pura sedih, “lo benci gue?”

“Jelas, kalo lo gini terus!”

“Christin sekarang gitu, ya... My honey jahat, ih....”

“Apa tadi lo bilang?!” aku merasakan wajahku memerah.

Honey. Gapapa kan gue panggil lo gitu? Mumpung cowok lo ga tau...”

“Ga boleh!” wajahku semakin memanas.

“Diem-diem lo suka, kan? Gue tau itu.” Dia bisa menebak perasaanku! Eh, tunggu. Benarkah?

“Ga!”

“Masa sih, hon?”

Aku menutup telepon, sebelum wajahku tambah memanas lagi. Jantungku berdebar-debar. Ga boleh! Ini ga boleh terjadi.

***

Lihat selengkapnya