Latihan dalam klub orkestra ternyata sangat menguras tenaga, waktu dan pikiranku. Kami belum boleh ikut latihan mingguan, tetapi kami diberikan daftar lagu-lagu yang harus kami kuasai dalam waktu tiga bulan beserta partiturnya, kemudian saat ujian akan diundi. Untuk piano, kami diberikan sepuluh lagu, dan tingkat kesulitannya pun tidak mudah. Apalagi kami harus menghafal semua lagu ini, karena jika tidak dihafal maka otomatis poin akan berkurang jauh dan tidak lulus.
Gratia terlihat sibuk mencentang lagu-lagu yang sudah dipelajarinya. Aku sendiri, sebagai orang yang sudah bertahun-tahun vakum dari SD, kemudian baru bermain lagi pada saat SMA, itupun sebagai guru piano, hanya mencentang 1 lagu. Aku melihat yang lainnya juga terlihat sibuk mencentang lagu-lagu yang sudah mereka pelajari. Kesempatan untuk lolos semakin kecil, bahkan nyaris tak ada, kalau aku tak benar-benar berusaha jauh lebih keras dari yang lain.
Maka dari itu, aku terpaksa kerja sambilan sampai jam 9 malam saja, kemudian kembali ke kampus untuk latihan. Gratia juga memahami hal ini, dan ia malah membantuku latihan. Sepulang kuliah, kami langsung menuju ruang musik, dan latihan sampai sore. Kemudian seusai kerja sambilan, kami latihan lagi sampai menjelang tengah malam. Kadang, Gratia pulang duluan dan aku menginap di ruang musik itu, karena aku harus latihan sampai dini hari.
Perlahan tapi pasti aku mulai menguasai satu-persatu lagu yang ada. “Kamu hebat, Ves! Aku waktu belajar lagu itu dulu butuh waktu dua minggu, tapi kamu menguasainya dalam waktu enam hari!” kata Gratia kagum. Tapi enam hari saja tak cukup, karena aku harus benar-benar menghafalkannya, memainkan dengan teknik sesempurna mungkin, dan melakukan interpretasi yang baik demi terpilih.
Istirahat terpaksa kuabaikan. Walau selalu pulang ke asrama dini hari, dalam keadaan sangat lelah, aku masih harus mengulang pelajaran kuliah yang semakin lama semakin tertinggal. Tak jarang aku tidak tidur semalaman. Pernah juga sampai tidak tidur tiga hari berturut-turut, dan aku sendiri heran kenapa aku bisa sampai sekuat itu. Setiap hari Sabtu dan Minggu, aku biasanya melewatkan hari dengan tidur sampai siang atau sore untuk 'membayar' waktu tidurku. Namun tetap saja, malamnya aku berangkat untuk latihan dan kerja sambilan lagi, serta tetap belajar sampai dini hari.
“Jangan terlalu memaksakan diri,” kata Takumi, diiyakan Gratia, setelah untuk kesekian kalinya aku tertidur saat pelajaran. Kalau sudah begitu, mereka biasanya membiarkanku istirahat, dan meminjamkan catatan mereka saat aku sudah bangun.
Sibuk sekali. Tak ada waktu untuk memikirkan hal lain, termasuk Christin.
***
Christin
Sudah hampir dua bulan ini Yves seperti menghilang tanpa kabar. Terakhir kali e-mailnya mengabarkan kalau dia lolos audisi klub orkestra, dan bakal jarang online selama tiga bulan karena harus latihan untuk tahap selanjutnya. Sejak itu, aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Dia juga tidak pernah online sekali pun.
“Liat apa, hon?” kata Caesar yang memergokiku mengecek e-mail di smartphone-ku ketika sedang istirahat shooting film yang kami berdua bintangi. Aku menggeleng.
“Udahlah, cowok lo udah punya cewek baru, kali,” katanya lagi.
“Ga mungkin! Dia ga kayak lo, yang playboy,” kataku setengah ragu. Kemungkinan Yves selingkuh tetap ada. Apalagi dengan cewek bernama Gratia itu.
“Ya ampun, kamu jahat banget, hon .... Gue sayang beneran sama lo gini,” katanya, seperti yang sudah berkali-kali kudengar sampai aku bosan.
Caesar, tak kusangka, memelukku dari belakang. Beberapa pasang mata melihat ke arah kami, tapi kemudian tak memedulikannya karena mereka tengah makan siang.
“Lepasin!” aku mencoba berontak, tapi dia malah memelukku lebih kuat. Akhirnya aku menyerah. “Cowok mesum,” gumamku.
“Tapi lo senang, kan?” bisiknya, membuat jantungku berdebar lebih cepat, “I love you, honey ....”
Aku tahu seharusnya aku tak boleh senang dipeluk cowok lain begini. Tapi sayang, aku tak bisa mengelak kalau sejujurnya aku senang menikmati saat-saat seperti ini.
Yves, maaf ....
***
Gratia
“Salah, temponya harus lebih cepat lagi! Ulang dari awal!” perintah Yves, lalu aku mengulang lagu yang sedang kumainkan dari awal. Dua bulan berlalu, dan dia sudah menguasai dan menghafal semua lagu yang diujikan. Tinggal memperdalam interpretasinya saja. Betul-betul luar biasa. Kemampuannya menguasai lagu sangat cepat, pantas saja dia bercerita bahwa di kelas 4 SD dia sudah lulus piano tingkat akhir. Sampai-sampai, aku yang di peringkat pertama malah kalah cepat. Kalau saja ia tidak vakum selama tiga tahun, mungkin kemampuannya saat ini bisa lebih hebat lagi.
Yves memang sangat mengagumkan. Pertama kali aku mengetahui dirinya dari ayahku, yang menceritakan kalau ada orang yang akan sekelas denganku melamar kerja sambilan, yang bernama Yves Michaelo. “Walau namanya seperti nama Eropa, sepertinya dia orang Indonesia,” kata ayahku waktu itu. Ternyata memang benar yang dikatakan ayahku.
Awalnya, dia kelihatan biasa-biasa saja di mataku, kecuali kenyataan kalau dia seperti orang Indonesia, yang membuatku tertarik berkenalan. Sifatnya pun tidak membuatnya menonjol, bahkan cenderung pasif di kelas karena ia pemalu. Namun, semakin lama mengenalnya makin banyak hal darinya yang kusukai. Perhatiannya pada orang lain, termasuk yang dilakukannya padaku saat ini. Penampilannya juga, untuk ukuran orang Asia, termasuk di atas rata-rata dengan parasnya yang manis, membuat tak jarang mahasiswi di universitas kami yang menyatakan perasaan padanya, yang semuanya ia tolak. Aku jadi bertanya-tanya apakah dia sudah punya pacar, atau orang yang ia sukai.
“Kamu ngelamun apa, sih?” tanya Yves, “mainmu kacau, tuh. Coba istirahat dulu.”
“Iya, maaf,” aku menunduk. Wajahku memerah. Bisa-bisanya aku berpikiran seperti tadi.
***
Hari audisi makin dekat. Tak terasa lusa kami akan menjalani audisi. Yves terus melatih aku, dan tentu saja berlatih untuk dirinya sendiri. Tapi tak kusangka, semua ini berakhir dengan tak terlalu baik.
Waktu menunjukkan pukul 11 malam, dan musim dingin baru saja dimulai. Tadi sore sempat turun hujan salju cukup lebat. Kami baru saja mengakhiri sesi latihan kami, dan keluar dari gedung universitas sambil mengobrol tentang latihanku di rumah.
“Kamu ga punya piano di rumah?” tanya Yves. Aku mengangguk, “Mirip denganmu, pianoku juga udah dijual. Tapi pianoku dijual karena aku mau pindah ke sini, dan ga ada yang menginginkan piano itu lagi di Jakarta.”