Chrive

Shiina Lee
Chapter #22

Bab 21

Christin

“Caesar? Kok lo ada di sini?” aku kaget ketika melihat Caesar sedang berdiri di depan gedung, tempat aku menyanyi sebagai bintang tamu hari ini.

“Gue mau jemput lo. Boleh, kan?” ia menunjuk mobil sport-nya, yang sepertinya baru. “Udah jam 11 malem gini, ga bagus kalo cewek pulang sendiri.”

Aku memang tak membawa kendaraan sendiri hari ini. Ayah dan Bunda sedang perjalanan bisnis ke luar negeri dan baru pulang dari bandara malam ini. Kak Donny sedang urusan mendadak dengan dosen pembimbing disertasi S2-nya di kafe di dekat kampusnya di bilangan Jakarta Selatan, agak jauh dari gedung ini, jadi seusai mengantarku dia langsung ke kafe. Malam-malam begini, sulit mencari taksi yang lewat. Tapi ....

“Gimana, hon? Mau nggak?” Caesar menatapku penuh harap.

Akhirnya aku mengangguk.

***

Kami berdua berada di mobil dalam diam. Caesar memutar lagu dari radio, memecah keheningan.

Hon, temenin gue makan dulu, ya,” tiba-tiba Caesar angkat bicara. Aku menggeleng. Dia mau mengerjai aku?

“Ayolah, Christin. Please, gue udah laper, nih,” dia memohon. Aku terpaksa mengangguk. Mobil berbelok ke restoran cepat saji yang letaknya tak begitu jauh dari rumahku. Suasana restoran terlihat lengang, namun aku bisa merasakan beberapa pasang mata melirik ke arah kami sambil berbisik-bisik. Selama ini memang aku belum pernah terlihat berdua dengan cowok manapun sesudah Yves ke Jerman.

Caesar memesan ayam goreng crispy dengan nasi, serta cola sebagai minumannya.

“Mau?” ia menawariku.

“Ga usah. Thanks,” aku menolak. Padahal diam-diam sebenarnya aku menginginkannya, apalagi aku sudah lama tidak menyantap kulit ayam yang crispy dan lembut di lidah itu. Tapi, kan, aku sudah menolaknya tadi. Lagipula aku sebenarnya benci dia ... hmm ... ga bisa dibilang benci juga, sih. Gimana, ya?

“Ya ampun, jutek banget, sih, nih anak,” Caesar tersenyum, dan hendak memberiku potongan ayam yang dibelinya.

“Udah gue bilang gue ga mau!” kataku menepisnya.

“Iya, deh, iya,” ia menyantap sisa ayam di tangannya dalam satu gigitan besar.

Aku menatapnya malas. Sedikit lagi berjalan, aku sudah sampai rumahku.

“Gue pulang dulu, ya,” aku bangun dari kursiku.

“Eit, ga boleh!” ia ikut bangkit berdiri, “Bahaya kalo cewek jalan sendirian malem-malem gini! Biar gue aja yang anter!”

“Ini ga gitu jauh dari rumah gue, kok!”

Hon, walaupun ga gitu jauh dari rumah lo, tapi bukan berarti ga bahaya, kan?”

“Terserah!” aku bangun dari kursi dan keluar dari restoran itu.

***

Jalan di dekat rumahku menjelang tengah malam begini ternyata seram juga. Sudah sepi, hanya ada satu-dua kendaraan sesekali melintas. Apalagi aku memakai pakaian yang sepertinya cukup menarik perhatian, dengan dress selutut terbalut cardigan tipis serta ankle boots berhak tinggi. Coba tadi aku mengindahkan apa yang Caesar bilang. Dalam hati aku hanya bisa berdoa, semoga aku tak dicopet atau ....

Seseorang menarik tas yang kubawa. Beberapa orang lain menarik kedua lenganku dan menahanku. Seorang lagi, membekap mulutku. Aku meronta-ronta. Baru saja kubilang, ternyata sudah kejadian.

Rasa takut melanda diriku. Ingin rasanya aku berteriak minta tolong, namun tidak bisa. Jalanan sepi, tak ada seorang pun lewat. Mereka menarikku paksa ke dalam mobil mereka. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Kesadaranku mengabur setiap kali aku harus menarik napas, sepertinya mereka membekapku dengan kain yang telah diberi obat bius. Pandanganku menggelap.

Siapapun, tolong aku!

***

“Bun ... da?” bayangan ibukulah yang pertama kali kulihat ketika aku sadar. Dia mengelus rambutku.

“Hampir aja ....” katanya, dengan maksud yang tidak kumengerti.

Aku melihat sekeliling. Bunda ... Ayah ... Kak Donny ... hmm ... Yves tak mungkin ada, kan? Dia sedang ada di Jerman, tak mungkin dia tiba-tiba ke sini hanya untuk menolongku, seperti waktu itu. Sebersit rasa kangen timbul di hatiku.

Tadi apa yang terjadi padaku? Siapa yang menolongku kemari? Apa aku ... diperkosa atau semacamnya? Aku ngeri membayangkan seandainya itu benar-benar terjadi padaku.

“Bunda, tadi siapa yang nolongin aku?” kataku lemah.

Bunda menggeleng, “Kamu masih baru sadar, sebaiknya kamu istirahat lagi aja.”

Lihat selengkapnya