Yves
Karena luka-lukaku, aku tak bisa masuk kuliah untuk sementara, sebelum anak-anak lain mengiraku melakukan yang macam-macam. Lumayan juga, aku jadi punya waktu untuk berpikir ulang tentang tindakanku selama ini.
Aku sadar, aku orang yang ambisius. Sangat ambisius. Demi mewujudkan impianku ikut orkestra, aku sampai rela meninggalkan Jakarta, berangkat ke Jerman untuk belajar di Berlin University of Arts ini. Belajar mengatur waktu yang rasanya selalu kurang; menyeimbangkan waktu antara belajar, bekerja, dan berlatih di klub orkestra. Pianis memang impianku yang paling utama, yang sudah kuimpikan sejak kecil. Apalagi mengingat Papa yang pianis berbakat, namun perjuangannya untuk menjadi terkenal sampai di luar negeri gagal, karena orangtua Papa tak setuju kalau Papa kuliah di luar negeri. Akhirnya ia “hanya” mengajar piano dan membuka kursus piano di beberapa cabang. Aku ingin meneruskan perjuangan Papa.
Piano bisa dibilang bagian besar dari hidupku, dimana aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depannya tanpa merasa bosan, setiap hari. Pelampiasan dari segala emosiku, teman curhatku secara tidak langsung, apalagi aku orang yang tertutup dan tak semudah itu mengungkapkan isi hati di depan orang lain. Kata Mama, bahkan dari kecil Papa selalu bermain piano di depan Mama yang sedang hamil waktu itu. “Supaya anak kita menyukai piano,” kata mereka. Dan memang benar, dari umur 2 tahun aku sudah dikenalkan pada piano oleh Papa.
Aku pun mulai belajar piano secara otodidak, dan umur 3 tahun aku dimasukkan ke sekolah musik. Di sekolah musik aku bertemu dengan Christin, dan sejak itu kami sangat dekat. Di sekolah musik permainanku berkembang sangat pesat, apalagi di rumah aku dibantu Papa. Papa mencontohkan lagu yang harus kupelajari, dan aku menirunya. Dengan cepat lagu-lagu kupelajari, hingga orang-orang bilang kemampuanku terlalu pesat untuk anak seusiaku. “Kamu berbakat, seperti ayah dan nenekmu. Satu lagu dikuasai dalam waktu singkat. Saat sudah besar nanti, kamu pasti jadi pianis terkenal,” kata Opa. “Opa dan nenek menyesal telah melarang ayahmu ke Eropa, karena kami menganggap waktu itu ia belum siap mental. Kamu sebagai anaknya, kalau bisa belajarlah musik di Eropa, entah Jerman atau Austria.” Cita-cita Opa terwujud, walau sekarang beliau sudah meninggal. Sekarang aku sedang berada di Jerman untuk belajar musik.
Tapi sebenarnya, masih ada satu lagi impianku. Impian yang sekarang tidak kesampaian, padahal dulu sudah kuraih. Berada di sisi Christin dan menjadi pendampingnya. Gara-gara terlalu serius berjuang meraih ambisiku menjadi pianis, aku terpaksa harus merelakan impianku pergi. Aku sadar, kalau aku memang tak bisa membencinya. Tapi sekarang, ketika ia meminta untuk kembali padaku, aku malah tak menginginkannya. Aku telah dikuasai oleh rasa dendam, yang membuatku terpisah darinya.
Aku jadi teringat kata-kata Jesse. “Lo jangan melawan kata hati lo sendiri, Ves.”
Ya, aku tahu. Selama ini aku memang memberontak dari kata hatiku. Sebenarnya aku ingin sekali kembali padanya, melakukan saat-saat bahagia seperti dulu. Tapi, lama-lama aku dikuasai perasaan dendamku, sampai-sampai rasa sayangku padanya seolah tak ada. Kini rasa sayang itu muncul kembali. Kutatap foto kenangan yang baru diberikan Gratia padaku. Aku akan mencoba mewujudkan impian itu lagi.
From: Someone Someone (someone@mail.com)
To: Christin Aurelia (ch_aurelia@mail.com)
Subject: It’s me!
Let me show my true identity. I am your childhood friend, who has been your boyfriend for almost 2 years.
Surprised? I apologize for using English because I don't want you to know my identity at first. But I realize, that one day I have to show my identity to you, the only person I love in my life.
Also, I'm sorry for planning the surprise. I was just so angry when I found out that you already had another boyfriend while we broke up.
Once again, I am sorry.
PS: Regarding your request, of course I will grant it. I want to have a relationship with you again.
-Yves-
Aku mengklik sign out dan dengan cepat log in ke e-mail satunya. Ada dua e-mail dari Jesse, yang membuatku kaget.
From: Jesse Claude (jesse_s_email@mail.com)
To: Yves Michaelo (yves.michaelo@mail.com)
Subject: Bad news
Ves, I’m sorry.
Mobil yang ditumpangin Christin kecelakaan pas mau promosi Journey of Love ke Jogjakarta. Ga tau ada korban jiwa ato ga.
Jantungku berdebar lebih cepat. Jangan sampai ada korban jiwa, kumohon! Terutama Christin, aku belum siap jika ia pergi meninggalkanku.
Dengan tangan gemetar ku-klik e-mail selanjutnya dari Jesse.
From: Jesse Claude (jesse_s_email@mail.com)
To: Yves Michaelo (yves.michaelo@mail.com)
Subject: maaf
Maaf gue baru kabarin lagi. Untung ga ada korban jiwa. Tapi Christin sekarat. Dia koma.
Gue tadinya ga mau kasih tau lo, tapi daripada lo cari tau sendiri kayak dulu, dan tambah kaget, gue pikir mending kasih tau sekarang.
Koma?