Chrono Prisoner

Penulis N
Chapter #1

1

Orang bilang waktu adalah garis lurus—maju, tak kenal mundur, dan tak bisa dibengkokkan. Tapi mereka salah.

Di suatu ruang tersembunyi jauh di bawah kota Chronos, waktu tidak berjalan lurus. Ia terpecah, terdistorsi, dan terkadang... berhenti sama sekali.

Dinding-dinding beton bergetar pelan ketika lonceng besar berdentang untuk keempat kalinya malam itu. Di tengah ruangan, sebuah kapsul kaca berembun menyala redup. Di dalamnya, seorang remaja laki-laki terbaring tanpa bergerak. Wajahnya damai, seolah hanya tidur siang biasa—padahal tubuhnya telah membeku dalam stasis selama lebih dari sepuluh tahun.

Namanya adalah Riven Caelum. Subjek #017 dari proyek rahasia ChronoCore. "Tahanan waktu," kata para ilmuwan. "Kesalahan eksperimen," kata beberapa lainnya. Tapi tidak ada yang tahu bahwa di balik kelopak matanya yang tertutup, ingatannya tidak beku. Ia melihat pecahan-pecahan masa lalu yang tak dikenalnya, nama-nama yang bukan miliknya, dan kematian yang belum pernah ia alami.

Waktu telah menjebaknya, memenjarakannya dalam putaran yang tak seharusnya ada.

Di luar, dunia tetap berjalan. Jam terus berdetak, tak peduli satu jiwa yang terkunci dalam ruang di antara detik. Namun sesuatu tengah berubah. Jam-jam mulai menunjukkan waktu berbeda. Orang-orang bermimpi tentang masa lalu yang belum pernah terjadi. Dan di pusat semua kekacauan itu, Riven akan bangun.

Bukan untuk melarikan diri. Tapi untuk memperbaiki waktu yang patah.

Dan kali ini, ia tidak akan bermain sesuai aturan.

Dinginnya lantai beton membekas di punggungnya. Saat Riven membuka mata, cahaya putih redup menyambutnya dari langit-langit yang retak. Bau lembap, karat, dan darah kering menggantung di udara, seperti aroma yang tak pernah mau hilang dari tempat ini.

Ia terduduk perlahan. Keringat membasahi tengkuknya. Ada suara-suara samar di kejauhan—jeritan, langkah tergesa, logam dipukul, dan... tawa. Tawa itu tidak manusiawi.

Matanya menatap ke bawah. Sesuatu terukir di lengannya. Bukan luka. Bukan tato. Tapi jam.

23:57:41

23:57:40

23:57:39

Jam itu berdetak mundur. Terpatri di kulitnya seperti bagian dari tubuh.

Jantungnya berdebar. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di sini. Tidak ada memori. Hampa. Hanya satu nama yang ia tahu pasti: Riven.

Dan setiap malam, semuanya selalu dimulai lagi.

Ia bangkit dari lantai sel. Dindingnya berkarat, jeruji bengkok di bagian bawah. Ada guratan di tembok—jumlahnya tak terhitung. Ia mendekat. Beberapa garis membentuk angka, beberapa lainnya nama. Nama-nama yang tidak ia kenali.

Langkahnya membawa ia ke sudut ruangan. Di sana, selembar kertas terlipat. Tangannya gemetar saat membuka:

"Kalau kau membaca ini... berarti kau masih hidup. Dan kalau kau masih hidup, waktu belum habis. Jangan percaya siapa pun. Jangan biarkan jam itu menyentuh nol. Kau harus keluar sebelum reset. — R."

Ia mengenali tulisan itu. Itu tulisannya.

"Berarti... aku sudah pernah di sini?" bisiknya.

Detik-detik terus berjalan.

23:56:02

23:55:59

Di luar sel, seorang pria meneriakkan sesuatu. "Hey! Ada yang bisa bantu gue keluar dari ruangan sialan ini?!"

Riven melangkah ke pintu. Sel di seberangnya menampakkan wajah kasar pria bertato di kedua lengan. "Lo juga baru bangun?"

"Ya," Riven menjawab. "Apa ini... penjara?"

Pria itu mendengus. "Lo pikir ini hotel? Nama gue Mace. Gue udah bangun tiga kali dan semuanya kayak mimpi sialan. Lo baru pertama?"

"Aku nggak tahu," Riven menggeleng. "Aku... lupa."

Mace mengangkat alis, lalu menunjuk ke lengan Riven. "Lo juga punya jam itu, ya?"

Riven mengangguk pelan.

"Jam itu bakal nol jam dua belas. Terus semuanya balik lagi. Kita bangun di sini, semua lupa, semua mulai dari awal," ucap Mace. "Tapi gue inget. Gue inget karena..."

Ia tidak melanjutkan. Sesuatu terdengar dari lorong. Suara langkah. Berat. Seolah sesuatu menyeret tubuhnya di lantai. Riven membeku. Mace menelan ludah.

"Itu... dia," bisik Mace. "Makhluk bayangan. Jangan lihat langsung."

Tapi Riven menatap juga.

Di ujung lorong yang gelap, bayangan itu muncul. Bukan manusia. Sesuatu yang kelam, seolah kabut pekat menghisap cahaya di sekitarnya. Tidak berjalan, tapi melayang. Setiap dinding yang dilewatinya bergetar sejenak.

Detik berdetak keras di telinga Riven.

23:59:17

Mace merapat ke jeruji. "Kalau jam lo nol... dia akan datang untuk lo."

"Apa yang terjadi kalau dia dapat aku?"

"Lo... nggak bangun lagi."

Riven merasa napasnya tercekat. Ia berbalik, kembali ke kertas tadi. Di belakangnya, ada tulisan tambahan:

"Ada pintu di balik ventilasi selatan. Tapi hanya bisa dibuka saat reset."

Dia bergerak cepat. Dinding selatan. Di sana, ventilasi berkarat. Ia menarik jeruji, mendorongnya. Terkunci. Ia menendang keras. Satu bagian terlepas.

23:59:48

Bayangan itu makin dekat. Suhu menurun drastis.

Ia meringkuk, memasukkan tubuhnya ke dalam ventilasi. Tangan berdarah, logam tajam menggores kulit. Tapi ia terus merayap. Di ujung terowongan sempit itu—sebuah ruang kecil terbuka. Dan ada pintu.

Pintu logam dengan roda pemutar.

Ia mendorong. Pintu tak bergerak.

23:59:58

Napasnya tercekat.

23:59:59

Matanya terpejam.

00:00:00

Lihat selengkapnya