Chrono Prisoner

Penulis N
Chapter #4

4

Langit runtuh dalam kabut keperakan. Riven berdiri di tengah kota yang tampak familiar, namun segala sesuatu seolah dilipat dalam potongan waktu yang rusak—gedung-gedung tumbuh mundur, lalu runtuh dalam pola yang tak bisa dimengerti. Awan menggulung ke bawah, dan di tengah kekacauan itu, Echo berdiri.

"Aku adalah keputusan-keputusan yang kau tinggalkan. Dosa-dosa yang kau tolak. Dan kenangan yang kau kubur," ujar Echo tenang.

"Kalau begitu, aku akan menghadapi semuanya hari ini," balas Riven.

Seketika medan berubah. Echo mengangkat tangan, dan bentangan waktu terbuka seperti gulungan layar. Potongan-potongan hidup Riven menyerbu kembali—sebagai senjata.

Ledakan pertama: Sebuah ruangan eksperimen. Riven muda menekan tombol override, tahu bahwa eksperimen waktu yang dilakukannya akan menciptakan ketidakstabilan. Tapi ia tetap melakukannya, percaya bahwa hasilnya akan menyelamatkan lebih banyak jiwa. Layar holografik menunjukkan "Pengorbanan: 117 individu."

Ledakan kedua: Lira kecil, duduk sendiri dalam ruang isolasi, menunggu kembalinya "Paman Riven" yang menjanjikan akan menyelamatkannya dari penyakit waktu yang ia ciptakan secara tak langsung.

Ledakan ketiga: Sebuah ruang putih, tempat Riven menandatangani dokumen persetujuan penghapusan ingatan dan penguncian sistem Chrono Prison. Di balik kaca, timnya berteriak agar ia membatalkannya. Tapi ia tetap lanjut.

Riven berlutut. Kepala berdenyut. Napas berat.

"Kenapa kau harus menunjukkan semua ini?" desisnya.

Echo mendekat. "Karena fragmen waktu tidak memilih pemilik berdasarkan kekuatan. Mereka memilih berdasarkan siapa yang paling bersedia menghadapinya."

Kilatan cahaya. Dua versi Riven saling berhadapan.

Pertarungan bukan fisik. Tapi setiap pukulan Echo adalah keraguan, dan setiap serangan Riven adalah tekadnya untuk berubah. Mereka saling menyerang di antara kenangan—kadang di laboratorium, kadang di jalanan kota yang meleleh menjadi pasir waktu.

Saat Echo hendak menghempaskan pukulan terakhir, Riven menunduk, menghindar, lalu memeluk tubuhnya sendiri.

"Aku bukan sempurna. Tapi aku tak ingin lari lagi dari siapa aku dulu."

Fragmen keempat muncul di udara, berpendar ke dalam dada Riven. Echo perlahan terurai menjadi cahaya—tersenyum sebelum menghilang.

"Kau akhirnya mulai layak... Riven Altair."

Medan waktu runtuh. Dunia nyata kembali. Lira dan Mace menatapnya penuh harap.

"Kau... berhasil?" tanya Mace.

Riven berdiri perlahan. Matanya lebih tajam. Suaranya lebih tenang.

"Empat fragmen telah kembali. Tapi sekarang aku tahu... musuh sesungguhnya bukan hanya waktu atau sistem. Tapi mereka yang ingin memanipulasi sejarah demi kekuasaan."

Ia membuka telapak tangannya. Empat simbol menyala. Dan kini, di seberangnya, layar gelap menyala—memunculkan koordinat: lokasi fragmen kelima.

Namun kali ini, fragmen itu... bergerak.

Koordinat itu tidak seperti sebelumnya. Titik merah di peta digital tidak tetap—ia bergerak, berbelok, lalu menghilang dan muncul lagi. Seolah... bernyawa.

"Fragment itu... ada di dalam seseorang," desis Riven.

Lira mengangguk pelan. "Kemungkinan paling logis adalah: fragmen kelima berhasil menyatu dengan inang biologis. Seorang manusia."

Mace memutar layar datanya. "Dan jika itu benar, orang itu sedang diburu oleh sistem."

"Tapi sistem sudah tidak stabil. Jika dia tertangkap...," suara Riven menegang, "fragmen itu akan pecah. Dan waktu akan mulai retak di dunia nyata."

Riven menggenggam helm pengintai dan memasangnya. "Kita harus menemukannya sebelum sistem menemukannya lebih dulu."

---

Mereka keluar dari sektor aman, menuju wilayah yang disebut Zona Terlarang: Echo Line. Daerah ini adalah retakan batas antara dunia simulasi dan realitas nyata—wilayah di mana waktu berdenyut aneh, dan suara dari masa lalu kerap terdengar samar.

Langkah mereka terhenti saat kabut keperakan menipis, memperlihatkan reruntuhan stasiun bawah tanah.

Dan di sana, seorang remaja berdiri di tengah rel kereta yang terbelah.

Tubuhnya kecil. Rambut acak-acakan. Tapi mata kirinya menyala samar—warna biru kehijauan, pola jam berputar di pupilnya.

Ia menatap Riven dengan ketakutan.

"A...aku dengar suara-suara di kepalaku. Mereka bilang aku... bukan manusia biasa."

Lira segera menurunkan senjatanya. "Kami tidak ingin menyakitimu. Kami di sini untuk membantumu."

Remaja itu menggeleng panik. "Aku tidak tahu siapa kalian. Tapi setiap kali aku tidur, aku melihat kota terbakar... dan bayangan orang ini—" Ia menunjuk Riven. "—memusnahkan semuanya."

Seketika, suara keras menggema.

TZZZZ—GGRKRRR—PROTOKOL INTERVENSI DIMULAI—UNIT PEMBURU AKTIF.

Empat drone raksasa muncul dari balik langit semu. Mereka berbentuk menyerupai laba-laba logam dengan mata berputar, dan senjata yang bisa melumpuhkan medan waktu.

Riven berteriak, "Mereka sudah menemukan dia!"

"Lindungi anak itu!" perintahnya.

Pertarungan pun meledak. Mace maju lebih dulu dengan dua senapan frekuensi ganda, menembakkan peluru waktu yang memutar ulang gerakan musuh dalam loop dua detik. Lira memecah medan kabut dengan granat distorsi, membuka jalur ke arah bocah tersebut.

Lihat selengkapnya