Dua fragmen bercahaya itu—Fragment 7 di tangan Aren, dan Fragment 8 di genggaman Riven—bergetar hebat saat mereka didekatkan. Arus energi dari keduanya saling menolak, lalu saling menarik, menciptakan pusaran waktu di sekeliling mereka. Lantai bergetar, dinding-dinding retak, dan langit-langit ruangan itu mulai merekah seperti kaca yang dihantam palu.
Lira berteriak, mencoba menjaga keseimbangan. "Riven! Jangan! Kalau waktunya belum tepat, dampaknya bisa fatal!"
Tapi Riven tetap pada pendiriannya. "Kita tidak punya waktu lagi. Aren takkan menyerahkan fragmennya. Dan sistem sudah mulai runtuh dari dalam!"
Mace maju ke sisi Riven, tubuhnya sedikit terbakar oleh percikan energi waktu. "Kalau kau melakukannya, kau tidak sendirian."
Aren, berdiri terpaku di tengah badai energi, masih memegang Fragment 7 dengan erat. Tapi dalam sorot matanya, ada keraguan. Cahaya ungu dari fragmen itu tampak semakin tak stabil.
"Aku mencoba melindungi kalian..." gumamnya lirih. "Tapi aku... mungkin aku juga hanya takut."
Riven menatapnya dalam-dalam. "Kita semua takut, Aren. Tapi ini bukan soal kita lagi. Ini soal semua orang yang terperangkap dalam lingkaran waktu ini. Ini tentang mereka yang tak pernah diberi pilihan."
Dan saat itu juga, Aren perlahan membuka genggamannya. Fragment 7 melayang keluar dari tangannya, tertarik pada saudara kembarnya di tangan Riven.
Saat kedua fragmen menyatu, cahaya putih menyilaukan meledak dari titik pertemuan mereka. Segala sesuatu menjadi diam. Suara, gerakan, bahkan detak jantung Riven terasa membeku dalam satu momen hening yang tak terlukiskan.
Kemudian waktu meledak.
Bukan dalam ledakan fisik, melainkan ledakan eksistensi: kilasan memori, serpihan masa depan, retakan dimensi paralel—semuanya menyatu dalam satu tarikan napas. Dunia berubah menjadi mozaik waktu yang pecah, dan Riven terhuyung ke belakang, dadanya serasa ditekan ribuan kilogram beban.
Ketika mereka sadar kembali, dunia di sekitar mereka telah berubah.
Jam-jam raksasa yang menghiasi langit-langit Clockworld kini hancur, mengambang tak teratur di udara. Ruang berubah bentuk—pintu muncul dan menghilang, lantai memanjang, dan waktu bergerak tak tentu arah. Seseorang bisa berjalan lima langkah dan tiba di masa kecilnya, atau jatuh ke lorong yang menuju ke masa depan lima ratus tahun mendatang.
"Kita... menyebabkan ini?" Lira ternganga.
"Tidak," jawab Riven pelan. "Ini adalah bentuk aslinya. Dunia ini memang sudah rusak. Sistem hanya menyembunyikannya."
Aren berdiri dengan sulit, menahan diri pada pilar yang retak. "Kalian membuka retakan terakhir. Sistem waktu sedang sekarat. Dan itu berarti... kita harus bergerak cepat. Sisa fragmen lainnya pasti mulai menunjukkan diri."
Mace menatap reruntuhan dengan mata penuh tekad. "Berarti kita setengah jalan. Tersisa enam fragmen lagi."
Tiba-tiba, langit di atas mereka terbelah, menampakkan sesuatu yang tak pernah mereka lihat sebelumnya: Void Axis, titik tengah dari segala kemungkinan—ruang di mana semua versi masa lalu, masa kini, dan masa depan bersilangan.
Aren menatapnya dengan ketakutan. "Kita tidak boleh ke sana. Tidak sekarang."
Riven, yang menatap Void Axis dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit kekaguman, hanya berkata, "Tapi ke situlah semua jalan akan bermuara. Pada akhirnya."
Langkah pertama mereka ke luar reruntuhan Clockworld membawa Riven dan kelompoknya ke sebuah dataran gelap nan sunyi, di mana cahaya remang langit seolah berasal dari retakan realitas itu sendiri. Di kejauhan, menara menjulang tinggi dengan bentuk spiral berlapis-lapis, seperti heliks DNA yang melingkar ke langit. Itu adalah The Paradox Spire—tempat di mana waktu berjalan mundur, dan kenangan menjadi nyata.
"Tempat ini... terasa aneh," gumam Lira sambil memeluk dirinya sendiri. "Seolah-olah kita sedang berjalan ke masa lalu... secara harfiah."
Aren mengangguk, wajahnya serius. "Paradox Spire menyimpan satu dari The Twelve Fragments. Tapi tidak seperti sebelumnya, fragmen di sini dilindungi oleh sesuatu yang jauh lebih kompleks: versi lama dari diri kita sendiri. Mereka adalah bayangan dari pilihan yang tak kita ambil."
Mereka melangkah maju, dan segera, efek aneh mulai terasa. Riven melihat kenangan masa kecilnya berkelebatan di pinggiran pandangan: rumah lama yang terbakar, suara tawa ibunya yang telah lama tiada, dan dirinya sendiri—seorang anak laki-laki kurus dengan luka di wajah, berdiri menatapnya dari jauh.
"Kenapa dia menatapku begitu?" Riven menggertakkan gigi.
"Itu kau, sebelum kau memilih melawan sistem," jelas Aren. "Di tempat ini, semua versi dirimu yang mungkin bisa muncul."
Begitu mereka memasuki menara, waktu mulai berjalan mundur secara ekstrem. Detak jantung mereka melambat, luka-luka lama sembuh dengan sendirinya, dan bahkan perasaan dendam yang menggerogoti hati Riven memudar... digantikan oleh ketakutan masa lalu.
Tangga melingkar yang menaikkan mereka ke puncak terasa tak berujung, dan di setiap lantai, mereka berhadapan dengan satu versi alternatif dari anggota tim mereka. Lira menghadapi dirinya sendiri yang dulu pengecut dan memilih diam saat saudarinya dikorbankan. Mace harus melawan versi dirinya yang memilih menjadi tentara sistem.
Tapi yang paling berat adalah saat Riven sampai di lantai tertinggi—dan menemukan dirinya duduk di sana. Tapi bukan dirinya yang sekarang. Sosok itu mengenakan jubah sistem, lengkap dengan simbol otoritas tinggi di bahunya.
"Kau... adalah aku?" Riven melangkah maju dengan hati berdebar.
Sosok itu menatapnya dengan senyum sinis. "Aku adalah kau yang menerima tawaran itu. Yang memilih kekuasaan, bukan perjuangan. Dan aku datang bukan untuk berbicara. Aku datang untuk menghentikanmu."
Duel waktu pun dimulai.
Mereka bertarung tak hanya dengan kekuatan fisik, tetapi dengan serpihan kenangan dan emosi. Riven yang sekarang bertahan dari serangan masa lalu yang penuh godaan: apa jadinya jika dia menyerah saat itu? Apa jadinya jika dia menerima posisi yang ditawarkan sistem?
Sementara itu, Aren dan yang lain berjuang menghadapi peluruhan realitas di sekitar menara. Struktur mulai runtuh, dan jika Riven gagal, semua ingatan mereka akan terhapus—seolah mereka tak pernah ada.
Tapi di tengah pertarungan, Riven mengingat satu hal: perasaan kehilangan yang dulu membakarnya. "Aku tidak akan mengkhianati mereka lagi. Tidak akan ada penyesalan kedua kali."