Riven bangun lagi, tenggorokannya kering. Sakit kepala menghantamnya seperti palu godam. Cahaya lampu gas masih berayun. Lantai batu masih basah. Tapi yang berbeda adalah: tak ada satu pun dari mereka yang mengingatnya.
Mace menatapnya curiga, tangan di gagang belatinya. "Kau siapa? Dari mana kau masuk ke zona ini?"
Riven menatap jam tangannya. Loop telah diulang. Tapi ingatanku utuh. Entah bagaimana, dia masih bisa mengingat segalanya. Tapi orang lain—Aren, Lira, bahkan Mace—semuanya mulai kehilangan jejak tentang siapa dia. Loop ini semakin ganas.
Riven mundur perlahan. "Aku teman kalian. Kita pernah bertarung bersama di loop sebelumnya. Di Dead Loop ini, kita hanya punya satu jam. Setelah itu, semua akan kembali ke awal. Tapi aku—aku ingat. Dan jika kita tidak menemukan jalan keluar, kalian semua akan perlahan melupakanku, lalu melupakan diri kalian sendiri."
Mace tertawa sinis. "Kau gila."
Lira tampak ragu. Tapi sesuatu di mata Riven—kesungguhannya—membuatnya diam.
Riven menarik napas, lalu mencoret dinding dengan pecahan batu.
"Loop: #2. Jika kau membaca ini, kau sudah mengulang."
Ia menuliskan lebih banyak: koordinat, tanda arah, catatan singkat tentang Clock Nexus. Setiap huruf ditulis cepat, tergesa. Waktu mereka terbatas.
01:32 AM.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Aren, menuruni tangga dengan ekspresi curiga.
"Menanam bukti. Petunjuk untuk diriku di loop berikutnya, kalau gagal lagi. Seperti memo temporal."
Ia berpaling ke Lira. "Tolong percaya padaku, meski kau tak ingat. Kau bisa merasakannya, kan? Bahwa aku tidak asing."
Lira menggigit bibirnya. Perlahan ia mengangguk. "Entah kenapa... aku memang merasa seperti kita pernah bicara sebelumnya."
Seketika itu juga, mereka mendengar langkah kaki berlari di lorong belakang.
Loopers. Lagi.
"Bergerak!" Riven menggandeng mereka berdua, berlari menuju lorong yang dia hafal. Kali ini dia tahu persis arah menuju Clock Nexus.
Mereka sempat melewati lorong yang bercabang. Di satu sisi, ada jejak darah. Di sisi lain, gelap total.
Riven ragu. "Di loop pertama, kita ambil yang gelap."
Dia memilih jalur berdarah.
01:45 AM.
Mereka tiba di ruangan berisi jam rusak dan roda gigi berkarat. Tapi sesuatu berubah: di tengah ruangan berdiri sosok... dirinya sendiri.
Riven berhenti. Nafasnya tercekat. Sosok itu identik—sama tinggi, pakaian sama, tetapi mata kosong, wajah kehilangan cahaya hidup.
"Dia... versimu dari loop yang lebih lama," bisik Aren. "Yang gagal terlalu banyak."
"Kalau aku mati di sini, aku akan jadi seperti dia," gumam Riven.
Versi tua Riven itu melangkah maju. Tidak menyerang—tetapi memberikan sesuatu: sebuah kunci jam.
Riven menerimanya. Begitu menyentuhnya, potongan memori menyeruak—kilasan perjuangan, tangisan, kebingungan, dan... perasaan kehilangan.
01:57 AM.
"Ayo cepat," seru Lira. "Waktu kita hampir habis."
Riven memasukkan kunci ke dalam salah satu slot pada Clock Nexus. Satu dari sembilan lampu menyala.
"Masih butuh delapan..." desisnya.
01:59 AM.
Dentang jam terdengar lagi. Dunia bergetar.
Putih.
Gelap.
01:27 AM.
Tapi kali ini... Lira menggenggam tangannya.
"Aku... mimpi tentangmu," bisiknya.
Riven tersenyum. "Satu fragmen memori berhasil terselamatkan."
Loop ketiga dimulai.
01:27 AM.
Untuk ketiga kalinya, Riven terbangun di lantai batu. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Suasana terasa... lebih berat. Dinding seolah menyimpan bisikan. Udara dipenuhi gaung samar dari percakapan-percakapan yang tak pernah ia ucapkan.
Lira memandangnya, tidak dengan rasa asing sepenuhnya—melainkan seperti seseorang yang mencoba mengingat mimpi yang baru saja lenyap.
"Kita pernah... lari bersama, bukan?" tanyanya lirih.
Riven mengangguk. "Kau mulai mengingat. Itu bagus."
Ia menoleh ke dinding tempat ia menulis di loop sebelumnya. Coretan itu masih ada. Tapi di bawahnya, ada tulisan lain.
Tulisan tangan yang bukan miliknya.
"Jangan percaya semua versi dirimu."
— R
Dia menatap tulisan itu lekat-lekat. Tulisan siapa? Dirinya dari loop lain? Kenapa memperingatkan dirinya sendiri?
"Loop ini akan lebih sulit," gumam Riven.
01:30 AM.
Aren muncul, dan kali ini—ia bersenjata lengkap. Armor kulit, kapak kecil di punggungnya. Dia bahkan tak bertanya siapa Riven. Ia langsung bicara:
"Aku tak tahu kenapa, tapi tubuhku tahu jalan ke tempat itu. Clock Nexus. Seperti... deja vu yang terlalu nyata."