Lorong sempit itu membawa Riven dan yang lain ke sebuah stasiun tua yang tersembunyi di bawah kota. Di atas pintu melengkung berkarat, ukiran jam pasir retak menyambut mereka. Papan nama yang hampir copot menggantung longgar:
"Stasiun Terminal: Lintasan Sisa."
Mereka masuk, napas terengah-engah. Di tengah peron yang gelap dan sepi, berdiri sebuah kereta tua—berwarna hitam pekat, dengan kaca jendela yang berkabut dari dalam. Di atas gerbong depannya terpasang papan digital, yang berkedip-kedip memunculkan tulisan:
"Tujuan: Tidak Terdefinisi."
"Energi: Tidak Cukup."
"Bagaimana cara menjalankannya?" tanya Aren.
Sebuah suara tua menjawab, "Kereta ini berjalan dengan ingatan murni. Tapi bukan sembarang ingatan. Kalian harus memberi sesuatu yang benar-benar kalian pegang erat—yang membentuk siapa kalian."
Mereka berbalik. Pria tua dari gang sebelumnya kini berdiri di bawah lampu gantung yang berkedip.
"Apa maksudmu dengan 'memberi'?" tanya Lira curiga.
"Jika ingin lolos dari Chronostead, salah satu dari kalian harus mengorbankan satu kenangan—yang tak bisa dikembalikan," jelasnya lirih. "Kereta akan mengubah kenangan itu jadi energi."
Riven menatap lantai. "Jadi... melupakan sesuatu selamanya?"
"Bukan hanya sesuatu," kata pria tua itu. "Seseorang, mungkin. Atau alasan kalian berjuang."
Hening.
Lira menggenggam liontin kecil di lehernya. Aren menatap jam sakunya. Tapi Riven menutup matanya.
"Aku akan melakukannya."
"Riven!" protes Lira. "Tunggu dulu—"
"Terlalu banyak yang aku ingat... dan sebagian membuatku diam di tempat." Ia melangkah ke mesin tua di dekat kepala gerbong. Ada tuas besi dengan celah menyerupai rongga otak.
Pria tua itu mengangguk. "Letakkan ingatanmu. Pilihlah dengan jujur."
Riven menggigit bibir, lalu berkata pelan, "Aku akan melepaskan... suara Ibu."
Semua terdiam.
"Setiap malam aku memutar ulang suaranya dalam pikiranku. Kata-kata terakhirnya sebelum dia hilang karena anomaly loop. Aku tak pernah ingin melupakannya. Tapi aku juga tak pernah bisa maju karena itu."
Ia menekan pelat logam di mesin. Sebuah sinar menyelimuti kepalanya, dan perlahan... suara-suara dalam benaknya pudar. Tangis, tawa, nasihat lembut... lenyap.
Dan saat itu juga, mesin berdetak hidup.
"Energi mencukupi. Jalur waktu sementara aktif."
Kereta mengeluarkan suara rendah. Pintu terbuka. Asap keluar dari sela-sela rel, seperti napas terakhir dari waktu yang dilupakan.
"Naiklah," kata pria tua. "Warden sedang dalam perjalanan."
Mereka bertiga masuk. Di dalam, kursi-kursi dipenuhi bayangan samar—siluet orang-orang yang pernah melarikan diri dari Chronostead namun meninggalkan bagian dari diri mereka.
Ketika kereta mulai bergerak, Riven duduk diam, matanya kosong. Lira menyentuh bahunya.
"Kau yakin?" bisiknya.
Riven menatapnya, lalu menggeleng pelan. "Aku tak yakin. Tapi mungkin... sekarang aku bisa mulai bertanya tentang masa depan, bukan hanya menatap masa lalu."
Di luar jendela, Chronostead perlahan menjauh. Warden muncul di peron—tapi sudah terlambat.
Kereta waktu membawa mereka ke tujuan baru. Tapi di akhir rel ini, sebuah teka-teki menanti:
siapa pencipta loop pertama, dan kenapa Riven terpilih sejak awal.
Kereta waktu melaju menembus celah realitas, meninggalkan Chronostead dan menuju ke wilayah yang bahkan para penjaga waktu segan masuki. Asap hitam di luar jendela berubah menjadi riak warna-warni, seperti lukisan yang dilelehkan. Gerbong berguncang keras saat rel-rel tak kasatmata dilintasi, dan akhirnya—rem mendecit panjang, sebelum berhenti.