Riven merasakan sensasi aneh saat dia membuka matanya. Semua yang ada di sekelilingnya tampak kabur, samar, dan tidak stabil. Seperti mengambang di ruang hampa, tidak ada tanah yang menginjak, tidak ada langit yang menjulang. Semua seolah terhenti, dan dalam kegelapan ini, ia merasakan kekosongan yang menyesakkan.
Lira dan Aren berdiri di sampingnya, keduanya tampak bingung, namun tetap terjaga. Suasana itu begitu aneh—seperti berada di antara dimensi, di luar batasan waktu yang mereka kenal.
"Apa yang terjadi?" tanya Lira, suaranya hampir tak terdengar, seperti berbisik pada dunia yang tak mendengarkan.
"Aku... tidak tahu," jawab Riven dengan perlahan, suaranya terdengar gemetar. "Aku menekan tombol itu... dan semuanya jadi gelap."
Aren menatap sekeliling dengan waspada, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. "Kita tidak berada di dalam waktu lagi, kan? Tidak ada detik, menit, atau jam. Apa yang kita lihat ini hanya bayangan dari dunia yang kita tinggalkan."
Riven mengangguk, tapi hatinya terasa berat. Apa yang baru saja mereka lakukan? Mereka tidak hanya menghancurkan mesin, tapi juga seluruh sistem yang mengendalikan waktu—sebuah keputusan yang tidak bisa dibalikkan lagi. Dunia yang ada sebelum ini sudah hilang, dan sekarang, mereka terjebak di dalam kekosongan tanpa arah.
Tiba-tiba, sebuah suara bergaung di udara, seperti gema yang berasal dari jauh, namun terasa begitu dekat. "Apakah kalian sudah siap untuk menghadapi konsekuensinya?"
Riven menoleh dengan cepat. Arkitect muncul di depan mereka, meskipun wujudnya kini berbeda—tidak lagi sekadar energi, tetapi lebih seperti sosok yang terbuat dari kabut waktu itu sendiri. Ada kesan bahwa Arkitect adalah entitas yang lebih besar dari apapun yang mereka bayangkan.
"Kau... masih ada di sini?" tanya Lira, suaranya penuh dengan kebingungan dan kekhawatiran. "Apa yang terjadi? Apakah ini dunia yang kau ciptakan?"
Arkitect tersenyum samar, wajahnya tidak bisa dibaca. "Ini bukan dunia yang saya ciptakan. Ini adalah dunia yang kalian pilih—dunia tanpa batasan waktu. Tanpa awal dan akhir. Di sini, tidak ada yang pasti. Hanya ada kekosongan yang tak terukur."
Riven merasakan ketegangan yang memuncak di dalam dirinya. "Kami telah menghancurkan sistemmu... mengapa kau masih ada di sini?"
"Karena saya adalah sistem itu," jawab Arkitect dengan suara dalam yang menggema. "Saya adalah akar dari segala sesuatu yang kalian kenal sebagai waktu. Meskipun mesin yang kalian hancurkan runtuh, saya tetap ada. Saya adalah keberlanjutan, bahkan dalam ketiadaan."
Aren mengangkat tangan, seakan ingin berdebat, tetapi Riven menahan dia. "Lalu, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami tak ingin berada di sini. Kami ingin kembali."
Arkitect menggelengkan kepala, tidak ada rasa kasihan dalam tatapannya. "Kembali? Tidak ada yang bisa kembali, Riven. Kalian telah menghapus jejak waktu yang ada. Tidak ada masa lalu, tidak ada masa depan. Hanya ada sekarang. Dan 'sekarang' itu kosong."
Lira tampak cemas, tetapi ia tetap tegar. "Kami harus mencari cara untuk memperbaikinya. Ada jalan keluar dari kekosongan ini, kan?"
Arkitect mengamati mereka sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ada jalan keluar. Tapi kalian harus berhadapan dengan konsekuensi dari pilihan kalian. Kalian bisa memilih untuk mengembalikan waktu, tetapi dengan harga yang sangat tinggi. Setiap keputusan yang kalian buat akan membawa kalian lebih jauh ke dalam kedalaman yang tak terbayangkan."
Riven memejamkan mata, merasakan beratnya keputusan yang harus diambil. Mereka sudah memilih untuk menghancurkan waktu, tetapi apa yang bisa dilakukan sekarang? Apakah ada cara untuk memperbaiki semuanya?
Namun, di tengah ketidakpastian itu, sebuah suara lain terdengar, kali ini datang dari tempat yang sangat jauh. "Riven... Lira... Aren..."
Suara itu mengusik kesunyian, dan Riven merasa ada sesuatu yang familiarnya di dalamnya. Dengan cepat, ia menoleh ke arah suara itu datang.
Tiba-tiba, sosok yang familiar muncul dari dalam kegelapan—sebuah bayangan samar yang semakin jelas. Sosok itu adalah... dirinya sendiri.
Riven terpaku. Sosok di hadapannya semakin jelas. Itu adalah dirinya—tetapi bukan dirinya yang ia kenal. Sosok itu tampak seperti salinan dirinya, namun dengan ekspresi yang berbeda. Wajahnya tampak lebih tua, lebih tegas, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Riven merasa seolah-olah ia sedang melihat dirinya sendiri di masa depan.
Lira dan Aren juga terkejut, melihat sosok itu muncul dari kegelapan. Lira mengerutkan kening, tatapannya penuh tanda tanya, sementara Aren berdiri lebih dekat, waspada.
"Apa... apa yang terjadi?" tanya Riven, langkahnya mundur sedikit, merasa tidak nyaman dengan kehadiran sosok yang begitu mirip dengannya.
Sosok itu—dirinya yang lain—tersenyum, tetapi bukan senyuman yang menenangkan. Itu adalah senyuman yang penuh dengan pengetahuan, seperti seseorang yang telah mengetahui semua rahasia yang tak bisa diungkapkan.
"Kau tidak perlu takut," jawab sosok itu dengan suara yang dalam, namun memantul dengan ketenangan yang tidak dimiliki Riven. "Aku adalah hasil dari pilihan yang telah kau buat, Riven. Aku adalah apa yang akan menjadi dirimu jika kau terus mengikuti jalur ini."
Riven mengerutkan kening, bingung. "Tapi... siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan dariku?"
Sosok itu menghela napas pelan, seolah mengerti kebingungannya. "Aku adalah refleksi dari perjalananmu. Sebuah manifestasi dari apa yang akan terjadi ketika takdir waktu dihapus. Saat kau menghancurkan mesin, kau tidak hanya menghancurkan aliran waktu. Kau juga membuka jalan untuk melihat dirimu yang lebih dalam—keputusan yang kau buat akan mengubah segalanya. Dan aku adalah pengingat dari semua itu."
"Apa maksudmu?" tanya Lira, sambil mendekat, matanya tetap fokus pada sosok itu. "Apa yang terjadi pada waktu adalah hasil dari pilihan Riven. Tapi bagaimana kita bisa memperbaikinya?"
Sosok itu tersenyum lagi, senyum yang penuh dengan kepahitan. "Memperbaiki? Tidak ada yang bisa diperbaiki sekarang. Kalian semua telah memilih untuk menghancurkan waktu. Dunia ini—tidak ada lagi yang bisa kembali. Kalian bisa memilih untuk menciptakan waktu baru, tetapi setiap keputusan memiliki harga yang harus dibayar."