Chrono Prisoner

Penulis N
Chapter #12

12

Begitu cahaya dari bola kristal mereda, Riven, Lira, dan Aren mendapati diri mereka tidak lagi berada di gua yang sama. Tanah di bawah kaki mereka terasa dingin dan rapuh, dan langit di atas kepala bukan lagi langit lembah—melainkan hamparan kelabu yang retak seperti kaca, menampakkan kilatan cahaya dan bayangan yang tak wajar.

"Di mana... ini?" bisik Lira, suara lirihnya nyaris tertelan keheningan.

Riven mengangkat kepalanya perlahan. Dunia di sekitar mereka tampak seperti pecahan mimpi yang berserakan: hutan melayang di udara, sungai mengalir ke atas, dan bangunan-bangunan purba berdiri miring di atas jurang tanpa dasar. Sebuah dunia yang jelas-jelas rusak. Retak. Tapi... hidup.

"Kita tidak sedang bermimpi," gumam Aren. "Ini... ini dunia lain. Atau mungkin... bayangan dari dunia kita."

Mereka berjalan perlahan, langkah hati-hati melewati tanah yang rapuh, yang kadang bergetar dan memunculkan retakan cahaya. Di kejauhan, mereka melihat sosok-sosok samar yang berjalan, melayang, atau hanya berdiri tak bergerak di antara puing-puing udara. Namun begitu didekati, sosok-sosok itu lenyap seperti kabut tersapu angin.

"Kita harus mencari tahu apa ini," ucap Riven tegas. "Mungkin tempat ini menyimpan jawaban yang tak pernah kita temukan di dunia kita."

Ketiganya menuruni bukit rendah menuju reruntuhan sebuah menara yang tampak masih utuh sebagian. Menara itu terbuat dari logam dan batu, dihiasi simbol yang mengingatkan mereka pada batu purba. Namun, sebelum mereka sempat mendekat, suara berat bergema di sekitar mereka—tidak dari satu arah, melainkan dari seluruh ruang.

"Kalian yang membangunkan Cahaya Dalam, telah melintasi batas dunia," kata suara itu. "Ini adalah Bayangan Aetheria—pantulan dari segala kehendak, keinginan, dan kerusakan. Dunia yang diciptakan oleh pikiran terdalam, dan dihancurkan oleh kekuasaan yang berlebihan."

Tiba-tiba, dari langit yang retak, sosok besar turun perlahan—sebuah entitas berwujud manusia tapi tanpa wajah. Hanya cahaya menyilaukan di tempat matanya seharusnya berada. Di tubuhnya terukir simbol-simbol yang sama seperti di altar gua, dan dari setiap langkahnya, tanah bergemuruh.

"Kalian ingin memahami? Maka kalian harus memilih," lanjut suara itu, kali ini seakan berbicara langsung ke dalam jiwa mereka. "Pilih untuk mengikat dunia kalian dengan Bayangan ini... atau hancurkan semuanya demi membangun kembali dari awal."

Lira menggenggam lengan Riven dengan kuat. "Apa maksudnya? Ini semacam ujian?"

"Aku rasa ini bukan sekadar ujian," jawab Riven pelan. "Ini... tawaran. Ancaman. Atau mungkin, jalan."

Aren maju setengah langkah. "Jika ini Bayangan Aetheria... maka apa yang kita lihat di sini bisa saja mengubah Aetheria nyata."

Tiba-tiba, sosok besar itu mengangkat tangannya. Di hadapan mereka, muncul dua jalan bercahaya. Yang satu mengarah ke sebuah taman indah penuh cahaya, tenang, namun diam. Yang satu lagi menuju ke jantung badai—penuh kegelapan, petir, dan suara jeritan.

"Jalan pertama: damai tanpa pilihan. Jalan kedua: perjuangan dan kebenaran. Pilih."

Ketiganya saling memandang. Pilihan ada di depan mereka. Tidak ada waktu untuk ragu.

Riven menarik napas dalam. "Kalau kita memilih jalan damai, mungkin dunia kita akan aman, tapi akan dikendalikan oleh kekuatan ini. Kalau kita memilih jalan perjuangan, kita mungkin kehilangan banyak hal... tapi setidaknya itu pilihan kita."

Lira mengangguk. "Aku tak ingin hidup di dunia damai yang penuh ilusi."

Aren mencabut pedangnya. "Kita berjuang."

Mereka pun melangkah ke jalan kedua—ke dalam badai, ke dalam dunia yang terdistorsi, tempat kebenaran menanti mereka. Dan saat langkah mereka menjejak jalan itu, Bayangan Aetheria mulai bergetar.

Dunia ini akan berubah—dan tak ada jalan kembali.

Begitu ketiganya melangkah ke jalur badai, dunia di sekitar mereka bergetar keras. Langit yang retak memancarkan kilatan cahaya menyilaukan, dan tanah yang mereka pijak tampak seperti lembaran kaca yang nyaris pecah. Angin menderu, menyampaikan suara-suara yang sulit dikenali—jeritan, bisikan, dan gema dari masa lalu yang entah milik siapa.

Riven, Lira, dan Aren berpegangan satu sama lain, berjalan menembus pusaran angin dan kilat. Setiap langkah terasa seperti melawan arus kekuatan yang tak kasatmata. Jalan yang mereka pilih bukan sekadar metaforis; badai ini hidup, sadar, dan menguji setiap bagian jiwa mereka.

"Lihat!" teriak Lira, menunjuk ke arah satu celah besar di langit yang menganga seperti luka. Dari dalamnya mengalir bayangan-bayangan—makhluk-makhluk tak berbentuk dengan mata menyala dan tubuh seperti asap padat.

Mereka datang.

Tanpa aba-aba, Aren maju dan menebas salah satu bayangan yang menyambar dari samping. Pedangnya berhasil memecah makhluk itu, tapi serpihannya menyusup ke tanah, membuat retakan bercahaya menjalar cepat.

"Ini bukan pertempuran biasa!" teriak Riven. "Mereka bukan makhluk fisik. Mereka... perasaan. Emosi. Bayangan dari dalam diri kita sendiri!"

Salah satu makhluk menyentuh bahu Riven. Seketika dia merasa seolah sedang tenggelam dalam keraguan—suara-suara menghujaninya, mempertanyakan semua pilihannya: mengapa dia hidup? Mengapa dia bertarung? Apa semua ini berarti?

Lira menghampirinya dan menariknya dengan kuat. "Jangan dengarkan! Itu bukan kamu. Itu... suara dari retakan!"

Dengan susah payah, Riven menguatkan pikirannya. Dia menggenggam liontin yang tersisa dari ibunya—satu-satunya benda yang selalu membawanya kembali pada kenyataan. Cahaya dari liontin itu bersinar, dan bayangan yang mengelilinginya mundur, hancur oleh cahaya kecil tapi murni.

Aren, di sisi lain, menghadapi makhluk yang memanipulasi amarahnya. Bayangan itu berbentuk seorang pria—ayahnya—yang mengacungkannya jari sambil berteriak, "Kau bukan apa-apa! Kau hanya beban!"

Aren memejamkan mata. "Itu bukan dia. Ayahku memang keras, tapi dia menyelamatkan kami semua. Aku tahu dia mencintaiku." Saat dia membuka matanya, bayangan itu lenyap, dan jalannya kembali terbuka.

Setelah perjuangan penuh luka, mereka sampai di dataran tenang di tengah badai. Angin menghilang perlahan, menyisakan langit kelam dan suara gemuruh yang perlahan berubah menjadi bisikan.

Dari dalam tanah, bangkitlah sosok berjubah putih, wajahnya tertutup topeng setengah pecah.

Lihat selengkapnya