Suasana di dalam menara pusat Origin Loop menjadi semakin mencekam. Cahaya berkedip-kedip seperti jantung mesin yang sekarat. Retakan menyebar di sepanjang dinding kristal transparan, memperlihatkan lautan data dan energi yang berputar seperti badai di dalamnya.
Riven, Lira, dan Aren berdiri diam di hadapan pintu menuju inti sistem.
"Pintu ini hanya akan terbuka untuk satu orang," ujar The Warden, suaranya semakin lemah seiring detaknya menyatu dengan retakan di sekelilingnya. "Satu orang harus masuk... dan menghapus Loop dari dalam. Tapi setelah itu, tidak ada jalan kembali."
Satu langkah ke dalam—dan mereka tak akan pernah keluar.
"Jadi," lanjutnya, "siapa di antara kalian... yang akan menjadi The Final Key?"
Ketiganya terdiam.
Lira menunduk. "Aku yang paling pantas untuk ini," katanya pelan. "Aku diciptakan oleh sistem. Aku bagian dari kebohongan ini. Mengakhirinya... adalah tanggung jawabku."
Aren menggeleng. "Tidak. Aku yang pernah mencoba melarikan diri, membiarkan teman-temanku mati saat itu. Sekarang, aku bisa menebus semuanya."
Riven menatap keduanya, suara tenang namun dalam. "Kalian berdua sudah memberikan segalanya. Tapi hanya aku yang mengerti inti sistem ini hingga ke akar. Aku yang pernah jadi penjaga, jadi boneka mereka. Aku yang harus mengakhirinya."
Pertengkaran kecil nyaris terjadi. Tapi The Warden menghentikan mereka.
"Tak perlu adu mulut. Pintu ini... akan memilih."
Tanpa aba-aba, sebuah cahaya menyala dari dinding di belakang. Panel muncul dengan simbol kuno: sebuah mata terbuka, melambangkan kebenaran.
Tiba-tiba, lantai di bawah mereka membentuk tiga lingkaran cahaya, satu untuk tiap orang.
"Silakan melangkah. Sistem akan mendeteksi siapa yang paling layak."
Ragu-ragu, mereka melangkah.
Saat mereka berdiri dalam lingkaran masing-masing, cahaya menyala terang. Layar holografik muncul, menampilkan kenangan, luka, kebohongan, dan pengorbanan mereka. Riven melihat kembali dirinya menunduk di hadapan Administrator. Lira melihat tubuhnya di pabrik kloning. Aren menatap wajah ibunya yang pudar ditelan waktu.
Sistem menilai, diam-diam, dalam sekejap... lalu keputusan dibuat.
Lingkaran Riven menyala biru menyilaukan. Dua lainnya padam perlahan.
"Keputusan telah dibuat," bisik The Warden. "Riven. Kau adalah kunci."
Lira dan Aren menatapnya, antara lega dan getir. Tapi tak ada penolakan.
"Kami bersamamu... sampai akhir," ujar Lira.
"Kau tutup bab ini... dan kami pastikan dunia barunya layak dibuka," tambah Aren.
Riven menatap keduanya. Ia tak bicara. Tapi langkahnya menuju pintu berbicara banyak.
Pintu logam perlahan membuka, memperlihatkan lorong penuh kilatan energi, seperti pusaran waktu. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat—karena setiap langkah adalah perpisahan.
Sebelum pintu menutup, Riven menoleh. "Kalau dunia itu jadi ada... tolong jaga satu sama lain. Jangan biarkan sistem baru terbentuk dari reruntuhan yang sama."
Pintu tertutup.
Hening.
Lalu... seluruh menara mulai bergetar hebat.
Dari atas, cahaya menjulang menembus langit semu sistem digital. Gelombang energi menjalar keluar, merobohkan seluruh jaringan palsu yang membentuk Origin Loop.
Di luar, dunia mulai runtuh. Tapi juga... terbuka.
---
Sementara itu, di inti terdalam sistem, Riven berdiri sendirian.
Di hadapannya—sebuah kristal raksasa yang berdenyut seperti jantung. Di dalamnya, miliaran wajah manusia yang tak sadar bahwa mereka telah tertidur selama ribuan siklus.
Ia mengangkat tangannya. Panel perintah terbuka. "RESET FINAL: CONFIRM?"
Jari Riven menyentuh layar. Tapi sebelum menekan... sebuah suara terdengar.
"Jika kau menghapusku... semua jiwa akan kembali ke dunia yang telah mati. Mereka akan bangun dalam kehampaan."
Itu suara sistem.
Riven menarik napas. "Lebih baik mereka terbangun dalam kehampaan... daripada hidup dalam mimpi yang dikurung."
Ia menekan tombol.
RESET CONFIRMED.
Sistem menjerit. Cahaya meledak. Dunia—terbelah.
Langit terbuka.
Bukan langit biru dengan awan menggantung, melainkan kehampaan kelabu yang tak berbatas. Cahaya berpendar lemah dari celah-celah puing, sisa-sisa Origin Loop yang kini telah hancur total. Dunia maya itu... telah runtuh.