Chrono Prisoner

Penulis N
Chapter #17

17

Suara jeritan makhluk-makhluk gelap menggema dari balik pepohonan. Kabut di sekitar mereka kini menipis, memperlihatkan bayangan-bayangan mengerikan yang mulai bergerak cepat ke arah Lira dan Aren. Tapi mereka tidak gentar. Mereka telah berlatih bersama, bertarung bersama, dan bertahan bersama. Hari ini, mereka akan berdiri bersama, apapun yang terjadi.

Aren menarik belatinya dan merunduk rendah, bersiap menghadapi gelombang pertama. Di sebelahnya, Lira sudah mengangkat pedangnya tinggi, matanya menyala dengan semangat yang tak pernah pudar.

Makhluk pertama menerjang, tubuhnya seperti bayangan cair yang berubah bentuk setiap saat. Aren mengayunkan belatinya, memotong makhluk itu dengan presisi. Suara raungan kematian bergema, diikuti oleh letupan kabut hitam.

Lira tak mau kalah. Ia melompat ke udara, memutar tubuh dan menebas dua makhluk sekaligus dengan gerakan anggun dan mematikan. Percikan energi hitam meledak di udara.

Namun musuh tak habis-habis. Untuk setiap makhluk yang mereka kalahkan, dua lagi muncul. Seolah-olah hutan ini adalah tempat lahir mereka, dan mereka akan terus keluar sampai kelelahan mengambil alih para pejuang terakhir.

"Ini tak akan selesai!" seru Aren, nafasnya mulai berat.

"Tapi kita tak boleh mundur!" balas Lira.

Di tengah-tengah pertempuran, suara Penjaga Perbatasan kembali terdengar, kali ini lebih dekat.

"Kalian bertarung dengan gagah, tapi apa yang kalian pertahankan? Nyawa satu sama lain, atau ego bahwa kalian tak mau berpisah?"

Pertanyaan itu menghantam mereka seperti palu. Dan tiba-tiba, dunia sekitar mereka membeku.

Makhluk-makhluk itu berhenti bergerak. Udara berhenti berputar. Bahkan detak jantung mereka seolah melambat.

Waktu berhenti.

Lira memandangi Aren. Matanya mengandung ketakutan dan juga keyakinan. "Mungkin... mungkin ini bukan soal menang atau kalah, Ren. Mungkin ini tentang menerima. Bahwa jika aku harus tinggal, dan kau harus pergi—itu bukan akhir."

Aren terdiam. Dadanya sesak oleh kata-kata yang tak terucap. Ia tahu Lira benar. Dunia ini adalah ujian, bukan hanya kekuatan, tapi penerimaan.

Penjaga Perbatasan muncul di antara mereka, kini lebih jelas dari sebelumnya. Wajahnya menua, tapi matanya tajam seperti pisau.

"Kalian telah menunjukkan keberanian dan keteguhan hati. Namun satu hal lagi harus kalian buktikan: Keikhlasan. Salah satu harus tetap di sini, menjaga perbatasan ini dari kehancuran, atau kalian berdua akan hancur bersama."

Diam. Sunyi. Angin bahkan tak berani berdesir.

Lira menunduk, lalu melangkah maju. "Aku akan tinggal."

"Apa? Tidak!" Aren langsung meraih tangannya.

Lira memaksa tersenyum. "Kau harus pergi. Dunia membutuhkanmu, Ren. Kau tahu itu. Aku sudah melihatnya dalam mimpi. Kota malam itu, yang runtuh... Kaulah satu-satunya yang bisa menghentikannya."

Air mata mulai mengalir di pipi Aren. "Aku tak bisa... tanpamu..."

"Aku akan tetap bersamamu," bisik Lira, meletakkan tangannya di dada Aren. "Di sini."

Penjaga mengangguk perlahan. "Keputusan telah dibuat. Perbatasan akan dijaga. Jalanmu terbuka, Pewaris Malam."

Tiba-tiba cahaya meledak dari tubuh Lira. Wajahnya damai, tubuhnya perlahan berubah menjadi kilauan bintang yang beterbangan di udara. Aren berteriak, mencoba menahan cahaya itu, tapi tidak bisa. Ia hanya bisa menyaksikan sosok yang ia cintai menjadi bagian dari dunia ini, menjadi satu dengan malam.

Ketika semuanya mereda, sebuah jalan terbuka di hadapannya—cahaya samar yang menembus hutan gelap itu, menandai jalur baru.

Aren jatuh berlutut, nafasnya berat, jiwanya remuk. Tapi di balik itu semua, sebuah kekuatan baru tumbuh.

Ia berdiri. Mengangkat wajahnya. "Aku akan menyelesaikan ini. Untukmu, Lira."

Dan dengan langkah tegap, ia melangkah ke jalan cahaya itu—menuju takdir yang telah menunggunya sejak awal.

Denton berdiri di antara dua dunia yang bergolak. Ruang antara waktu kini retak-retak, menampakkan pemandangan yang membuat siapa pun gemetar: kota masa depan yang dipenuhi mesin hidup dan menara menjulang tinggi, serta reruntuhan masa lalu tempat ingatan manusia tertambat.

Di hadapannya berdiri sosok yang hampir menyerupai dirinya—seragamnya sama, tapi warna matanya perak tanpa emosi. Clone hasil eksperimen ChronoCore: "Unit 44-D."

"Jadi, ini hasil akhir kalian," gumam Denton. "Mengganti manusia dengan tiruannya yang bisa diprogram."

Unit 44-D mengangkat senjatanya. "Tugas saya: menghapus penyimpangan temporal. Dan kamu adalah penyimpangan terbesar."

Denton tidak bergerak. Di belakangnya, Eira menarik napas dalam-dalam, bersiap melempar satu lagi granat pelumpuh waktu. Tapi Denton mengangkat tangan, memberi isyarat untuk menunggu.

"Aku tahu bagaimana kalian berpikir," ujar Denton. "Kalian melihat waktu sebagai alur yang bisa dikontrol. Tapi manusia bukanlah data. Aku punya luka, keraguan, dan pilihan. Itulah yang membuatku nyata."

Unit 44-D tampak goyah sesaat. Ini bukan bagian dari skrip yang ia miliki. Denton memanfaatkan jeda itu dan bergerak cepat—mengaktifkan sabuk Chrono-Flux-nya, menciptakan bayangan dari masa lalu dan masa depan dirinya dalam sekejap.

Empat Denton muncul di tempat berbeda—semua bergerak bersamaan, satu menarik perhatian Unit 44-D, satu lagi meraih modul temporal dari sakunya.

Dengan satu tekanan, modul itu meledak dalam pancaran cahaya biru.

Waktu terdistorsi. Segala sesuatu di sekitar mereka melambat, kemudian melaju cepat, lalu berhenti total.

Dalam dunia yang membeku itu, hanya Denton dan Eira yang masih bisa bergerak. Teknologi yang mereka curi dari Laboratorium Utama akhirnya bekerja.

Lihat selengkapnya