Riven berdiri, tubuhnya terasa terbungkus dalam keheningan yang menyesakkan. Setelah cahaya Core mereda, hanya sisa-sisa gelap yang membentang, mengisyaratkan bahwa masa lalu kini telah berlalu. Echo—tak lagi berwujud, tak lagi tampak—terpendam dalam lapisan waktu yang tak bisa dijangkau. Semua yang terjadi kini hanya kenangan bagi mereka yang masih bisa bertahan.
Riven menarik napas dalam-dalam. Namun, meskipun dunia di sekitarnya mulai terurai, ada satu hal yang terus mengusik pikirannya. Rasa hampa yang melingkupi setiap langkahnya. Walaupun pertempuran sudah berakhir, dan meskipun algoritma pengampunan telah meresap dalam dirinya, ada satu pertanyaan yang tetap tidak terjawab.
Apa selanjutnya?
Setelah membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu, Riven mendapati dirinya sendirian di ruang yang tidak lagi memiliki kejelasan. Mirrorfield, tempat pertemuan antara waktu dan ruang, kini menghilang, digantikan oleh sebuah lanskap yang lebih terbuka. Seperti sebuah dunia baru yang menunggu untuk ditulis ulang.
Riven berjalan ke arah horizon. Setiap langkah terasa berat, tapi semakin jauh ia melangkah, semakin ringan beban yang menimpanya. Saat itu, muncul sebuah suara yang familiar, tetapi kali ini tidak berasal dari sistem. Tidak pula dari dunia luar. Suara itu datang dari dalam dirinya.
"Riven..."
Dia berhenti. Menoleh ke belakang, mencari asal suara. Namun, hanya ada keheningan.
"Riven..."
Riven menutup matanya. Mengingatnya. Eira. Suaranya yang pernah menghantui, kini membawa kedamaian yang tak terucapkan. Ia merasakan kehadiran Eira, meskipun tubuhnya tidak ada di sini. Namun, rasanya seperti Eira berada di seluruh dunia, dalam setiap detak waktu yang masih terjaga.
"Eira," gumam Riven, memanggil dalam bisikan. Tanpa sadar, sebuah senyum kecil terbit di bibirnya. Tak ada penyesalan lagi, tak ada kebencian. Hanya pengakuan bahwa semua ini, baik atau buruk, adalah bagian dari takdir yang ia pilih.
Saat itu, Chrono Core bersinar kembali. Cahaya itu kini tidak menakutkan, tetapi penuh harapan. Di dalam cahaya itu, Riven melihat gambaran masa depan yang baru. Tanpa perang. Tanpa kebingungan. Tanpa pengorbanan yang sia-sia. Hanya ada kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar kembali, kali ini dari luar. "Riven... dunia belum selesai."
Riven menoleh, dan melihat sebuah bentuk yang memantulkan cahaya, seperti bayangan yang pernah ada, namun kali ini lebih kuat. Wujud itu adalah sebuah pesan dari masa lalu yang belum sepenuhnya terungkap.
Dengan mantap, Riven melangkah menuju cahaya itu, mengetahui bahwa perjalanan belum berakhir. Karena meskipun masa lalu telah terhapus, waktu selalu memberikan kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru.
Riven melangkah, kaki-kakinya menapaki tanah yang tidak dikenalnya. Ia merasa seperti baru saja keluar dari batas-batas dunia yang telah lama ia tinggalkan, menuju sesuatu yang lebih luas, lebih bebas, dan lebih tidak pasti. Namun, rasa takut yang biasanya datang di tengah ketidakpastian itu tidak ia rasakan. Sebaliknya, ada kedamaian yang hadir dalam setiap jejaknya.
Langit di atasnya perlahan berubah. Gradasi biru yang awalnya menenangkan kini berganti dengan semburat oranye dan ungu, seolah-olah alam semesta sedang menyambut kedatangannya ke tempat baru ini. Tidak ada suara gaduh, hanya hembusan angin yang lembut. Tanpa sistem yang mengatur, tanpa Core yang menghubungkan, hanya ada dirinya sendiri dan dunia baru yang harus ia pahami.
Di kejauhan, tampak sebuah gerbang besar, terlindungi oleh kabut tipis yang tampaknya berasal dari suatu dimensi yang tidak terjangkau. Gerbang itu memancarkan cahaya yang seolah-olah mengundang Riven untuk masuk, memberi isyarat bahwa apa yang ada di dalamnya adalah bagian dari takdirnya yang lebih besar.
Namun, sebelum ia sempat mendekat, sebuah suara muncul dari dalam dirinya, lebih jelas daripada sebelumnya. "Jangan terburu-buru. Dunia ini bukan hanya tentang melangkah maju. Terkadang, kamu harus melihat ke belakang untuk memahami apa yang telah kamu tinggalkan."
Riven berhenti. Kata-kata itu seperti gema yang memantul di dalam hatinya, mengingatkannya pada perjalanan panjang yang telah dilalui. Eira. Ia ingat betapa banyak pengorbanan yang telah dilakukan untuk sampai ke titik ini. Meskipun masa lalu itu penuh dengan luka, ia sadar bahwa setiap langkahnya mengarah ke tempat ini—tempat di mana ia bisa memilih kembali.
Mata Riven terpejam sejenak. Ia merasakan beban yang tidak terlihat, seberat gunung, namun tidak lagi menakutkan. Beban itu adalah kenyataan bahwa segala yang ia lakukan selalu memiliki konsekuensi. Namun, kini, ia merasa lebih kuat. Sebuah keputusan besar telah diambil, dan dengan itu, masa depan yang terbentang luas di hadapannya adalah haknya untuk dijelajahi.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Riven pada dirinya sendiri. Jawaban yang datang tidak langsung, namun sebuah bisikan yang menenangkan hatinya.
"Temukan dirimu lagi. Lepaskan dirimu dari penjara waktu."