Langit malam terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah-olah ada sesuatu yang sedang mengintai di balik kabut tebal yang menyelimuti dunia ini. Ketika Riven melangkah melewati pintu yang terbuka, ia tidak lagi merasa seperti dirinya sendiri. Ruangan di balik pintu itu adalah tempat yang jauh lebih besar daripada yang ia bayangkan. Sekilas, itu tampak seperti sebuah ruang kosong yang tak berujung, namun begitu ia melangkah lebih dalam, ia merasakan keberadaan sesuatu yang sangat kuat—sesuatu yang dapat mengubah takdirnya selamanya.
Langkahnya menggema di seluruh ruang yang tampaknya tidak memiliki dinding ini, hanya ada tanah yang dipenuhi cahaya redup yang memancar dari bawah kaki Riven. Cahaya itu bergerak dengan cara yang aneh, seperti aliran sungai yang perlahan mengalir di permukaan tanah. Setiap langkah Riven meninggalkan jejak, tetapi jejak itu segera lenyap seiring waktu, seolah-olah dunia ini menyembunyikan apa yang telah dilaluinya, dan tidak ada yang akan dikenang.
Riven merasakan sebuah suara dalam dirinya, bukan suara yang datang dari luar, melainkan suara yang berasal dari dalam hati dan pikirannya. Suara itu mengingatkannya akan sesuatu yang penting. Setiap pilihan yang ia buat akan mempengaruhi dunia ini, dan setiap konsekuensi dari pilihan itu bisa berujung pada perubahan yang tidak terduga.
Di hadapannya, ia melihat sebuah batu besar dengan simbol yang sangat familiar, namun ia tidak dapat mengingat dari mana ia pernah melihatnya. Simbol itu seperti sebuah kunci yang tak terpecahkan, menghubungkan masa lalu dengan masa depan yang belum terjadi. Batu itu memancarkan aura yang sangat kuat, hampir seperti menariknya untuk mendekat.
Namun, sesaat sebelum ia bisa meraihnya, sebuah suara lain terdengar, datang dari arah belakangnya.
"Jangan sentuh itu," suara itu begitu dalam dan menakutkan, seakan berasal dari kedalaman yang jauh. "Batu itu bukanlah sekadar simbol. Itu adalah ujian yang tidak bisa kamu sembuhkan dengan kekuatan apa pun."
Riven berbalik dan melihat sosok seorang pria yang tampaknya sudah menunggu di sana sejak lama. Ia mengenakan jubah hitam dengan wajah tertutup sebagian oleh tudung. Hanya matanya yang tampak jelas, dan mata itu memancarkan kekuatan yang tak terbayangkan.
"Siapa kamu?" tanya Riven, mencoba untuk mengukur situasi ini dengan lebih hati-hati.
"Aku adalah penjaga jalan ini," jawab pria itu dengan suara berat. "Setiap orang yang datang ke sini harus melalui ujian, dan hanya mereka yang benar-benar siap yang dapat melanjutkan. Kamu sudah sampai sejauh ini, tetapi masih banyak pilihan yang akan menguji keimanan dan keberanianmu."
Riven merasa keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia sudah tahu bahwa dunia ini penuh dengan teka-teki yang menantang, tetapi sejauh ini, ia belum pernah benar-benar dihadapkan pada keputusan yang benar-benar menguji dirinya. Batu di hadapannya, dengan simbol yang aneh dan misterius itu, tampaknya akan menjadi titik yang menentukan jalannya.
"Ujian?" tanya Riven, mencoba memahami maksud pria tersebut. "Apa maksudmu?"
Pria itu mengangguk pelan. "Batu itu adalah penentu. Pilihanmu sekarang akan menentukan bagaimana jalan ini akan berakhir. Kamu bisa mengambil batu itu dan menggunakannya, tetapi setiap kekuatan yang kamu peroleh dari sana akan datang dengan harga yang sangat tinggi. Hanya satu orang yang dapat memegangnya, dan setelah itu, kamu harus memilih: melanjutkan perjalanan atau membiarkan dunia ini mengalir dengan takdirnya sendiri."
Riven menatap batu itu dengan rasa ingin tahu dan kekhawatiran yang saling berpadu. Ia tahu bahwa di setiap langkah, ia harus siap menghadapi konsekuensi, tetapi apakah ia siap untuk memilih dengan bijak? Apa yang akan terjadi jika ia memilih untuk mengambil batu itu? Dan jika ia tidak mengambilnya, apakah dunia ini akan tetap terjebak dalam siklus yang tak berujung?
Pria itu menatapnya sejenak sebelum melanjutkan. "Keputusan ini adalah milikmu. Tidak ada yang bisa membantumu selain dirimu sendiri. Kamu akan merasakan harga dari pilihanmu dalam cara yang tak terduga."
Dengan kata-kata itu, pria itu menghilang begitu saja, meninggalkan Riven sendirian dalam keheningan. Hanya suara langkahnya yang terdengar di udara yang berat. Riven kembali menatap batu itu, merasa beban keputusan itu semakin menekan dadanya.
Mungkin ini adalah ujian yang telah ia nantikan, namun juga ketakutan terbesar yang harus dihadapinya. Setiap pilihan yang ia buat akan menggantungkan nasib banyak orang, bukan hanya dirinya sendiri.
Riven mengangkat tangannya, mendekati batu itu. Tangan yang seharusnya memegang harapan, sekaligus takut akan harga yang harus dibayar.
Namun, saat jari-jarinya menyentuh permukaan batu itu, sebuah cahaya terang melesat dari dalam batu, memancar ke seluruh ruang. Riven terkejut, hampir kehilangan keseimbangan, tetapi ia tetap berdiri tegak. Cahaya itu tidak hanya menyelimuti dirinya, tetapi juga menciptakan kilatan-kilatan yang tampaknya menembus waktu dan ruang.
"Begitu kamu menyentuhnya, perjalananmu tidak akan bisa dibalikkan," suara pria itu terdengar kembali, jauh namun jelas.
Dengan rasa cemas dan keberanian yang tak terukur, Riven menarik nafas panjang dan menarik tangannya, siap menerima konsekuensi dari pilihannya. Dunia ini tidak akan pernah sama lagi.