Riven melangkah lebih dalam, menembus lapisan-lapisan waktu yang tak terhitung jumlahnya. Setiap detik terasa seakan membawa beban yang lebih berat, seiring dengan perjalanan yang semakin dekat dengan kebenaran yang selama ini ia hindari. Waktu, yang dulu ia anggap sebagai sebuah linearitas yang jelas, kini menjadi entitas yang misterius dan penuh jebakan. Tidak ada lagi yang pasti; semuanya bisa berubah dengan satu pilihan—dan itu adalah pilihan yang kini ada di tangannya.
Di kejauhan, Riven melihat sebuah cahaya berpendar, sesuatu yang menariknya, seakan cahaya itu mengundangnya untuk melangkah lebih jauh. Namun, di dalam dirinya, ada perasaan ragu yang semakin menguat. Apa yang akan terjadi jika ia mendekati cahaya itu? Apa yang akan ia temui setelahnya?
Dia berhenti sejenak, merasakan kegelisahan yang semakin membesar dalam hatinya. Di sepanjang perjalanannya, dia telah menghadapi berbagai rintangan dan teka-teki, tetapi tidak ada yang seberat keputusan yang harus ia buat sekarang. Mengubah waktu? Atau menerima kenyataan bahwa waktu tidak dapat diputar kembali, dan segala yang telah terjadi akan tetap menjadi bagian dari takdir yang tak bisa dihindari?
"Apa yang akan kamu lakukan, Riven?" suara itu muncul kembali, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. "Kamu telah berada di ambang takdir yang tak terhindarkan. Apakah kamu akan memilih untuk berjuang melawan arus, atau menerima kenyataan?"
Riven menutup matanya, mencoba menenangkan diri. Saat itu, kenangan tentang orang-orang yang telah ia kehilangan kembali muncul dalam benaknya. Ibunya, ayahnya, sahabat-sahabatnya—mereka semua adalah bagian dari cerita yang telah berakhir. Namun, ada satu hal yang tak bisa dia lupakan. Mereka selalu mengajarinya untuk tidak menyerah, untuk terus maju meskipun segala sesuatunya tampak tak mungkin.
"Apakah saya harus membiarkan mereka pergi?" tanya Riven dengan suara serak. "Apakah saya harus menerima bahwa saya tidak bisa memperbaiki segalanya?"
Tidak ada jawaban langsung, hanya angin yang berhembus pelan melalui celah-celah waktu yang ada di sekitarnya. Namun, dari kedalaman itu, sosok yang mengawasinya sejak awal muncul sekali lagi, dengan senyuman tipis di wajahnya.
"Kadang-kadang, membiarkan pergi adalah bentuk kekuatan yang lebih besar daripada mencoba memutarbalikkan waktu," kata sosok itu, suara kali ini lebih lembut, penuh empati. "Mereka yang telah pergi tidak pernah benar-benar hilang. Kenangan mereka akan tetap hidup, membentuk jalanmu ke depan. Dan mungkin, hanya dengan menerima kenyataan itu, kamu akan menemukan kekuatan untuk melangkah lebih jauh."
Riven merasakan ketenangan yang aneh mengalir dalam dirinya, meskipun masih ada rasa sakit dan keraguan yang menggantung. Menerima kenyataan bukanlah hal yang mudah. Namun, dalam diri Riven, ada sesuatu yang mulai berubah—sebuah pemahaman bahwa waktu yang ada sekarang adalah satu-satunya yang bisa dia kendalikan.
Dia melangkah maju, mendekati cahaya yang semakin terang di hadapannya. Sebuah perasaan baru muncul dalam dirinya—bukan perasaan takut, tetapi rasa yakin bahwa keputusan yang harus ia ambil bukanlah tentang memutarbalikkan waktu. Melainkan, bagaimana ia menggunakan waktu yang tersisa untuk membuat perubahan yang berarti, untuk diri sendiri, dan dunia yang masih bisa diselamatkan.
Dengan langkah mantap, Riven mendekati cahaya itu, tidak tahu apa yang akan ia temui, tetapi siap untuk menghadapi apapun yang menunggu. Karena dalam hatinya, dia tahu—perjalanan ini belum berakhir. Ini adalah bab baru dalam cerita yang lebih besar, dan Riven tidak akan menyerah sebelum ia menemukan jalan yang benar.
Riven memasuki lingkaran cahaya yang semakin membesar, seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang, hanya meninggalkan dirinya yang berdiri di pusatnya. Suara angin seakan berhenti, dan segala suara dunia luar lenyap. Di dalam ruang yang tak terhingga ini, Riven merasa seolah-olah waktu tidak lagi berperan. Semua yang ada di sekitarnya hanyalah bayang-bayang dari kenangan yang telah hilang, seperti potongan-potongan puzzle yang tak pernah utuh.
"Selamat datang, Riven," suara yang familiar terdengar di telinganya. Namun, kali ini, suara itu bukan berasal dari luar dirinya. Ia mengenalinya—itu adalah suara dirinya sendiri, tetapi dengan nada yang lebih dalam dan lebih berat, seolah mengandung lapisan-lapisan waktu yang tak terhitung.
Riven mengerutkan dahi, berusaha mencari asal suara itu. "Apa ini? Apa yang terjadi?"
Suara itu kembali terdengar, seolah berasal dari inti dirinya. "Kamu telah memasuki ruang di luar waktu. Tempat di mana kenyataan dan kemungkinan bertemu. Di sinilah semua keputusan yang telah kamu buat di sepanjang perjalanan ini terletak. Di sinilah kamu akan menemukan jalan yang sejati."
Riven merasa gemetar. Ia menyadari, ini adalah tempat yang bukan hanya penuh dengan kemungkinan, tetapi juga penuh dengan pilihan-pilihan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Semua keputusan yang ia buat, setiap jalan yang ia pilih, kini terbuka di hadapannya, saling berkelindan dalam jaringan yang rumit. Waktu, yang selalu ia lihat sebagai garis lurus, ternyata adalah sebuah labirin tanpa ujung.
"Bagaimana saya bisa memilih dengan bijak?" tanya Riven, matanya yang memandang kosong ke dalam kegelapan yang tak tampak batasnya. "Semua yang saya lakukan sejauh ini penuh dengan keraguan. Bagaimana saya bisa tahu apa yang benar?"
Suara itu kembali, kali ini terdengar lebih sabar. "Terkadang, Riven, yang benar bukanlah yang terkuat atau yang paling pasti. Terkadang, yang benar adalah apa yang kamu pilih untuk percayai, meskipun itu membawa risiko. Keputusanmu, meskipun penuh dengan ketidakpastian, adalah apa yang membentuk takdirmu."
Riven menutup matanya sejenak, merenungkan kata-kata itu. Hati dan pikirannya bertarung, antara rasa takut dan harapan. Di dalam dirinya, ia tahu bahwa jalan ini tak akan mudah, dan tidak ada yang pasti. Namun, ada satu hal yang ia sadari—untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa siap untuk memilih. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu yang menghalanginya. Tidak ada lagi kekhawatiran yang menahannya. Dia harus melangkah ke depan, apa pun konsekuensinya.
Ketika matanya terbuka lagi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Di sekelilingnya, dunia mulai terbentuk kembali. Bentuk-bentuk kabur mulai memadat menjadi garis-garis yang jelas, membentuk sebuah peta perjalanan—perjalanan yang akan menentukan takdirnya. Jalan-jalan itu ada di hadapannya, terbentang seperti jalan-jalan yang ia tinggalkan sebelumnya. Tetapi kali ini, ada pilihan yang lebih banyak. Pilihan yang lebih rumit.
"Saya harus memilih," kata Riven pada dirinya sendiri, berbicara dalam hati. "Dan saya tidak akan lari."
Di depan matanya, berbagai jalur terbuka. Salah satu jalan berkilau dengan cahaya biru yang menenangkan, sementara yang lain gelap dan berkelok dengan kabut yang tak terduga. Ada jalan yang terlihat terang dengan janji kedamaian, tetapi di baliknya tersembunyi ketidakpastian. Ada jalan lain yang tampak penuh dengan tantangan, tetapi menawarkan kesempatan untuk mengubah takdir. Riven tahu, tidak ada jalan yang sempurna, dan tidak ada cara untuk mengetahui hasilnya sebelum ia melangkah.
Riven menarik napas dalam-dalam. Ia tidak tahu apa yang menunggu di ujung jalan, tetapi ia tahu satu hal—selama ia masih bisa memilih, ia akan melakukannya. Mungkin tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi selanjutnya, tetapi dengan setiap langkah, ia akan menciptakan masa depannya sendiri.