Langkah Riven terasa berat saat ia mendekati pintu yang terletak di ujung lorong gelap. Cahaya yang memancar dari balik pintu itu seolah-olah menariknya ke dalam, namun juga menakutkan. Sebuah perasaan campur aduk berkecamuk dalam dadanya—antara harapan dan ketakutan, antara rasa ingin tahu dan keraguan.
Saat ia mendekat, dunia sekitarnya terasa semakin hening. Suara langkahnya seakan terserap oleh kegelapan, hanya ada suara detak jantungnya yang berdetak keras di telinga. Pintu itu, meski terlihat biasa, memberi kesan sangat berat—seakan apa pun yang ada di baliknya bukanlah sesuatu yang bisa ia tanggung.
"Aku sudah sampai di sini," gumamnya, merasakan beratnya beban yang membebaninya. Rasa takut yang begitu kuat datang begitu saja, menguasai pikiran dan tubuhnya. "Ini adalah titik terakhir. Aku harus melangkah lebih jauh."
Namun, saat tangan Riven menyentuh gagang pintu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Pintu itu menolaknya. Bukan secara fisik, tetapi seolah energi dari pintu tersebut menolaknya mundur, memberikan rasa sakit yang tajam di seluruh tubuhnya. Seperti ada kekuatan yang tidak tampak menghalangi jalannya. Riven terhuyung, hampir terjatuh, namun ia menahan diri.
"Kenapa?" Riven bertanya dengan suara bergetar, kebingungannya semakin dalam. "Kenapa aku tidak bisa membuka pintu ini? Aku sudah sampai sejauh ini..."
Suara wanita itu terdengar lagi, kali ini jauh lebih lembut. Ia mendengarnya di dalam pikirannya, seolah suara itu berasal dari ruang yang jauh namun sangat dekat.
"Pintu ini bukan untuk siapa saja, Riven. Kamu harus menghadapinya dengan hati yang terbuka, bukan dengan kekuatan yang kamu miliki."
Riven merasakan sesuatu yang berbeda, seperti ada yang menuntunnya untuk menenangkan diri, untuk merenung. Suara wanita itu mengalir dalam pikirannya, memberikan sebuah peringatan yang mendalam.
"Kamu terlalu fokus pada usaha untuk membuka pintu ini dengan kekuatanmu, dengan kemarahanmu terhadap masa lalu. Padahal, kunci yang dibutuhkan bukanlah kekuatan fisik, melainkan penerimaan. Kamu harus menerima dirimu, kesalahanmu, dan juga masa lalumu yang telah membentukmu."
Pernyataan itu menghantam Riven dengan keras, dan untuk pertama kalinya ia merasa seperti dirinya tidak tahu apa yang sebenarnya ia cari. Selama ini, ia berjuang untuk menemukan jawaban dari setiap teka-teki yang ada, tetapi ia lupa untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Apa yang selama ini ia cari? Apa yang benar-benar ia inginkan?
Riven menundukkan kepala, merenung sejenak. Ia mengingat setiap keputusan yang telah ia buat sepanjang hidupnya. Setiap langkah yang membawanya ke titik ini—ke pintu ini. Kesalahan yang ia buat, orang-orang yang ia tinggalkan, dan juga impian yang ia kejar. Semua itu telah membentuknya, tetapi apakah ia siap untuk menerima semuanya?
"Penerimaan..." bisiknya pelan, meresapi kata-kata itu.
Tiba-tiba, seberkas cahaya menyinari tubuhnya. Cahaya itu tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam dirinya sendiri. Sebuah perasaan yang luar biasa mengalir di dalam tubuhnya, seperti kekuatan baru yang ia temukan. Itu bukan kekuatan fisik, tetapi kekuatan mental, kekuatan untuk menerima kenyataan. Kekuatan untuk mengakui bahwa ia tidak sempurna, bahwa ia tidak selalu benar, tetapi ia tetap berharga.
"Sekarang, coba buka pintunya lagi," suara wanita itu kembali terdengar, kali ini penuh dengan harapan.
Dengan hati yang lebih ringan, Riven menarik napas dalam-dalam dan meraih gagang pintu sekali lagi. Kali ini, tidak ada perlawanan. Tidak ada rasa sakit. Hanya ketenangan yang mengalir ke seluruh tubuhnya.
Dengan perlahan, pintu itu terbuka. Cahaya yang keluar dari baliknya begitu terang, namun tidak menyilaukan. Sebaliknya, itu terasa seperti panggilan yang menyambutnya, mengundangnya untuk melangkah masuk.
Riven menatap ke dalam, dan untuk pertama kalinya, ia merasa siap. Siap untuk apa pun yang ada di hadapannya. Tidak lagi terjebak dalam ketakutan atau kebingungannya, tetapi dengan penerimaan yang tulus.
Dia melangkah masuk ke dalam cahaya itu, tanpa ragu. Dunia baru menunggunya, penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas. Namun, yang lebih penting dari itu adalah kenyataan bahwa ia akhirnya menemukan dirinya sendiri. Dengan hati yang penuh penerimaan dan ketenangan, Riven siap menghadapi apapun yang datang.
Riven melangkah lebih jauh ke dalam ruangan yang terbuka di hadapannya. Cahaya yang menyinari ruang itu tampak seperti meliputi seluruh dunia, namun bukan cahaya matahari biasa. Ia merasa seolah-olah dunia di luar, yang penuh dengan kebingungan dan kegelapan, menghilang begitu saja. Hanya ada kedamaian yang membungkusnya.
Ruang itu lebih luas dari yang ia bayangkan. Tembok-temboknya berkilau dengan warna yang tidak bisa ia kenali, seakan terbuat dari bahan yang tidak ada di dunia ini. Namun, yang paling menarik adalah sebuah benda besar yang berada di tengah ruangan: sebuah meja berlapis kristal dengan pola rumit yang berputar di atasnya. Di meja itu, ada sebuah benda kecil yang terlihat seperti jam pasir, tetapi tidak seperti jam pasir biasa. Ini adalah jam pasir yang terbuat dari cahaya, yang berputar tanpa henti.
Di sekeliling meja, ada beberapa bayangan yang tampak seperti bentuk manusia, tetapi tak sepenuhnya jelas. Riven tidak bisa melihat dengan pasti siapa atau apa mereka, tetapi ia bisa merasakan kehadiran mereka. Seperti entitas yang telah ada lebih lama dari manusia, mereka berdiri dengan tenang, seolah menunggu sesuatu.
"Selamat datang, Riven," suara itu datang lagi, kali ini lebih jelas dan lembut dari sebelumnya. "Kamu telah sampai pada titik di mana perjalananmu yang sesungguhnya dimulai."
Riven merasa seluruh tubuhnya bergetar. Dia memandang sekitar, mencari sumber suara itu, tetapi tidak ada siapa pun yang tampak berbicara. Namun, entah bagaimana, ia tahu siapa yang berbicara—itu adalah suara yang sama yang telah membimbingnya dari awal perjalanan ini. Suara yang memberinya keberanian untuk terus melangkah meskipun rintangan begitu besar.
"Siapa kamu?" tanya Riven dengan penuh keteguhan. Meskipun ia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan batinnya, rasa ingin tahu dan kebutuhan untuk memahami semakin kuat.
"Aku adalah bagian dari dirimu yang belum kamu temui sepenuhnya," jawab suara itu dengan lembut. "Aku adalah bagian dari alam semesta yang ada di dalammu, yang membimbing kamu untuk menemukan jalanmu yang sejati."