Riven berjalan menuju hutan yang lebih lebat di depan, tempat yang seolah tak pernah ia kenal sebelumnya. Setiap langkahnya terasa seperti menuju suatu tempat yang penuh misteri, namun ia tahu bahwa ia harus terus melangkah. Tidak ada jalan lain. Jika ia ingin menuntaskan apa yang telah lama terlupakan, ia harus menghadapi masa lalunya, meskipun itu berarti membuka luka yang masih membekas.
Bayangan Wendy yang baru saja menghilang masih terngiang di telinganya. Kata-kata itu—"Hadapi masa lalumu, Riven"—berputar-putar dalam pikirannya. Ada rasa takut yang menggerayangi, namun juga ada keberanian yang tumbuh seiring langkahnya. Tidak ada jalan lain selain maju.
Hutan ini berbeda dari yang biasa ia lewati. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan cabang-cabang yang saling bersilangan, menciptakan lorong sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu orang. Udara terasa lebih dingin di sini, dan suara angin yang berdesir di antara dedaunan seolah menjadi bisikan-bisikan dari dunia yang tak terjamah.
Tiba-tiba, di tengah keheningan yang mencekam, Riven mendengar suara gemerisik dari semak-semak di sebelah kiri. Tanpa ragu, ia berhenti, menoleh dengan hati-hati. Sesosok makhluk melintas cepat di antara pepohonan, hanya meninggalkan bayangan samar yang hilang dalam sekejap. Riven bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa, sebuah aura yang membuatnya merasa diawasi. Tetapi, ia tidak takut. Ia sudah terbiasa dengan ancaman dan bahaya di dunia ini.
Langkah Riven kembali melaju, dan setelah beberapa saat, ia tiba di sebuah clearing—sebuah padang rumput kecil di tengah hutan yang sepi. Di tengah padang itu, berdiri sebuah bangunan tua yang terlihat seperti reruntuhan. Dindingnya sebagian runtuh, dan atapnya hampir ambruk. Namun, ada sesuatu yang memanggilnya untuk mendekat.
Di dekat pintu yang setengah terbuka, sebuah patung batu berdiri tegak. Patung itu menggambarkan seorang pria dengan mata yang tertutup rapat, dan tangan yang terangkat seolah memegang sesuatu yang tak terlihat. Ada sesuatu yang aneh tentang patung itu, seolah ia mengenalinya. Hatinya berdetak lebih cepat, dan rasa penasaran semakin menguat.
Ia melangkah mendekat, mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas dalam-dalam. Ketika ia memandang lebih dekat pada patung itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Patung batu tersebut mulai bersinar, perlahan-lahan, dengan cahaya yang memancar dari dalam diri patung itu sendiri. Riven terkejut, langkahnya terhenti sejenak, dan ia mengamati perubahan yang tak dapat dijelaskan.
Cahaya itu semakin terang, dan tiba-tiba, sebuah suara terdengar, lembut namun penuh kekuatan. "Riven... akhirnya, kau datang."
Riven menegakkan kepala, tatapannya tertuju pada patung yang kini tidak lagi tampak seperti patung. Itu adalah sosok seorang pria yang berdiri di sana, mengenakan jubah panjang, wajahnya tertutup oleh bayangan. Suaranya datang dari dalam, seolah menggema dari dalam dirinya sendiri.
"Siapa kau?" tanya Riven, suaranya sedikit bergetar, meskipun ia berusaha tetap tenang.
Sosok itu tersenyum, namun senyumnya terasa seperti senyuman penuh rahasia yang tak ingin dibuka. "Aku adalah penjaga. Penjaga dari waktu yang telah kau lewatkan. Aku adalah bagian dari takdirmu yang telah lama terlupakan."
Riven mengerutkan kening. "Penjaga? Takdirku?"
Sosok itu mengangguk. "Ya. Takdirmu lebih besar dari yang kau bayangkan, Riven. Kau adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari apa yang kau lihat saat ini. Yang kau anggap sebagai masa lalu bukanlah akhir dari perjalananmu, tetapi permulaan dari sesuatu yang lebih gelap."
Riven merasa ada sesuatu yang salah, tapi ia tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar. "Apa maksudmu?"
Sosok itu mengulurkan tangan, dan tiba-tiba, di hadapan Riven, sebuah gambar mulai terbentuk di udara, mengambang di antara mereka. Gambar itu menunjukkan sebuah kota besar, hancur dan terbakar. Jalan-jalan yang dahulu ramai kini sepi, dan hanya ada bayangan-bayangan yang bergerak di antara reruntuhan. Itu adalah gambaran masa depan—masa depan yang tampak suram dan penuh kehancuran.
"Apa ini?" tanya Riven, matanya tidak bisa lepas dari gambaran itu.
"Itulah masa depan yang sedang menunggu," jawab sosok itu dengan nada yang dalam. "Masa depan yang akan terjadi jika kau tidak memilih dengan bijak. Keputusan yang kau buat sekarang akan menentukan apakah dunia ini akan bertahan atau hancur."
Riven menggigit bibir, mencoba mencerna kata-kata itu. "Lalu, apa yang harus aku lakukan?"
Sosok itu tidak menjawab segera. Ia menundukkan kepalanya sejenak, seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya dengan hati-hati. "Kau harus memilih, Riven. Pilih untuk bertahan, atau pilih untuk menghancurkan."
Riven merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Pilihan itu terasa berat. Apa yang dimaksud dengan "bertahan" dan "menghancurkan"? Apakah itu berkaitan dengan keputusannya untuk menghadapi masa lalu atau justru untuk meninggalkannya selamanya?
Sosok itu kembali mengangkat wajahnya, dan saat ia berbicara, suaranya penuh dengan ketegasan. "Apa pun yang kau pilih, masa depan ini akan tetap mengikuti jejakmu. Jangan lari dari takdirmu."
Dengan kata-kata terakhir itu, sosok itu menghilang, meninggalkan Riven dengan gambar kota yang hancur dan pilihan yang menunggu untuk diambil. Riven berdiri di tengah clearing itu, tubuhnya diliputi perasaan cemas dan bingung.
"Tidak ada pilihan mudah," gumamnya dalam hati, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Tetapi ia tahu satu hal dengan pasti: perjalanan ini jauh dari selesai. Keputusan yang akan ia buat selanjutnya akan menentukan takdir bukan hanya dirinya, tetapi juga dunia yang ada di sekitarnya.
Riven berdiri di tengah clearing yang sunyi, perasaan berat menghimpit dadanya. Citra kota yang hancur masih terbayang di matanya, menggantung di udara seperti bayang-bayang masa depan yang tak bisa dihindari. Sambil mengalihkan pandangannya, ia berusaha mencari jalan keluar dari hutan ini. Namun, apa yang baru saja ia alami masih berputar-putar di pikirannya.
"Apa yang harus aku lakukan?" Riven bergumam, bertanya pada dirinya sendiri, meski tahu tak ada jawaban yang bisa diberikan oleh angin yang berdesir atau pepohonan yang berbisik.
Dia melangkah dengan pelan, mencoba mencari jawaban dari dirinya sendiri. Waktu—kata itu terus berputar di benaknya. Waktu yang bisa diselamatkan, waktu yang bisa dihancurkan. Masa depan yang diwarnai dengan kehancuran atau masa depan yang bisa diubah, hanya dengan satu pilihan.
Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah ada kekuatan yang menariknya ke dalam kesendirian yang lebih dalam. Tapi tidak ada jalan lain selain maju. Keputusan yang diambil kini akan membawa dampak, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh dunia.
Ketika Riven memasuki hutan yang semakin gelap, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tiba-tiba, udara terasa lebih tebal, dan keheningan semakin mencekam. Langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah cahaya kecil yang berpendar di kejauhan. Tanpa ragu, ia berjalan menuju cahaya itu, berharap itu akan membimbingnya keluar dari kebingungannya.
Setibanya di tempat itu, Riven mendapati sebuah pintu batu besar yang tertutup rapat, dihiasi dengan ukiran rumit yang tampak sangat kuno. Di tengah pintu itu terdapat simbol yang tak dikenalnya—sebuah lingkaran dengan garis-garis bersilangan di tengahnya, seperti sebuah jam matahari yang usang.
Pintu itu terlihat seperti pintu yang tidak akan terbuka dengan mudah, namun di bawah cahaya yang bersinar dari simbol itu, ada kesan bahwa pintu ini adalah kunci untuk langkah selanjutnya. Tanpa berpikir panjang, Riven meletakkan telapak tangannya di simbol tersebut, dan seketika itu juga, pintu itu mulai terbuka perlahan, mengeluarkan suara gemerisik yang tajam.
Dari balik pintu yang terbuka, ia melihat sebuah ruangan yang sangat luas, penuh dengan rak-rak buku dan peta yang tersebar di sekelilingnya. Suasana ruangan itu mengingatkan Riven pada perpustakaan kuno, namun ada sesuatu yang lebih dari sekedar buku-buku berdebu di sini. Ruangan ini tampaknya lebih dari sekedar tempat penyimpanan pengetahuan.
Di tengah-tengah ruangan, berdiri seorang pria tua yang mengenakan jubah hitam, wajahnya penuh kerutan, dengan tatapan yang tajam seolah sudah melihat jauh melampaui waktu. Riven merasakan aura kekuatan yang sangat kuat dari pria itu, dan meskipun ia tidak mengenalnya, ada perasaan aneh bahwa pria ini adalah seseorang yang sangat penting dalam pencariannya.