Langkah-langkah mereka bergema di lorong batu yang meliuk seperti tubuh naga tua. Di belakang mereka, pintu besi telah tertutup, menyegel jalan kembali. Di depan, lorong menganga seperti rahang gelap yang menelan cahaya. Hanya sorot senter Dari yang memantul di dinding basah, menciptakan bayangan liar yang menari.
"Kita hampir sampai ke pusatnya," gumam Riven, suara seraknya memantul, terdengar seperti bisikan makhluk lain.
Dari tidak menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, jari-jarinya erat menggenggam senter seakan itu satu-satunya yang nyata. Ia tahu, mereka sudah melewati batas. Ini bukan lagi tentang melarikan diri—ini adalah tentang menghadapi sesuatu yang bahkan waktu pun enggan menyentuhnya.
Lorong itu akhirnya membuka ke sebuah ruangan besar, melingkar dan tinggi, seperti aula tua yang terlupakan. Di tengahnya berdiri sesuatu—struktur seperti monolit dari logam hitam, memancarkan denyut samar-samar cahaya biru dari celah-celahnya. Seakan jantung mekanis yang tertidur.
"Mesin Waktu itu," kata Dari nyaris tak percaya. "Tapi... bentuknya—"
"Berubah," sela Riven. "Sama seperti segalanya di sini. Tak ada yang stabil. Bahkan waktu bisa retak."
Mereka melangkah mendekat, dan udara di sekitar mesin terasa lebih dingin. Riven menyentuh sisi logamnya, dan sebuah aliran seperti arus listrik menjalar ke tubuhnya, sekejap saja, namun cukup untuk membuatnya mengertakkan gigi.
"Riven?" panggil Dari pelan, melihat tubuh temannya menegang.
"Aku baik," jawab Riven. Tapi matanya terpaku pada sesuatu yang lain—refleksi di permukaan logam itu. Bukan dirinya. Bukan Dari. Tapi sosok lain. Seseorang yang memakai wajahnya, tapi lebih tua, matanya kosong, penuh kehampaan.
Dan kemudian—cahaya di sekitar mereka bergetar. Dunia bergetar. Seakan ruangan itu tersentak oleh denyut dari mesin.
"Aku melihat... sesuatu," kata Riven. "Seperti... pantulan masa depan."
"Bukan pantulan," kata suara lain, berat dan dalam. "Itu aku."
Mereka berdua menoleh cepat. Dari balik bayang-bayang, muncul sosok tinggi dalam jubah kelabu, wajahnya tersembunyi, namun aura yang dipancarkannya membuat darah Riven membeku. Langkahnya pelan, tapi setiap gerakan terasa seperti menyayat dimensi waktu.
"Siapa kau?" tanya Dari dengan suara bergetar.
Sosok itu mengangkat wajahnya—dan Riven melihat dirinya sendiri. Tapi bukan dirinya. Lebih tua. Lebih rusak. Bekas luka menyilang pipi, dan mata kirinya hitam, seperti lubang hampa yang menelan cahaya.
"Aku Riven," kata sosok itu. "Yang seharusnya. Yang kau tinggalkan."
"Aku tidak mengerti," ujar Riven, mundur setapak. "Ini semacam simulasi?"
"Bukan," jawab sang Bayangan. "Aku adalah kau yang mengambil jalan berbeda. Yang menyerah pada mesin. Yang membiarkan waktu menguasai. Dan sekarang, aku di sini... karena kau berusaha mengubah apa yang tak seharusnya diubah."
Dari melangkah maju. "Dia tidak berusaha mengubah. Dia mencari kebenaran."
"Tapi harga kebenaran adalah pengkhianatan," balas sang Bayangan. "Waktu tidak pernah memaafkan. Dan kau, Riven, telah memecahkannya."
Angin dingin berputar di dalam ruangan. Mesin mulai berdenyut lebih cepat, seakan terbangun oleh ketegangan di antara dua Riven yang berdiri saling menatap.
"Aku tidak akan menyerahkan diriku pada penyesalan," tegas Riven. "Aku datang untuk memperbaiki semua ini. Apa pun yang terjadi."
"Dan kau pikir kau bisa?" Sang Bayangan menoleh ke mesin. "Mesin ini tidak hanya menyimpan waktu. Ia menyimpan kemungkinan. Semua versi dirimu. Semua kegagalanmu. Termasuk aku."
Kemudian, dengan gerakan cepat, Bayangan Riven mengangkat tangannya, dan ruangan mendadak berubah. Dinding-dindingnya lenyap. Riven dan Dari berdiri di tengah pusaran kenangan—adegan-adegan dari hidup Riven berputar di sekeliling mereka. Kegagalannya. Ketakutannya. Hari ketika ia membiarkan adiknya hilang dalam loop waktu. Hari ketika ia nyaris menghancurkan seluruh zona waktu demi menyelamatkan satu orang.
"Lihat!" teriak sang Bayangan. "Inilah kau. Penuh kesalahan. Penuh cacat. Waktu tidak butuh pahlawan. Waktu butuh keseimbangan. Dan aku... sudah menjadi bagian dari keseimbangan itu."
"Lalu kenapa kau masih di sini?" tanya Riven, matanya tajam. "Kalau kau sudah puas, kau tak akan menampakkan diri. Kau takut. Takut aku bisa berhasil."
Bayangan itu diam. Seketika, semuanya membeku. Pusaran waktu berhenti.
Dan Riven melangkah maju.
"Aku tak sempurna. Tapi aku tak akan berhenti. Jika aku gagal, aku gagal sebagai diriku sendiri. Bukan versi cacat yang tunduk pada sistem."
Kemudian, ia menyentuh mesin. Dan saat jemarinya menyentuh celah yang menyala itu—ledakan cahaya meledak dari dalamnya, menelan segalanya.