“Bu Ve tak secantik mama dan begitulah kejujuranku. Namun, hatinya jauh lebih cantik. Aku tempatkan ia tak lagi sederajat dengan wanita yang kusebut mama, tapi jauh di atasnya. Hingga seberapa jauh keinginanku untuk mengetahui tentang mama, masih hidupkah ia, telah lenyap karenanya.” (FREA)
Indahnya sebuah kamar berdinding warna pink lembut. Kasurnya empuk, selimut halus, dan hangat. Beberapa boneka panda, kucing, dan kelinci berjajar di sana. Hal itu begitu nyaman di pikiran Frea kecil yang meringkuk dan menggigil di sudut ruang yang lembap. Samar-samar ada suara di balik pintu.
“Nyonya tidak mengetahui di mana Fre?”
“Di kamar mandi,” jawabnya singkat. “Awas kalau mengadu pada Tuan!” terlontar peringatan yang menandakan ketidaksukaan.
“Kenapa, Nyonya? Kasian Fre.”
“Dia membuat onar. Tiba-tiba datang ke kamarku dan merengek-rengek.”
Kriiincingg...... suara benda jatuh di lantai diikuti derap langkah yang semakin menjauh dan hilang. Frea menduga mamanya telah membuang kunci kamar mandi karena tak berapa lama pintu yang terus ia tatap tadi terbuka. Wajah Bu Ve menampakkan guratan cemas. Ia mendekap, lalu mulai mengamati kulit jari-jari tangan yang pirut. Baju juga sudah setengah kering, tapi tubuh yang Bu Ve peluk masih tetap menggigil.
Bu Ve menatih Frea keluar kamar mamanya. Ia mencuri pandang ke sekeliling. Namun, tak menemukannya. Saat menuruni tangga, masih menengok ke atas dan pasang matanya terus mencari-cari. Akhirnya, hanya bisa tertunduk lesu dan sangat ingin menangis. Bu Ve menguatkan hati Frea dengan memegang pundak dan mengiringi langkahnya ke kamar. Piama tidur—bergambar balon warna-warni—sudah tertata rapi di atas tempat tidur. Tanpa sadar, senyum Frea mulai mengembang. Ia mengangguk, lalu penuh suka cita mengganti bajunya dengan piama yang sudah disiapkan. Amat menyukai wujud kasih sayang itu. Frea kecil yang lugu.
Bu Ve mengarahkannya untuk membaringkan diri, lalu menyelimuti, mengusap dahi, dan membelai rambut panjang yang setengah kering. Frea mulai memejamkan mata, seperti kucing yang patuh saat dielus-elus kepalanya. Tak tampak lagi ketakutan di wajah. Wajah yang selalu dibilang manis oleh pengasuhnya—dan kembali manis seperti sedia kala. Perasaan hangat. Kedua mata membuka kembali dengan sinar yang sengaja dipancarkan untuk wanita yang penuh kelembutan, yang saat ini di hadapannya.
“Nak, Ibu mohon padamu untuk selalu izin dulu ke mana pun kau akan pergi!” pintanya seraya menatap Frea serius. “Tadi Ibu khawatir karena tak menemukanmu di kamar. Ibu mencarimu ke seluruh ruangan di rumah ini.”
“Bu, maaf,” jawab Frea berat sembari menunduk.
Begitu menyesal karena pergi tanpa sepengetahuan Bu Ve. Ia ingat saat sang pengasuh menyisir rambut dan memintanya untuk tidur siang. Namun, ia sama sekali tidak tidur, tapi diam-diam ke kamar itu setelah Bu Ve pergi. Frea kecil yang polos amat merindukan mamanya.
“Hampir dua jam kami mencari, bahkan Ibu sempat meminta Pak Min untuk mengantar keluar,” ucap Bu Ve dengan nada mulai bergetar. Sorot matanya tajam, tapi tak berniat menakuti. Ia mencoba menahan air mata. “Beruntung pak satpam mengatakan bahwa tak ada satu pun orang yang keluar melewati gerbang,” tambahnya meraih Frea ke pelukan.
Jelas sekali isakan tangis Bu Ve—meluap deras tak mampu lagi ditahan-tahan—membuat Frea diam penuh rasa bersalah. Bu Ve perlahan melepaskan pelukan dan menyeka aliran di pipi yang tak mau berhenti. Bingung harus menghibur dengan cara bagaimana hingga Frea merasa tak ada yang bisa ia lakukan. Hanya bisa menghindar dengan polosnya. Menggerakkan badan menyamping. Saat Bu Ve menangis, Frea sungguh kebingungan.