“Letih. Aku seperti belum lama pulang dari berjuang. Lelah dengan apapun yang sudah aku lalui sewaktu liburan di kota. Sekarang, lupakan saja sejenak sambil membayangkan bisa lekas berbaring di kasur empukku. Sayangnya, ada hawa berbeda yang merasuk. Walaupun demikian, aku selalu senang di “Wilson Arts Senior High School”. Aku pulang. Seakan-akan sekian tahun merantau. Pulang ke tempatku melepas segala penat.” (RAFFA)
Pemandangan pagi ini jauh dari kepadatan kota. Seorang pemuda dengan shirt putih, jaket parasut hitam, dan rambut cepak acak-acakan, melajukan Jeep Cherokee hitam. Menyusuri sepanjang jalan yang membelah hutan. Kicau burung-burung yang bersembunyi di balik pepohonan seakan tidak mau berhenti mengejek muka kucelnya. Dia acuh tak acuh terus saja ngebut menembus hawa pagi sambil menahan gemeletuk gigi-gigi beradu. Menerjang siraman cahaya surya hangat dan tubuh tidak lagi menggigil. Amat lihai memainkan setir sambil mengisap rokok. Kemudian, meringis berlagak mengganti ejekan burung-burung kepadanya. Pemuda itu, Raffa.
Tidak begitu lama, sampailah pada sebuah gerbang besi tinggi, klasik, dan berlapis warna emas, yang sudah terbuka. Pelan-pelan melewatinya agar dapat melirik ke pos satpam. Kosong, tidak ada penjaga. Laju mobil pun dipercepat di jalan yang tepat mengarah ke gedung utama. Gedung megah tiga lantai bak istana yang bernuansa warna wooden cream itu memiliki banyak jendela besar dan balkon. Pintu masuk utamanya tinggi berbentuk lengkung dengan lorong serambi diapit dua tiang kokoh. Arsitektur klasik itu memiliki menara kembar di bagian sayap kanan dan kiri. Bagian sayap kiri bersebelahan dengan gedung seni yang terbagi menjadi galeri lukisan dan ruang pertunjukkan. Meskipun mengamati dari kejauhan, siapa pun akan langsung terpukau.
Jalan yang dilewatinya sekarang memotong hamparan rerumputan hijau sekitar 200 meter dengan pohon-pohon rindang. Kemudian, mobil berhenti di depan gedung sekolah. Hanya beralaskan sandal jepit, Raffa sempoyongan keluar. Kaki rasanya sudah gatal. Dua mata juga ikut usil meneropong ke mana-mana. Di balkon lantai dua, seseorang mondar-mandir memegang gagang pel. Dia agak berteriak untuk menyapa. Robin si tukang kebun, melongok ke bawah dan melambai-lambaikan tangan. Cuma Pak Tua itu yang baru dilihatnya pagi ini.
Karena mengucek-ucek mata saja tidak bisa menghilangkan dingin dan kantuk yang kompak menyerang, Raffa menyulut rokok baru dan mengisap santai. Badan jadi terasa hangat.
Di belakang gedung utama dan gedung sayap kanan, masih terdapat beberapa gedung berlantai tiga lainnya yang mengelilingi sebuah pelataran. Gedung tersebut adalah asrama putra dan asrama guru yang berseberangan, serta gedung asrama putri terletak agak jauh ke belakang searah gedung utama.
Raffa mengambil jalan samping gedung seni. Jalan itu lurus menuju area parkir. Dia memotong jalan dan memasuki taman sebelah kiri jalan itu atau tepatnya di belakang gedung seni.
Pelan-pelan mengayunkan kaki menikmati lanskap taman bentuk-bentuk geometris. Aneka bunga tertata rapi—ada yang berdasarkan jenis dan warna atau berdasarkan jenis dengan perpaduan warna—mengisi setiap bentuk-bentuk itu. Sayangnya, suasana begitu sepi. Hanya ditemani suara gemericik air yang menenangkan. Air jernih memancar dan berjatuhan pada kolam air mancur.
Ketika hari-hari biasa, pasti sudah ramai oleh para siswa yang bergerombol. Ada yang duduk-duduk di rerumputan, asyik bercengkerama, bernyanyi diiringi gitar, bahkan para kutu buku berbaring sambil membaca buku.
Raffa mendadak rindu suasana sekolah. Teman-temannya pasti sedang menikmati waktu liburan bersama orang tua mereka masing-masing. Sambil menyeringai dia memikirkan nasibnya. Dia tidak memiliki momen-momen seperti itu. Baginya, untuk berkumpul bertiga—papa, mama, dan dia sendiri—rasanya mustahil. Dia berkeluh kesah sendiri. Cuma bisa membuang napas kuat-kuat. Kemudian, berjalan lagi.
Tidak terasa sampailah dia di depan rumah yang dituju. Kediaman Pak Wilson, kepala sekolah di “Wilson Arts Senior High School ”.
“Huuuuhhhhhft…….” Membuang puntung rokok yang menyala ke tanah dan dengan sebal menginjak-injaknya sampai tidak berbentuk. “Pasti semua di gedung sekolah….,” gumam Raffa menaiki lagi tangga lebar menuju ke pintu utama rumah berlantai dua milik sang paman. Dan, berusaha memencet bel untuk kesekiankalinya.
Menyerah. Tas ransel dibanting. Kedua kaki diseret menjauh dari rumah sunyi. Berlari kecil sebagai pengganti olahraga. Jarak antara gedung bagian belakang dan gedung utama lumayan menguras tenaga, mengingat lahan sekolah berhektar-hektar luasnya. Tidak bisa dibayangkan keringat yang mengucur karena Raffa melaluinya dua kali.
“Sampai juga…..” Raffa mengatur napas yang kembang kempis dan cepat. Sambil menyeka keringat, dia membuka sebuah pintu kaca besar dan tinggi. Dia memasuki gedung utama. Di dalam, dia berdiri terpaku di tempat sambil mengedarkan pandangan.
Walaupun sudah tinggal sepuluh tahun di sini, Raffa tetap saja berdecak kagum dengan interior “Wilson Arts Senior High School ”. Ruangan itu berlantai marmer dan berdinding lapisan warna merah cerah. Langit-langit didominasi ornamen keemasan yang rumit dan indah dengan tiga lampu kristal menggantung. Lukisan-lukisan besar dari beberapa aliran—dia buta akan nama-nama aliran seni lukis— terpajang berjajar di dinding.
Sayangnya, sekarang bukan waktunya berlarut-larut dalam perasaan takjub. Raffa bergegas ke ruang berikutnya dan mendapati tangga. Dia tidak menyangka bisa berpapasan dengan sang mama. Karena terlalu rindu, langsung didekapnya walau sebuah kotak berisi tumpukan kertas yang dibawa mamanya agak mengganggu.
“Nak, maafkan mama, Ya?” Suara sang mama parau.
“Seminggu rasanya seperti setahun.” Raffa mengalihkan pembicaraan sambil memindahkan kotak yang kelihatan berat itu ke pelukannya. Tapi, bagi dia, beratnya tidak seberapa.