Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #4

Pemuda Asing

“Setelah Bu Ve pergi, ada seorang pemuda asing yang menemani pagiku dengan celotehannya tentang “membuka diri” untuk suatu pertemanan. Bersama pemuda ini dan teman-teman yang akan dikenalkannya padaku, aku ingin memulai semua. Aku ingin sekali membuang rasa khawatirku dan aku ingin menerimanya. Memercayainya.” (FREA)



“Fre…..,” Suara Bu Ve menenangkan.

Frea perlahan membuka sedikit mata. Dengan mengembangkan senyum, Frea menggeliat dan memainkan selimut bermotif bunga senada dengan seprai. Ditariknya hingga menutup seluruh tubuh dan hanya menyisakan wajah memerah karena kedinginan.

“Bangun, Tuan Putri….!” Suara Bu Ve kembali terdengar.

Lalu, hening. Frea menoleh ke sana kemari. Tak ada tanda-tanda kehadirannya. Ia hanya melihat gemerlapan di sekeliling. Tempat tidur yang sangat besar dan berukiran warna emas. Saat memandang langit-langit, Frea terpukau dengan detail lukisan bunga ditambah kilauan lampu kristal cantik. Dinding-dinding keemasan. Perabot-perabot klasik berlapiskan warna emas. Ia bagaikan putri yang dimanjakan kemewahan.

“Tuan Putri, tetaplah tersenyum agar sinarmu tak memudar.” Pesan Bu Ve yang selalu ia ingat.

“Bu, suaramu masih terasa dekat. Aku rindu,” kata Frea sembari menyibakkan selimut ke samping.

Menurunkan kedua kaki ke karpet permadani halus yang melapisi seluruh lantai. Kaki diayunkan melewati meja makan kecil untuk menuju ke lukisan besar yang tergantung di dinding. Rasa rindu semakin besar saat memandang lukisan seorang wanita bergaun biru menggandeng anak kecil, berlatar sebuah taman dengan dominan warna hijau segar diperindah dengan sapuan nuansa warna-warni bunga.

“Lukisan ini mengingatkan kita. Ibu sering menggandeng gadis kecil yang sangat cantik ini ke taman.” Frea memejamkan mata dan terngiang kata-kata Bu Ve.

Bahkan, bayang-bayangnya yang berkilauan tampak membuka pintu kaca balkon. Melangkah keluar. Frea mengikuti dan merasakan kehangatan sinar mentari menyatu bersama sejuk semilir udara yang menggerak-gerakkan tirai bermotif bunga. Ia pun ikut duduk di kursi sembari mengagumi danau buatan di kelilingi rumput hijau dan barisan pohon-pohon rindang. Bu Ve seolah masih menemaninya menikmati secangkir teh manis untuk menghangatkan tubuh.

Ketika berbalik menatap tempat tidur—saat ia dan Bu Ve berdua berbaring di sana—begitu lekat dalam ingatan. Seharian bermalas-malasan dan saat lapar, Bu Ve menyediakan makan siang spesial, steik di atas hot plate. Di meja makan kecil, makanan itu tertata. Lalu, ia menyuapi.

Frea rindu bermanja-manja dengannya. Bu Ve yang selalu menyisir rambutnya. Menyisir setiap pagi sehabis mandi dan setiap malam sebelum tidur. Ia paling suka ketika Bu Ve memuji cantik. Dengan menahan senyum ia hentikan jemari itu—yang lembut membelai rambutnya—dan Bu Ve tanpa ragu memeluk dari belakang. Menempelkan pipi di atas kepala Frea. Lewat cermin mereka saling menatap dan melayangkan senyum. Penuh kasih sayang.

Saat tidur tiba, ia menyelimuti, mengecup kening, dan membelai lembut untuk membantunya terlelap seolah-olah Frea masih gadis kecilnya. Bila kadang mata sulit terpejam, mereka akan berbaring memiringkan badan saling berhadapan. Kedua tangan saling menggenggam seiring pejaman mata yang merapat.

Frea merasa semua itu berlalu begitu cepat. Hanya dapat meyakinkan diri bahwa untuk saat ini dan seterusnya, ia mampu menghadapi semuanya sendirian. Ia harus bahagia tanpa kehadiran Bu Ve. Kerinduan harus dibendung.

Saat memandang kembali ke luar balkon, cahaya mulai menyilaukan. Ia menghalanginya dengan satu telapak tangan. Segera bangkit dari tempat duduk dan tanpa sadar terpaku pada satu sosok. Embusan angin yang kencang menggerak-gerakkan tirai menghalangi pandangannya pada sosok itu.

Tersentak kala orang itu mendekat. Sekarang Frea merasa tak sendirian. Saat tangannya menahan tirai yang menerpa, ia dapat melihat sinar memancar dari wajah orang itu, yang menyunggingkan senyum merekah. Frea harus mendongak untuk memerhatikan itu semua karena perbedaan tinggi yang cukup jauh.

Lihat selengkapnya