Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #5

Lukisan

“Gadis ini berubah dalam hitungan jam. Pagi tadi, aku seperti mendapat sebuah hadiah istimewa, yaitu mendengar suaranya untuk pertama kali. Berbeda sekarang, Frea tidak mau berbicara. Ia tetap dalam diamnya, dan aku? Yang kulakukan hanya melihat ke segala penjuru kamar untuk sekadar mengisi waktu menanti dirinya. Lagi-lagi, meski hanya menunggu dia bicara.” (RAFFA)



Raffa duduk bersila di ranjang dan mengamati seorang gadis bercelemek warna biru polos, tengah serius melukis di balkon. Menggerakkan kuasnya dan memoleskan warna pada keseluruhan kanvas yang terpasang di sebuah easel. Dari siang sejak mendapatkan barang yang diinginkan, Frea mulai sibuk sendiri dan saat dia kembali lagi untuk mengantarkan makan malam, Frea masih dengan posisi yang sama. Tapi anehnya, dia belum melihat bentuk sesungguhnya dari objek yang ingin dituangkan.

Raffa mencoba mengajaknya bercanda untuk menghidupkan suasana. Kemudian, Frea melihat dengan mata galak dan menggunakan isyarat jari telunjuk di ujung mulut, zzzzzzztttttttt. Dia merasa terlalu berkhayal. Sayangnya, Frea tidak menoleh sedikit pun. Dia berdeham sekali, tapi Frea tetap tidak terpengaruh. Terlalu fokus pada lukisannya sehingga hanya suara Raffa yang memenuhi tempat itu. Seketika, pendengarannya yang tajam menangkap suara jangkrik-jangkrik di luar sana. Bunyinya seperti sedang mengejek.

“Wah….., telingaku panas…! Kalian pikir aku sama dengan kalian, yang mengerik tak seorang pun peduli. Silakan ejek aku sesuka hati karena aku terbiasa kesepian!” kata Raffa dengan nada ditinggikan sambil memajukan badan dan terus melihat ke arah Frea. Mengharapkan perhatian darinya. Menunggu dia menoleh.

Tanpa Raffa sadari, pandangannya sudah tertarik pada rambut panjang Frea yang berkilau diterpa cahaya lampu. Sambil tersenyum samar, terbesit keinginannya untuk memandang juga cahaya di raut muka Frea. Sesuatu yang mustahil. Detik demi detik berlalu, dia tetap pada posisinya.

Raffa menguap berulang kali. Kepala terasa sudah berat meskipun masih jelas menangkap bahwa jam dinding menunjukkan pukul 20.00. Dia berbaring miring. Masih memandang Frea dari jauh. Kemudian, gelap.

***

“Raf…..”

Desah yang menjalar ke telinga sangat lembut dan berulang kali memanggil namanya. Kaki seperti digoyang-goyangkan. Dia sangat terkejut. Mata terbuka lebar. Frea sudah duduk di pinggir tempat tidur. Raffa bangkit dan ikut duduk. Kedua tangannya berona merah menyala terkena cat minyak. Alat lukis di balkon juga berserakan di lantai. Easel-nya telah oleng dan kanvasnya jatuh tepat bersandar di railing balkon.

“Kau baik-baik saja?” tanya Raffa khawatir sambil meraih kedua bahu Frea.

Wajahnya kusut dan berkeringat. Bukan wajah seperti itu yang dia inginkan. Rambut sedikit acak-acakan dengan noda cat di beberapa helai. Di pipinya juga. Ada kilauan kecil yang keluar dari kedua mata.

 “Apa ada sesuatu di dekat balkon?” tanya Raffa cemas.

Pandangannya menjadi waspada. Dia memberanikan diri mengayunkan kaki mendekati balkon. Frea mengikuti dan mengencangkan pegangannya pada lengan Raffa.

Kepala Raffa melongok ke bawah balkon. Gelap. Mencermati setiap pojokan dan tak ada seseorang yang bersembunyi. Sunyi. Kemudian, menoleh pada Frea. Wajahnya masih memperlihatkan ekspresi antara bingung dan takut. Sepasang matanya beredar begitu cepat. Pegangannya pada Raffa merenggang. Tubuhnya sempoyongan.

Selama dia tidur, apa yang membuat penampilan Frea kacau. Gerak-gerik gadis itu makin menampakkan ketakutan. Apa melihat hantu? Dugaan itu membuat dirinya sendiri mendadak bergidik.

“Tak ada apa-apa, Fre. Kau takut apa?” Raffa menjadi penasaran.

“Buang, Raf….!”

Dahi Raffa berkerut. Tidak mengerti apa yang harus dia buang. Diajaknya Frea masuk. Akan tetapi, gadis itu masih terpaku di tempat. Mulai sesenggukan dan tubuh mungilnya roboh. Itu seperti hasil dari menahan sesuatu yang sudah sekian lama dipendam dalam hati. Raffa ikut hanyut dan menjatuhkan kedua lutut di depannya. Meraih kedua tangan milik Frea yang sangat dingin dan basah oleh keringat. Hati pemuda ini ikut luka ketika wajah gadis yang seharusnya terlihat manis menjadi pucat dengan aliran air mata yang tidak kunjung surut.

Jari-jemarinya bergerak-gerak dan Raffa melepasnya perlahan. Dia menjulurkan tangan kanan. Telunjuknya mengarah pada lukisannya dan itu menuntun Raffa untuk mendekat. Tergambar lukisan bunga mawar dengan tangkai yang janggal. Dia menyipitkan mata dan meneliti kembali. Ini dia. Raffa berseru dalam hati. 

Kenapa Frea sengaja melukis duri lebih banyak dari yang seharusnya? Apakah ini yang ingin dia buang? Lukisan itu belum sempurna. Dia seharusnya melanjutkannya lagi. Tapi, melihat saja ketakutan. Pertanyaan-pertanyaan berlompatan—dalam hatinya—di sela rasa penasaran Raffa yang luar biasa hebat. Si pelukis sendiri masih dinaungi kesuraman, tidak akan mungkin menjawabnya.

Meskipun tangkai yang tidak biasa, sejujurnya tidak menimbulkan apa-apa. Kecuali, jika ada yang muncul dari lukisan itu, seperti tangan keriput berkerut-kerut, berkuku tajam, dan berlumuran darah. Itu baru horor dan hanya dalam khayalan Raffa semata. Dia lagi-lagi bergidik.

“Kupindahkan saja…,” gumam Raffa sambil menggeser lutut ke arah lukisan.

“Jangaaaannnnn sentuuuuuuhhh…..!!!” teriak Fre melengking.      

Frea menubruknya. Badan Raffa terdorong membentur pagaran balkon. Sesaat setelah merintih kesakitan, dia baru menyadari bahwa Frea telah berdiri melempar lukisan itu ke bawah. Raffa lemas dan membaringkan diri ke lantai. Frea telah berhasil menghempaskan ketakutannya. Sementara Raffa, dibiarkan dalam kebingungan. Kenapa dia melukisnya jika tak menginginkannya. Hanya Frea yang tahu. Raffa hanya tidak habis pikir dengan tingkah laku Frea yang tidak wajar.

Lukisan bunga mawar itu masih misteri sama seperti ekspresi wajah Frea. Dia masih berdiri kaku dan diam saja. Raffa ingin turut menanggung beban berat itu. Ada suatu dorongan kuat untuk memeluk Frea walaupun dia sendiri belum dalam situasi mengerti. Raffa bangkit.

Perlahan meraih kedua bahu gadis di hadapannya. Lebih dekat lagi. Frea membalas. Jemarinya mencengkeram kaus Raffa. Perasaan hangat tiba-tiba merasuk. Kepala Frea yang bersandar di dadanya yang bergemuruh. Jantung berdetak makin tidak terkendali. Dengan memejamkan mata, dia ingin merasakannya—sesuatu yang aneh dalam hatinya—lebih lama. Raffa senyum-senyum.

Senyum yang tidak berlangsung lama. Dia segera sadar bahwa semua hanya dalam angan-angan. Frea sudah berpaling masuk ruangan. Tapi anehnya ketika mengikuti gadis itu, debaran dadanya masih begitu kencang.

“Fre…,” Entah kenapa dia memanggil nama itu. Bingung. “tenangkan pikiran dengan tidur, maka halusinasi itu akan menghilang…!” kata Raffa—sok tahu—menyadari bahwa ia belum pernah mencoba sendiri. Kata-kata itu keluar begitu saja untuk menyembunyikan rasa gugupnya.

Kegugupan—hanya bisa menghela napas dan mengeluarkan dengan berat—tidak kunjung sirna. Pikirannya ikut-ikutan tidak tenang. Dia melewati Frea—ingin secepatnya keluar kamar—dan bergegas menuju pintu.

Betapa kaget ketika suara benturan keras terdengar di belakangnya. Dia menoleh dengan cepat pada Frea yang telah menutup pintu balkon rapat-rapat. Gadis itu juga mengatupkan tirai seakan ingin menghalangi masuknya gelap, dinginnya malam, dan bayangan-bayangan seram—sepertinya hanya Frea yang dapat melihat—yang barangkali masih menari-nari di sana.

Raffa bengong. Pandangan Frea kosong. Raffa tidak harus bereaksi. Gadis ini tidak akan peduli. Kesadarannya seperti telah lenyap ke dasar yang gelap. Saat ini, tidak membutuhkan siapa pun. Hal biasa bagi Raffa. Ketika awal-awal, Frea bahkan tidak menganggapnya ada. Raffa—masih dalam kondisi tidak dapat berpikir—tidak berkata-kata. Akhirnya, memutuskan keluar kamar.

Entah kenapa Raffa masih terpaku di tempat dan menatap pintu kamar—telah tertutup rapat—dan membayangkan Frea masih dalam keadaan yang sama di dalam sana.

***

Raffa perlahan membuka pintu. Gadis manis dengan gaun berkilauan seperti putri, tersenyum menyambut. Gadis lemah, itu seharusnya berbagi dengan orang lain. Dia ingin ikut merasakan ketakutan itu. Bahu-bahunya makin berat sepertinya sudah menopang kesakitan Frea.

Sudut-sudut kamar sunyi. Frea yang berseri-seri hanya dalam fantasi. Ranjang telah rapi tidak ada yang berbaring di sana. Kedua mata mulai beredar. Tirai seperti biasa, menari-nari lembut diterpa embus angin. Pintu balkon telah terbuka, tetapi tidak ditemukan apa pun di luar. Hanya tampak sinar hangat merasuk dan suara burung-burung bersahutan mengiringi pagi.

Tatapan beralih pada meja rias sebelah kanan ranjang. Biasanya Frea duduk di sana dan menyisir rambut. Wajah cantik terbias di cermin dan kadang Raffa sedikit melirik setelah meletakkan nampan berisi sarapan di meja. Itu semua menghilang begitu saja.

Tatapan tajam mendadak terpusat pada sebuah pintu di samping cermin. Itu pintu kamar mandi. Suara berisik air sayup terdengar. Sekejap Raffa meluncur langsung mengulurkan tangan meraih handle-nya.

Ketika pintu terkuak, dia tidak dapat menyembunyikan rasa terkejut. Mata membeliak tertuju pada wajah pucat Frea. Bergegas menghampiri tubuh tengah terbaring dekat bathtub yang airnya meluber-luber. Raffa segera menggendongnya keluar dan membaringkan pelan ke ranjang. Gaun tidur biru basah kuyup. Kedua mata berbulu lentik itu pelan-pelan terbuka. Tatapannya pada Raffa, hampa. Frea meringkuk kedinginan.

“Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi gantilah baju dulu!” Raffa beranjak pergi secepat kilat. Otaknya tidak dapat berpikir jernih. Dia takut Frea melakukan hal yang lebih gila. Raffa segera berlari menyusuri koridor menuju kamar di ujung.

Raffa bercermin sambil mengganti baju yang ikut basah. Saat itu, terbias lukisan bunga mawar yang dipungutnya. Sedikit kotor oleh bercak tanah seperti ingin ikut menyemarakkan warna lukisan.

Lihat selengkapnya