Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #6

Tempat yang Raffa Janjikan

“Dengan keyakinan hati, aku telah membuka diri untuk Raffa. Menantikan kita berjalan bersama-sama ke tempat yang kau janjikan. Yang katamu adalah tempat terindah di Wilson Arts Senior High School. Namun, terbesit keraguan apakah ia adalah teman yang tepat untuk menemaninya pula, memasuki lorong untuk kembali ke masa Frea kecil. Masa suramku? Tidak perlu menguaknya kembali. Karena senyumannya, aku lupa telah memiliki hal buruk itu. Jangan sampai semua yang seharusnya terpendam dalam-dalam, justru mengganggu keasyikan yang akan kami ciptakan sebentar lagi.” (FREA)



Frea melirik ke sekeliling. Dari tempat berdiri, sepasang mata telah terperangkap pada keindahan sebuah taman. Gemericik air mancur terdengar jelas. Bunga-bunga dengan warna semarak di atas rumput yang tergelar bak permadani hijau. Hingga cicit-cicit burung pagi—bersembunyi di ranting-ranting pohon rindang—seolah memuji, ikut kagum.

Beberapa penata taman dan petugas kebersihan berdatangan akan memulai bekerja. Mereka cukup banyak. Rasanya Frea ingin menyembunyikan diri, tapi mereka sudah terlanjur berbaris melewati dengan senyum sapa. Ia membalas dengan senyum yang sama hangatnya, seolah belajar menghargai kehadiran orang lain. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. 

“Fre….”

 Badan Frea berbalik mencari sumber suara. Dari tengah taman, pangeran berjas putih berjalan dan berhenti di depannya. Mengulurkan tangan. Sebuah sinar ajaib mengubah dress-nya menjadi gaun seorang putri raja yang mengembang indah dan berkilauan. Keelokan dan kemegahan area istana Wilson Arts Senior High School menjadi latar di mana keduanya berdiri.

“Fre…,” panggil Raffa sambil menjentikan jari tepat di depan muka.

Frea tersadar dari lamunan. Keduanya berhadapan. Sangat dekat. Rasa canggung itu tak bisa ia hindari. Namun, ekspresi pemuda itu datar. Tanpa merasa kikuk. Bibir Raffa mengatup dan mengembang lebar-lebar mengakhiri beberapa detik yang senyap. Sementara Frea, mundur selangkah—demi menghilangkan rasa kaku—sesekali mencuri-curi pandang pada penampilan Raffa.

Ia mengenakan jaket parasut hitam, tampak sedikit kaus warna putih, dan celana hijau kotak-kotak. Ada tas ransel biru berwarna lusuh. Frea mengernyitkan alis merasa tampilan itu tak asing, tapi ia sungguh tak ingat. Ia hanya ingat janji Raffa yang akan membawanya jalan-jalan. Itu saja.

“Berangkat sekarang?”

Raffa mengangguk, tapi ia menghentikan langkah Frea. Kata-kata berat keluar dari mulutnya. Ia meminta Frea mengganti baju. Frea langsung memerhatikan dirinya sendiri dengan tatapan bingung. Ia mengenakan dress putih sepanjang lutut dengan renda tepi bawah, lengan tiga per empat dengan kerut di bahu, dan pita di lengan bagian bawah. Dan sepatu high heels merah.

Frea menggeleng-geleng. Hanya beberapa gaun dan hanya satu-satunya sepatu merah ini yang ia miliki dari awal datang. Selain itu, ia tak terbiasa dengan kaus atau jenis baju lain. Keluhannya membuat Raffa garuk-garuk kepala.

Ia mengambil sesuatu dari dalam ransel. Dari bungkusan plastik hitam ia mengeluarkan sepatu kets biru. Frea terpaksa mencoba karena Raffa mengulurkannya tepat di depan mata. Mengalah untuk kali ini saja karena merasa ukurannya sangat pas di kaki.

Raffa berjalan lebih dahulu dan Frea mengikuti tepat di belakang. Ia masih bisa mendengar Raffa bergumam seolah tak ada seorang pun yang dapat menangkap suaranya. Frea menahan tawa dengan satu tangannya karena Raffa berbicara tentang dirinya.

“Toh untuk sampai ke tempat itu butuh jalan yang jauh dan akan membuat kami berkeringat. Ia tak memerlukan baju yang tebal.”

***

(Menyusuri Hutan)

Mobil Raffa cukup jauh menempuh jalan beraspal. Pohon-pohon memiliki dahan yang memayungi sepanjang jalan. Namun, sela-sela antara pohon satu dengan yang lain ada seberkas cahaya. Menerpa wajah Raffa. Wajah itu berkilauan. Frea memandang cukup lama pada garis dagu pemuda itu. Menyejukkan hati. Dan jantung berdegup kencang. Duduknya tak setenang Raffa yang sedang menyetir.

Frea mengalihkan perhatian dengan memandang ke kaca samping. Sedikit menghilangkan resah. Tiba-tiba, kaca terbuka. Frea terlonjak. Raffa cekikikan sengaja mengagetkannya.

“Hiruplah udara pagi, begitu segar!” bisik Raffa, tepat di depan daun telinga. Bisikan itu membawa tiupan udara yang begitu menggetarkan. Membuatnya lebih tak keruan. Membuatnya tak berani menoleh pada Raffa, si pengganggu konsentrasi.

Sampai akhirnya, Frea dapat bernapas dengan leluasa. Mobil berhenti dan ditepikan di area tak begitu luas, tapi cukup untuk parkir. Di hutan sisi kiri itu tampak jalan setapak. Mereka memasukinya. Raffa di depan sebagai penunjuk jalan.

Frea menengadah mengedarkan pandangan. Sekeliling masih disuguhi pepohonan menjulang berbaris rapi. Ia sangat menikmati jalan kecil yang membelah hutan. Namun, makin jauh ke depan, sedikit merinding. Begitu menoleh ke belakang, jalan yang dilalui semakin mengecil dan menghilang di rimbunan.

Beberapa menit berlalu, napas Frea makin lama makin berat dengan kedua kaki terasa tertahan. Tersengal-sengal sambil bersandar di badan pohon. Mereka memutuskan istirahat sejenak. Raffa melepas ransel dan mengambil sesuatu. Dua botol air minum dan salah satunya disodorkan pada Frea. Frea tersenyum sebagai tanda terima kasih dan mengambilnya. Baju mereka mulai basah oleh keringat. Beberapa teguk membuat tubuh Frea kembali segar. Raffa mengikuti apa yang ia lakukan.

Ini pertama kali buatnya. Meskipun lelah, tapi suasana alam yang asri, cukup mengobati. Frea mengakui bahwa ia tanpa persiapan, tetapi tidak untuk Raffa. Ia memamerkan sebungkus roti. Tak bermaksud menawari.

“Maaf, aku hanya membawa satu dan kunikmati saat tiba nanti. Di luar aku bukan pesuruh lagi yang bertugas membawakanmu makanan…,” gurau Raffa sembari memasukkan roti ke dalam ransel dan sengaja membuat Frea yang tampak kelaparan, bengong. “Di sini kau bukan seorang tuan putri lagi.” Dan begitulah dia kembali mengolok-olok.

Namun, Frea tahu itu candaan semata karena pemuda itu terlalu perhatian padanya sembari mencermati sepatu pemberian Raffa. Tak bisa Frea bayangkan bagaimana jadinya, kaki indah itu, jika mengenakan sepatu miliknya sendiri.

“Kau melamunkan apa…?” Raffa mengikuti arah pandangan Frea. Ia tersenyum lebar. Frea seolah melihat kepala Raffa akan membesar karena begitu senangnya. “Hanya kupinjamkan, cuci dahulu sebelum dikembalikan…!” canda Raffa tersenyum menggoda.

Wajah Frea berpaling dari Raffa dan ia tertawa kecil. Dalam situasi lelah, humornya cukup mengobati. Tapi tak beberapa lama, ucapan Raffa selanjutnya membuat raut muka Frea berubah cemberut.

“Harus dikembalikan, karena pacarku pasti akan mencari-cari. Ia bisa mencium bau barang-barangnya yang sudah dipakai orang. Ia tak akan suka hal itu....”

Senyum Frea menghilang begitu saja. “Jika pacarmu tak suka barang-barangnya dipakai orang, kenapa kau berikan padaku…?”

“Aku hanya meminjamkan dan ketika kau sudah mencucinya dengan bersih, ia tak akan tahu,” jawab Raffa dengan ringannya dan kembali berjalan santai.

“Ternyata kau tak cukup baik,” ucap Frea kasar. Ia berjalan mendahului Raffa dengan sedikit menyenggol lengannya. Sangat kesal.

“Maaf, aku hanya menggodamu,” kata Raffa sambil tertawa cekikian.

“Tak lucu,” jawab Frea sekenanya. “Mana mungkin orang urakan sepertimu punya pacar…,” ejek Frea.

Tiba-tiba, Raffa melangkah melewati Frea. Ia berjalan di depan dan semakin cepat hingga Frea cukup kesulitan mengikuti. Ia tak merespons suara panggilan gadis di belakangnya. Hanya bertingkah seolah ia juga tersinggung.

“Aku urakan, tapi aku baik hati…,” jawabnya tiba-tiba sambil berhenti dan cepat membalikkan badan.

Sontak, Frea tak dapat mengontrol langkah dan badan mereka saling bertubrukan. Dengan cepat Raffa meraih Frea untuk menyeimbangkan tubuh gadis itu agar tak terpental ke belakang. Tak ada jarak antara mereka. Pipi siapa yang paling merah karennanya. Tentu milik Frea. Tawa Raffa meledak. Menggoda dengan memainkan kepalanya ke kanan ke kiri dan senyum-senyum menatap rona merah itu. Frea melengos sambil mendorong badan Raffa menjauh.

“Aku mendengar napasmu yang berat. Aku hanya ingin menggendong.” Raffa menurunkan badan menawarkan punggung.

“Baik hati itu tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan.”

“Aku tulus menolong, apalagi jika yang aku tolong itu, teman baru yang sangat cantik.”

Keangkuhan Frea remuk berkeping-keping. Ia tak dapat menyahut ucapan Raffa kali ini. Punggung tegap Raffa hanya dapat ditatapnya tanpa ekspresi.

Raffa bangkit. “Kau masih tak percaya kalau aku tulus ya?”

Raffa memasangkan ransel kepadanya agar ia dapat leluasa naik ke punggung itu. Sebelum menawarkannya lagi, Raffa memandangnya. Di kedalaman mata Raffa, Frea dapat menemukan sebuah kejujuran. Mulai menyadari bahwa ejekan, candaan, dan perhatian itu adalah awal keakraban sebagai teman.

“Aku akan menerima tawaran seorang teman, yang mengambil kesempatan dalam kesempitan,” kata Frea seiring tawa kecil yang tak bisa ia tahan-tahan lagi.

Mau tidak mau ia merangkul bahu Raffa dan naik ke punggungnya. Lama-kelamaan lebih erat karena rasanya injakan demi injakan sedikit bergoyang. Frea hanya takut jatuh. Namun, langkah itu makin terburu-buru. Beberapa saat kemudian Raffa berhenti tanpa pemberitahuan.

“Jalan mana yang harus kita pilih?” Dan pemuda itu malah menanyakan sesuatu yang membuat Frea bengong.

“Kupikir kau sudah tahu jalannya,” gerutu Frea.

Mereka menghadapi jalan bercabang dua. Frea bingung sendiri karena hanya melihat jalan ke kiri, lalu bergantian ke kanan, berulang-ulang seperti itu saja. Ia merasa perjalanan ini terhenti untuk waktu yang cukup lama, bahkan kemungkinan akan gagal mencapai tempat yang katanya sangat menakjubkan.

“Benar, terakhir ke sini semester satu kelas satu, bersama teman-teman. Aku hanya ingin kau mempertajam pendengaranmu dan menebak tempat apa yang ingin kutunjukkan.”

Ketika memejam mata, angin bertiup menerpa wajah dan beberapa dedaunan hingga berdesir. Ketika hanyut dalam hening, ada suara lain yang merasuk ke telinga. Frea terperanjat. Antara yakin dan tidak itu suara air jatuh. Mereka bergerak lagi mengambil jalan ke kanan. Jalan setapak di depan mereka mulai menurun. Raffa menurunkan Frea dan meraih jemari gadis itu. Mereka bergandengan. Sesekali tangan Raffa yang satu menahan semak-semak yang mengganggu dan menuntun Frea untuk melewatinya dengan sangat hati-hati.

Sampai pada ujung jalan, Raffa menyibakkan semak belukar yang tumbuh tinggi. Mulailah kelopak mata Frea melebar tak percaya dan menunjukkan ekspresi terpukau pada sesuatu di depannya. Aliran air yang jernih mengalir dan mereka mengikuti dari mana asalnya. Sebuah air terjun membias di mata. Benar. Yang ia dengar tadi adalah suara air dan ia masih terpaku takjub.

“Aku ingin menunjukkan tempat indah ini padamu,” teriak Raffa di sela deru suara air terjun.

Tiba-tiba, Raffa melepas jaket dan sepatu ketsnya. Oh tidak…dan juga melepas celana panjang kotak-kotaknya. Frea berteriak dalam hati dan dengan sigap menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

“Boleh aku buka kausku juga…?” teriak Raffa menggoda.

“Buka saja, nanti kusembunyikan semuanya. Kau akan mati kedinginan di dasar sungai!” ancam Frea. Masih belum mau menyingkirkan telapak tangannya.

“Gadis kejam!” ucap Raffa di sela tawa. “Lihat aku, Fre!” pintanya dengan lembut hingga Frea membuka perlahan kedua tangannya. Wajah kecut masih tampak jelas.

Seketika menjadi bengong. Raffa dengan celana pendek dan masih mengenakan kausnya. Ia bersiap-siap mencebur ke sungai. Byuuuuuuurrrrrr…. Tingkah laku layaknya anak kecil, ia begitu riang bermain air. Berenang, lalu menyelam ke dasar. Tak kunjung ke permukaan. Frea membungkam mulutnya dengan satu tangan. Ia tak berani mendekat dan hanya menampakkan tatapan ngeri. Bayangan horor mulai terbesit. Bisa jadi sungai di tengah hutan ini banyak penunggunya. Ada makhluk tak kasat mata yang menarik Raffa ke dasar.

“Raf…!” panggil Frea kalap.

Raffa tak kunjung muncul. Ia menurunkan ransel di tepian sungai. Melepas sepatu kets dan sekuat tenaga menurunkan kedua kaki ke air. Memejam mata sambil berdoa dan berharap dirinya sendiri akan baik-baik saja jika masuk ke air.

“Raffa, kau bercanda kan, pemuda seperti kau mana mungkin …” Frea mulai tersadar karena semua yang ia bayangkan hanyalah sesuatu yang konyol.

Mendadak saja kepala Raffa menyembul. Frea tidak menampakkan kekagetan sama sekali. Hal yang dilakukan Raffa tersebut sudah terbesit di pikirannya sesaat setelah ia membuka mata.

Terdengar derai tawa Raffa. Frea tetap tak bergeming. Untuk menghentikannya, ia memerciki air ke muka Raffa. Hendak memerciki yang keduakalinya, mendadak kedua tangan mungil itu tertahan. Raffa memegang lembut pergelangan tangannya.

Lihat selengkapnya