“Aku harus cepat-cepat. Tinggal hari ini kesempatanku. Setelah Frea berada di asrama, barangkali tidak akan bebas lagi berbincang berdua. Lucu sekali. Dengan alasan itu, tentu saja aku tidak bisa memasuki asrama putri. Ayolah temukan cara agar bisa melewatinya tanpa prosedur rewel. Entah rasa apa yang membuatku ingin sebegitu nekat. Barangkali karena kamu, benar-benar membuatku jadi segila ini.” (RAFFA)
Buuuuuukkkkkkkk……………..
Suara tas ransel berisi berton-ton baju terlepas dari genggaman dan jatuh ke lantai. Dia berdiri tegak terpaku di tempat. Ke sebuah pintu kamar. Di mana dulu biasa membukanya ketika mengantarkan sarapan, makan siang, dan makan malam. Sekarang semua seakan berbeda. Tidak akan ditemukan apa-apa jika masuk ke dalam. Tidak ada sebuah tatapan manja milik Frea. Dua minggu hampir berlalu dan waktu liburan hampir usai. Hari minggu ini gadis yang dinantinya telah berkemas pindah ke asrama putri.
“Nak, cepat bawa ranselmu ke asrama dan tata dengan rapi….!” perintah sang mama muncul menepuk pundak.
“Aaaakkhhhh…iya, Ma….” Lamunan Raffa lenyap.
Seharusnya dia tidak perlu membawa semuanya. Bukankah, rumahnya masih jadi satu area dengan asrama. Dia masih bisa berjalan mengambil beberapa barang yang ketinggalan jika mau. Akan tetapi, gerak-geriknya selalu diamati. Sang paman tidak akan senang jika dia bolak-balik ke rumah jika masa sekolah sudah tiba. Tidak ada pengecualian bagi keponakannya dan aturan sekolah harus dipatuhi. Jam asrama tutup juga harus dia taati. Semua siswa harus berada di kamar sebelum jam sepuluh malam.
Ah…, masa-masa yang berat itu akan tiba. Batin Raffa dongkol.
Tidak begitu lama, wajah Raffa mendadak berseri-seri. Rasa malas hilang begitu saja karena ada bayang-bayang manis berkelebat di otak. Ini menjadikan semangat Raffa berkobar. Dia paling suka senyuman Frea. Membuat rindu saja. Dia ingin menemuinya dengan cara seperti ini. Raffa menemukan taktik jitu sambil menggenggam beberapa kuas lukis.
Segera dia ambil ransel dan berlari menuruni tangga. Beberapa menit, sampailah Raffa di asrama putri.
“Ibu cantik sekali pagi ini…! Boleh, ya? Hanya ingin mengantar kuas Fre yang tertinggal,” bujuk Raffa mendekati Bu Soraya, petugas asrama putri yang tengah duduk di bagian resepsionis.
“Siswi baru itu….?”
Raffa mengangguk.
“Baiklah, tapi jangan lama-lama karena sebagian siswi sudah datang!” Bu Soraya mengibas-ngibaskan tangan kanannya.
Tidak mau berbasa-basi lagi Raffa langsung menyusuri koridor. Menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai dua. Beberapa siswi yang berjalan berlawanan terlonjak dan menyapa malu-malu. Kemudian, ketika berpapasan dengan gerombolan siswi yang berbeda, justru dia yang kaget setengah mati karena teriakan histeris mereka. Membuat jantungan saja. Sebelum mereka mengerumuninya layaknya seorang fans yang bertemu dengan artis idola, dia segera lari tunggang langgang.
Dan parahnya, sekarang dia harus berhadapan dengan kumpulan siswi pembenci laki-laki. Siswi paling gemuk yang berjalan paling depan adalah leader-nya. Dengan memelankan jalan, Raffa melewati mereka. Lirikan tajam seakan hendak menerkamnya beramai-ramai. Laki-laki yang berjalan dengan bebas di asrama putri tentu akan menjadi sasaran empuk. Dalam beberapa detik dia harus menahan napas dan akhirnya dapat mengembuskannya. Lega, mereka sudah berlalu di belakang. Raffa buru-buru melangkah. Untungnya, mereka tidak berbalik mengejar.
Raffa berhenti di depan pintu kamar Frea. Saat akan mengetuk, Si Boom—nama banyolan yang dia ciptakan untuk leader dari gerombolan siswi yang dia hindari tadi—melipat tangan di dada dan matanya menyipit menyeringai. Dia berdiri tepat di depan Raffa seperti benteng pelindung kamar dari gangguan luar. Ada api membara di dalam bola matanya dan tanpa bicara sepatah kata pun. Dengan ekspresi seperti itu saja, dia akan berhasil mengusir lawan.
Raffa yang dari tadi tidak mau berurusan dengannya karena kalah jumlah mulai memberanikan diri. Bahkan, perbedaan besar badan tidak akan membuat gentar. Raffa masih jauh lebih tinggi sehingga sangat fleksibel memajukan wajah tepat di depan mukanya. Bola mata si Boom mulai melirik ke kanan dan ke kiri. Kemudian, secepat kilat, memalingkan muka untuk menutupi ekspresi gugup.
“A…a…apa yang…kau…kau…lakukan?” teriak si Boom mendorong Raffa.
Dalam posisi sigap, dia dapat berdiri dengan seimbang lagi dan kembali mendekati Boom. Sekarang, gantian Boom yang terdesak. Cara jitu adalah dengan rayuan. Senyum Raffa menyatakan kemenangan. Ilmu yang dibagikan Nicky ampuh juga.
Gadis yang sangat anti laki-laki karena punya cerita agak sedih di balik wajah dan badannya yang sangar. Pernah ditolak seseorang yang disukainya di depan semua orang. Gara-gara tubuhnya yang berlipat-lipat lemak. Raffa jadi tidak tega membahas lebih jauh. Yang jelas, peristiwa itu awal dari terbentuknya kelompok pembenci laki-laki. Kelompok yang sangat terkenal di Wilson Arts Senior High School, karena Boom bersama teman-teman senasib mendeklarasikan di hadapan semua siswa, tepatnya di aula sekolah bahwa mereka akan menjadi musuh semua laki-laki.
“Biasanya orang yang sakit hati seperti itu hanya bisa diobati dengan perhatian seorang laki-laki. Bukankah ia tak pernah merasakannya. Kau harus melakukannya jika suatu saat terjepit oleh orang itu dan gengnya!”
Dia ingat betul kata-kata sok tua Nicky. Raffa bergidik karena dia sekaranglah yang sedang berhadapan dengan salah satu dari mereka.
“Aku ini pemuda baik-baik dan hanya ingin menemui putri sahabat pamanku untuk menyerahkan ini!” Raffa mencengkeram pergelangan tangan Boom yang besar.
Telapak tangannya yang terbuka langsung dia sodori beberapa kuas. Dengan kata minta tolong Raffa meminta Boom untuk memberikannya pada siswi baru yang menempati kamar, yang terhalangi badan besar Boom. Tersadar, dia segera bergeser. Dia menerima benda yang Raffa serahkan tanpa protes.
Raffa meliriknya sekali lagi dan Boom menunduk menyembunyikan senyum. Dia agaknya tidak lagi salah paham. Dengan memahami pemuda seperti dirinya, Raffa berharap dia tidak lagi membenci laki-laki. Tidak semua laki-laki membuat sakit hati para perempuan, termasuk aku. Batin Raffa membanggakan diri dan segera berbalik pergi meninggalkannya sebelum si Boom berubah pikiran.
Tidak berselang lama, dia justru teringat kembali sejarah Boom menciptakan kelompok pembenci laki-laki bersama kawan-kawan seperjuangannya. Sekarang sepertinya dia senasib dengan mereka. Perbedaannya, dia dibuat sakit hati oleh seorang gadis.
Setelah meletakkan barang di kamar asrama, Raffa janjian berkumpul dengan teman-teman Nobody Win. Melepas kangen karena selama liburan mereka tidak pernah bertemu. Sayangnya, di ruang latihan band, dia seakan dipaksa menenggak racun.
Nicky dan Rahar berkacak pinggang, tapi muka mereka terlihat serius menghadapi Erik yang menggandeng seorang gadis yang tentu saja Raffa mengenalnya. Kedua temannya menunjukkan wajah tidak suka pada kedua pasangan baru itu. Raffa lebih baik bersikap biasa saja demi harga diri. Dengan nada tenang dia meminta dua temannya untuk meninggalkan ruangan.
Sekarang, tinggal dia, Erik, dan Rara, gadis yang membuat Raffa sakit hati. Dia baru mengetahuinya. Ternyata seorang teman dan pacarnya sendiri adalah pengkhianat. Suasana sepertinya makin memanas. Mata mereka saling beradu tajam meskipun belum ada pihak yang membuka suara.
“Jangan diam saja, Raf. Kau membuatku makin bersalah!” Rara memecah keheningan dan duduk di sofa dengan santainya.
“Sudah berapa lama?” tanya Raffa enteng, tapi berlawanan dengan sorot matanya yang tidak begitu saja bisa santai.
“Kami saling tertarik saat kami sering bertemu di ruang latihan. Saat ia menemanimu latihan.” Erik menjawab dengan tenang dan sangat tidak tahu diri dengan menekankan kata-kata saat Rara menemaninya latihan. Mereka sudah tertarik satu sama lain ketika itu. Artinya, seorang Raffa ditusuk dari belakang seperti itu. Sungguh memalukan.
“Kami juga mulai sering jalan berdua selama liburan,” tambah Rara melipat tangannya ke dada seperti seorang yang tidak merasa berdosa sama sekali.
“Baiklah, kita putus. Dan Erik, kau secara resmi dikeluarkan dari Nobody Win,” tandas Raffa menahan kepalan tangan kanan agar tetap pada posisinya.
“Benar kan, kalau selama ini kau tak pernah serius padaku,” kata Rara sinis berdiri mendekatkan tubuhnya pada Raffa.
“Kau yang tak pernah sunguh-sungguh! Seharusnya hal ini tidak terjadi kalau kau serius padaku!” timpal Raffa tidak terima.
Erik meraih tangan Rara dan pergi meninggalkannya sendirian. Sunyi begitu lama dan dia hanya bisa diam berdiri di tempat terngiang-ngiang kata putus yang dilontarkannya sendiri. Seharusnya dia dapat menikmati senyuman Frea yang meneduhkan. Gara-gara Erik dan Rara, tidak ada kedamaian hari ini. Berawal dari keterpaksaan menggoda si Boom agar dia terbebas darinya, kemudian baru saja menerima kenyataan bahwa kekasih dan teman satu band-nya berpacaran, ditambah lagi dia kehilangan drummer. Ah, hari yang sial.
Lebih terasa pahit ketika menerima kenyataan bahwa Nobody Win tidak utuh lagi. Itu yang menjadi beban pikiran Raffa sebagai seorang leader. Sedangkan pengkhianatan cinta, bisa dengan mudah dia lupakan. Raffa tertawa kecut.
***
Raffa memandang langit yang cerah dari balkon kelas. Hari pertama masuk sekolah dia tersenyum ceria sepertinya telah membuang kesialan kemarin. Dia tidak terlalu ambil pusing. Yang ada dalam khayalannya kini adalah Frea yang semakin cantik mengenakan seragam sekolah. Bisa jadi gadis itu adalah penawar lara.
Raffa pasti akan sangat bahagia bisa bersanding dengan Frea, hingga wajah angkuh Rara akan terlupa dengan mudah. Sangat membuang tenaga untuk marah dan terpuruk dalam sedih hanya karena seorang gadis yang tidak pantas dipertahankan. Sayangnya, dia tidak tahu apa yang saat ini Frea lakukan. Mereka berbeda jurusan dan tidak menjadi satu kelas.
“Maafkan saudaraku, ia memang tak pernah serius dengan apa pun dalam hidupnya, termasuk ketika menjadi kekasihmu,” tegur Zinta, saudara tiri Rara.
Mereka berdiri bersebelahan dan menyandarkan kedua lengan di pagaran balkon. Keduanya satu kelas Seni Musik A, sedangkan Rara berada di kelas Seni Musik B. Jadi, dia dengan bebas dapat membicarakan saudaranya.
“Tak perlu mengkhawatirkanku karena yang perlu dikhawatirkan adalah dirimu sendiri,” ucap Raffa tulus.
Selama pacaran dengan saudaranya, dia paham betul bagaimana Zinta diperlakukan seperti seorang budak, yang dengan semaunya disuruh-suruh dan dibentak-bentak. Bagaimana dia bisa berpacaran dengan gadis yang tidak punya hati itu. Raffa seakan baru terbangun dari tidur panjang. Dan sungguh sebuah keberuntungan dengan adanya Erik. Pemuda tengil itu memiliki andil menyelamatkannya dari si penyihir. Nama yang pantas untuk Rara. Seorang gadis yang hanya menang dari segi cantik, molek, dan kaya, tapi selebihnya mengerikan.
“Kenapa kau bisa bertahan dengannya?”
“Utang budi,” jawab Zinta singkat.
Raffa jadi teringat ketika menegur Rara agar memperlakukan Zinta selayaknya saudara. Rara malah dengan manja mengatakan bahwa Zinta dengan rela melakukan apa pun yang dia minta. Kemudian, menunjukkan muka cemberut untuk meminta perhatian sehingga Raffa tidak bisa berkata-kata lagi.
Dan baru sekarang, Raffa penasaran dengan gadis itu. Dia tidak percaya jika gadis itu rela diperlakukan secara tidak manusiawi. Dia kelihatan begitu menderita. Bisa dilihat dari posturnya yang sudah tinggi memperjelasnya semakin tampak kurus.
“Apa Rara sering menyusahkanmu? Tak peduli ia melarangmu atau tidak, kau harus tetap menjaga kesehatan dengan makan yang cukup.” Mendadak saja Raffa menunjukkan perhatian.
Zinta merasa Raffa memerhatikan tubuhnya dan ia menyadari bahwa berat badannya semakin berkurang. Dia tersenyum kecil. “Aku makan cukup kok. Lihat otot-otot tanganku kekar karena aku seorang atlet,” timpal Zinta seakan mengetahui apa yang dia pikirkan tentang gadis itu.
“Atlet taekwondo?” ledek Raffa sekenanya.
“Iya, sabuk hitam,” bisik Zinta. “Jika Rara sudah keterlaluan, baru aku akan menunjukkan keahlianku.” Mereka tertawa bersamaan. Tawa yang mencairkan suasana.