“Raffa tidak pernah bercerita tentang Rara dan Zinta. Dua gadis sekaligus. Kesal, tapi sedikit. Semua kuketahui dengan cara tak disengaja. Menceritakan hal pribadi apalagi berkaitan dengan asmara kepada orang lain itu haknya. Dan baru kusadari, aku hanyalah sebatas teman, sama dengan Rheena, Nicky, dan Rahar.” (FREA)
Raffa menunduk dan menggerak-gerakkan alat pel ke lantai. Lalu, tertahan karena mengenai sepatu seseorang. “Fre…?” Raffa menyebutkan namanya dan cengar-cengir. Malu.
Di balik punggung Frea, juga muncul Rheena, Rahar, dan terakhir Nicky.
“Sudah jam istirahat, ayo ke kantin!” ajak Rahar riang seolah tak melihat Raffa yang masih menyangga beban di mukanya, yang masam kali itu.
“Seharusnya sudah selesai, bukankah dimulai dari jam tujuh tadi. Hanya sepanjang koridor ini. Leader kita memang harus dibiasakan untuk menggunakan alat-alat rumah tangga semacam itu!” ledek Rheena sambil dagunya diangkat dan dimajukan untuk menunjuk ke arah alat pel yang Raffa pegang. “Jangan hanya merayu perempuan, makanya kena sanksi!” tambahnya cekikian.
“Ah cerewet kau…! Kau kan perempuan, yang biasa menyelesaikan ini dengan cepat. Tunjukkan padaku baru mengomentariku!” Raffa pura-pura kesal dan melemparkan gagang pel ke arah Rheena.
Mau tak mau Rheena harus menangkapnya jika tidak ingin alat itu mengenai tubuh bagian depan. “Raffa…!” lengking Rheena memanyunkan mulut, pura-pura marah sembari mengangkat gagang pel dengan kedua tangan seolah-olah akan memukul tubuh Raffa.
“Fre…, tolong aku…!”
Frea tersenyum kecil melihat kelucuan Raffa dan Rheena. Tiba-tiba, waktu seolah terhenti saat menyadari Raffa tepat bersembunyi di balik tubuhnya. Embusan napas terasa di telinga. Ada sesuatu yang menjalar. Denyut jantung memukul-mukul. Makin keras. Waktu seolah kembali berjalan ketika dua tangan Raffa meraih dua bahunya.
“Hanya cewek yang tidak punya perasaan, yang tidak mempan dirayu. Ya, setipe denganmu,” goda Raffa lagi, membuat muka Rheena benar-benar merah.
“Minggir, Fre, kau temanku atau temannya!” rengeng Rheena masih memamer-mamerkan gagang pel ke atas.
“Kau memang harus lebih lembut kalau jadi cewek, biar ada yang merayumu. Lihat Rahar sampai ketakutan begitu, kaget dengan tingkahmu!” sela Nicky, ikutan meledek Rheena.
“Kok aku dibawa-bawa…?” Rahar tampak bingung dan tak mengerti kenapa dia disangkutpautkan.
“Lihat, Rheen, Rahar yang begini saja tak terpesona, ya jelas saja. Makanya, kau harus bersikap lemah lembut seperti Frea!” tambah Nicky yang makin memojokkan Rheena, sahabat barunya itu.
Frea tersenyum. Candaan-candaan mereka membuat paginya makin cerah.
“Awas kau...!” Sekarang alat pel dilempar ke arah Nicky.
Dengan sigap Nicky menangkapnya. “Har, cepat kau selesaikan, agar kita semua cepat makan!” Alat pel pun diserahkan pada Rahar. Tanpa protes Rahar melakukan perintah itu.
“Kok begitu…?” tanya Frea merasa geli dengan Rahar yang begitu penurut.
“Tidak apa-apa, Fre. Ini namanya kebersamaan,” jawab Rahar polos sambil menggerakkan alat pel.
“Ah benar, kebersamaan. Mengepel tadi membuat badanku pegal!” Raffa tersenyum menyeringai dan mengarahkan punggungnya pada Nicky.
Frea tertegun sebentar dan menutup mulutnya dengan satu tangan, hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat. Nicky juga tanpa protes, memijat-mijat kedua bahu Raffa.
Akhirnya, ia benar-benar tak bisa menahan tawa. Begitu juga yang lain. Ledakan tawa keceriaan yang tidak pernah Frea rasakan sebelumnya, di sekolah lama. Baru ia sadari bahwa begitu mudah, membuka diri, dan kini kepada siapa pun. Kepada orang-orang ini, yang selalu menebarkan kebahagiaan dan kedamaian dalam kebersamaan. Batin Frea sembari mengamati satu per satu teman-teman barunya, Rheena, Raffa, Nicky, dan Rahar.
Senyum merekah itu hanya sesaat. Terganti tatapan terpaku. Lurus ke depan. Di antara siswa-siswa yang hendak ke kantin, muncul Zinta. Gadis itu basah kuyup. Ia berjalan mendekati Frea. Mereka berhadapan seolah rival. Rasanya seperti menahan napas dan sulit untuk mengembuskannya. Ia tahu sorot mata gadis itu bukan untuknya, tapi untuk orang lain.
“Kalian berkumpul, rupanya. Aku pikir…kau sendirian. Aku—” ucap Zinta lemah.
Hening. Ia tak berniat melanjutkan perkataannya seolah sedang menunggu simpati seseorang. Rambut, baju, hingga rok seragamnya, basah bernoda kecoklatan. Tercium bau sabun dan bau tidak sedap yang bercampur. Ia masih menenteng alat pel di tangan kanan dan ember kosong di tangan kiri. Isi embernya tadi mungkin sudah diguyurkan ke seluruh tubuh.
“Kau kenapa? Apa yang terjadi?” Suara kekhawatiran Raffa terdengar melewati Frea.
Frea membisu sembari menatap punggung Raffa yang tegap. Benar-benar di depan mata. Ketiganya berdiri pada lajur yang sama, dirinya, Raffa, lalu Zinta. Posisi yang mungkin bagi orang lain yang melihat akan menyangka ada cinta segitiga di antara mereka.
“Fre…!” Suara Raffa tiba-tiba menyadarkan Frea dari lamunan.
“Ya…?” Frea menangkap tatap mata Raffa, yang sudah memutar badan ke arahnya.
“Kau bisa membantuku?” Raffa bergeser ke samping dan menoleh pada Zinta.
Melihat Zinta, tiba-tiba hatinya tersentuh. Ia seperti mengingat dirinya di masa lalu, di sekolah lama. Tidak ada alasan baginya untuk membuat jarak dengan gadis itu. Ia pun mengangguk mengerti dan segera mendekati Zinta.“Oke, kalian ke kantin saja. Aku akan membawa Zinta ke asrama. Rheena, jika aku terlambat tolong dimintakan izin!”
“Bu Alin galak loh.”
“Bilang saja masalah wanita yang selalu dialami setiap bulan. Selebihnya, kuserahkan padamu!”
“Baiklah.”
Mendengar penjelasan Frea, Nicky, Rahar, dan Raffa bengong. Terpana. Mungkin tak menyangka ia bisa setegas itu. Bahkan, Raffa yang sepertinya telah sadar dari ekspresi terpukau, mulai tersenyum tulus seolah ingin mengucapkan, “Terima kasih, sudah merepotkan”.
***
Tampak tatapan Raffa, Nicky, dan Rahar mengarah pada Zinta, dari ujung kaki hingga rambut. Masih terbengong.
“Dengan gaun kau anggun sekali, Zin…,” puji Rahar masih memandang Zinta takjub.
“Aku jadi semangat latihan hari ini,” sahut Nicky dengan gaya cool-nya sambil melipatkan kedua tangan di dada.
“Itu…?” Kedua mata Raffa masih lekat pada Zinta.
“Jika memandangku terus aku bisa malu.” Zinta keluar dari tatapan-tatapan para pemuda yang mengelilinginya.
Bahkan, Raffa tak berkedip. Batin Frea seiring embusan napas berat. Pemandangan itu harus ia saksikan sesaat setelah memasuki ruang latihan anak-anak Nobody Win. Ia tetap berdiri di tempat, di samping Rheena, berat untuk beranjak mendekati mereka.