Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #10

Zinta

“Aku ingat kala menikmati pemandangan danau yang indah dari balkon kamar, rumah Pak Wilson. Di sana, bersama Raffa, saling mengungkapkan isi hati tanpa ragu. Namun, akhir-akhir ini, pemuda tengil itu lebih condong pada Zinta. Bodoh. Aku sangat bodoh karena sampai detik ini, tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Hanya saja, aku langsung bungkam ketika nama gadis itu disebut. Senyum yang mengembang pun tiba-tiba surut.” (FREA)

Rheena mendesah menutup buku paket Matematika. Melipat kedua tangan di sana untuk tempat bersandar pipi chubby-nya itu. Ia tersenyum menatap Frea yang sudah berbaring miring di kasur kecil dan lengkap dengan selimut. Frea membalas dengan senyuman manis dan saling berpandangan seperti sepasang kekasih. Tak berkata sepatah kata pun seolah sedang bertelepati. Teduh. Sepasang mata Rheena yang belok dan bening dengan bulu mata lentik, membuat Frea tak mau berpaling. Bagi Frea, Rheena satu-satunya sahabat baik.

“Bisa tidak kita buat dunia kita berdua tanpa anak-anak Nobody Win?” Ucapan Rheena cukup mengejutkan.

Frea menegakkan tubuh mencoba duduk. Dua telinganya masih belum dapat menerima maksud dari ucapan itu. Hanya bisa bereaksi dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Lebih baik ia menjadi pendengar terlebih dahulu, yang mungkin akhirnya Rheena akan jujur tentang keresahan hati dan alasannya berniat menjauhi geng Nobody Win. Ia harus bisa menjadi teman curhat yang baik.

Rheena menegakkan kepala dan menatap lurus pada Frea. “Sepertinya posisiku sudah terancam oleh kehadiran Zinta,” keluhnya mendesah lagi, kali ini, embusan napasnya terdengar berat.

Frea tak menyangka yang mengganggu pikiran Rheena adalah Zinta.

“Sudahlah kita bicarakan yang lain saja! Lagian gadis itu juga tidak berbuat macam-macam. Hanya perasaanku saja, merasa perhatian anak-anak sudah berkurang karena orang baru dalam geng.” Rheena cengengesan sendiri.

“Wajar, Rheen. Zinta menjadi penting karena ia dibutuhkan untuk mengisi posisi drummer.” Rheena mengangguk dengan penjelasan yang Frea berikan.

“Kau benar, Nobody Win ibarat kekasih sejati bagi Raffa. Hal lumrah jika ia begitu mempertahankannya.”

Keheranan. Ini tak seperti yang ada dalam hatinya kala sore tadi, di ruang latihan. Ia ingat meninggalkan tempat itu dengan hati tak tenang. Malam ini, ketika tahu ia sehati dengan sahabatnya, ia tak berani mengungkapkan. Bahkan, mengesankan kehadiran Zinta bukan sesuatu yang mengganggu.

“Tapi, benarkah kau tak terganggu dengan kehadirannya? Ia sengaja menggunakan gaunmu untuk mencuri perhatian teman-teman? Tak masuk akal kan?” Serangan pertanyaan Rheena membuatnya tak berkutik.

Beberapa waktu Frea terperangkap dalam diam. Sekarang, harus menghadapi sepasang mata Rheena yang tajam seolah menemukan sesuatu yang ganjil dalam diri Frea.

“Aku ingin punya teman lebih banyak, Rheen. Hingga tak masalah buatku jika Zinta bergabung. Masalah gaun, jika ia suka, aku tak masalah memberikannya. Ketika mereka sibuk latihan, bukankah ada aku yang akan selalu menemanimu,” jawab Frea sekaligus membesarkan hatinya sendiri.

“Kau benar, Fre.”

“Tentang Raffa, tak kusangka ia bisa menunjukkan keseriusannya ketika menyadarkan Tony.”

“Iya, Fre. Itu sisi lain Raffa.”

 Frea mulai dapat tersenyum. “Aku baru mengetahuinya.”

 “Kau suka Raffa? Terbaca jelas dari senyummu.” Rheena tiba-tiba memberikan pertanyaan yang menikam.

“Kami hanya teman,” kilah Frea geleng-geleng cepat.

“Aku lebih rela Raffa denganmu daripada dengan Zinta. Andai Raffa bersamamu, pasti aku akan sangat bahagia.” sambung Rheena membuat Frea membuka mata lebar-lebar.

“Rheen, perasaan tidak bisa dipaksakan.” Akhirnya, hanya itu tanggapan Frea. Bingung.

“Saat dulu kau mempertaruhkan nyawa demi Raffa, kupikir kalian—” Ucapan Rheena terhenti. Ragu.

“Rheen, aku pindah sekolah ke sini, salah satunya ingin mencari teman. Dan memilikimu sebagai sahabat, sudah menjadi kebahagiaan bagiku. Mungkin itu sudah cukup.” Mendengar ucapan tulus Frea, Rheena tersenyum simpul.

“Terima kasih, Fre.”

 Kedua sahabat menyatukan jari-jemari mereka. Mereka pun memutuskan berbaring di kasur masing-masing dan berselimut sebatas pinggang. Membenamkan diri dalam persahabatan yang jauh lebih indah.

Lampu ruangan telah terganti. Namun, dalam remang-remang lampu tidur, pandangan keduanya masih lekat. Tanpa aba-aba. Tanpa percakapan lagi. Lalu, cekikian. Setelah melihat kelopak mata sahabatnya menutup, Frea beralih ke langit-langit. Samar.

***

“Pertemuan besok kita mulai praktik,” kata Pak Soni, guru seni lukis realis, lantang.

Frea tersentak dan menegakkan posisi duduk. Diikuti keluhan sebagian siswa yang masih malas untuk memulai praktik. Keluhan itu hanya ditanggapi oleh bunyi bel jam istirahat pertama.

Lengan Frea tiba-tiba ditarik. Rheena mengajaknya tempat favorit, bagi hampir semua siswa di Wilson Arts Senior High School. Kantin.

Rahar dan Nicky berdiri mengantre memilih dan mengambil sendiri aneka rupa hidangan yang tersedia. Frea dan Rheena datang menyusul.

“Kau tak mentraktir kami, Fre…?” Nicky menoleh ke belakang dan mengedipkan sebelah mata. Ada maunya.

Frea bengong.

“Apa-apaan ini?” seloroh Rheena seperti tak terima Nicky meminta traktiran, lebih-lebih dengan kedipan itu.

“Karena Frea telah bergabung dengan kita dan untuk peresmian harus ada traktiran dong…!” sela Rahar polos.

Lihat selengkapnya