Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #12

Renggang

“Perasaan cemburu muncul kala melihat seseorang yang kita sukai dekat dengan gadis lain atau perasaan begitu cepatnya seseorang berpaling dari kita. Tapi bagiku, itu tampak samar saja. Menyukainya? Bukan itu tujuanku di sini. Ada atau tidak adanya pemuda itu. Tidaklah begitu penting.” (FREA)

Raffa dan Frea duduk berjauhan, masing-masing menempati ujung sofa panjang. Menunggu teman-teman yang tak kunjung datang. Seperti biasa, Nobody Win latihan. Dan kali ini sesuai rencana dan kesepakatan, jadwal latihan, yaitu jam lima sore. Namun, sudah lewat setengah jam yang lain belum menampakkan batang hidungnya.

Terakhir, Rheena terlihat kelelahan dan masih tidur saat Frea berangkat. Sebelum itu, ia meninggalkan catatan kecil. Aku duluan ke basecamp. Jangan lupa menyusul. Frea. Frea berharap Rheena sudah membacanya dan segera datang. Keheningan di ruangan ini tak biasa baginya. Membuat ia dan Raffa dalam kekakuan.

Keduanya saling menunggu untuk memulai suatu pembicaraan. Frea merasa semakin hari semakin kelu untuk bicara satu sama lain ketika hanya berdua. Sangat berlawanan saat masih berada di rumah Pak Wilson, di sebuah ruangan dengan pemandangan di luar balkon yang indah. Mereka tak akan ragu untuk bersenda gurau dan berbagi isi hati. Entah mengapa semua berbeda sekarang. Sangat canggung, kikuk, dan sejenisnya.

Frea masih dalam diam, tak tahu harus bagaimana. Kedua kaki bersepatu merah yang bergerak-gerak, tak mau diam, maju mundur secara bergantian. Sementara Raffa, hanya mendongak ke langit-langit seolah mencari cicak untuk dimangsa. Frea memerhatikannya sambil menyangga dagu dengan tangan kanan yang sikunya ditekuk bertumpuan pada lengan sofa.

“Mereka lambat…,” gumam Raffa. “Kalau begini, jadi malas latihan!”

Frea merasa kata-kata itu seolah menunjukkan ketidaknyamanan bersamanya dalam satu ruangan. Secara tak langsung seolah hendak menyuruh pergi. Jika meninggalkan tempat itu, Raffa mungkin dapat bernapas lega. Begitulah risau yang merebak dalam pikiran Frea.

Atau bukan dirinya yang ia harapkan. Tapi orang lain. Dan Frea mengingat bagaimana pagi tadi ia menarik Rheena mengikuti Raffa dan Erik. Rahar dan Nicky pun menyusul takut terjadi suatu perkelahian. Sesampai di sana, ia jelas-jelas mendengar nama itu.

“Teman? Gosip sudah merebak, kau mendekati Zinta kan? Kenapa harus gadis itu, karena saudara tiri Rara? Ingin balas dendam atau apa?”

“Kalau iya kenapa? Bukan karena Rara, tapi karena Zinta memiliki hati yang tulus. Beda dengan Rara, hatinya busuk. Seperti dirimu!”

Saat itu, kekhawatiran yang berlebihan membawanya pada kekecewaan. Tanpa Raffa sadari, tanpa Raffa rasakan kehadirannya, pemuda itu tetap melanjutkan perang mulut.

Ketika melangkah meninggalkan Erik dan mendapati keempat temannya yang mematung, ekspresi Raffa sungguh datar. Memaksakan diri untuk tersenyum tanpa menjelaskan apa-apa—pengakuan Raffa yang benar adanya sedang mendekati Zinta—dan hanya mengajak teman-temannya masuk gedung sekolah. Semua tak berani menuntut klarifikasi. Dan bukan kapasitas Frea untuk melakukannya.

Raffa berdeham membuat Frea terlonjak dan lenyaplah lamunannya. “Baiklah, Fre, kita tunggu mereka sebentar lagi!” Hanya itu yang diucapkannya karena menit-menit berikutnya ia diam kembali. Merebahkan badan dengan nyaman ke punggung sofa dan memejamkan mata.

Adakah lagi yang ingin kau katakan? Seharusnya ini mengalir begitu saja, seperti dulu. Napas yang amat berat makin Frea rasakan. Ruangan pun terasa pengap dan penat. Ikut memejamkan mata saja karena sia-sia menanti kata-kata dari mulut Raffa yang tertutup rapat.

“Emmmmm…” Tiba-tiba kelopak mata membuka dengan cepat ketika terdengar desahan Raffa. Penglihatannya mendapati Raffa yang ternyata sudah membuka mata, memamerkan senyum manis, dan memerhatikannya secara teliti. “Daripada bertopang dagu seperti itu, bersandar saja padaku!” pinta Raffa sambil menepuk-nepuk pundaknya.

Kata-kata nakal Raffa akhirnya dapat Frea dengar. Pemuda itu tetap tak akan melepas humor yang sudah melekat padanya. Menjadi aneh dan hanya diam-diam saja itu baru bukan dirinya. Sayangnya, Frea tak menyukai lelucon itu.

 “Candaanmu tak lucu. Apa itu rayuan untuk semua gadis?” timpal Frea dingin.

“Fre, kau kenapa?” Raffa tercengang dengan reaksi Frea. Ia mengerutkan dahinya. Kemudian, terbelalak seperti teringat sesuatu. “Apa…kau mendengar semua pembicaraanku dengan Erik?”

“Aku pergi saja!” Frea beranjak dari sofa.

“Fre…!” Raffa menahan Frea. Meraih lengannya.

“Aku tak akan mempan dengan rayuanmu. Lakukan saja pada Zinta!” Frea mengibaskan tangan Raffa. Dan melangkah menuju pintu.

Raffa justru cengengesan. “Oke, aku paham. Yang kau dengar tadi pagi itu, bohong, hanya untuk membungkam mulut Erik.” Raffa mendahului Frea dan berdiri menghalangi pintu. Keduanya saling menatap lurus.

“Apa kau tidak takut kebohonganmu itu justru akan dianggap sebuah pengakuan dan akan tersebar? Gosip-gosip yang kau takutkan itu, bisa saja dianggap valid karena pengakuan yang keluar langsung dari mulutmu, di depan Erik!”

“Tunggu! Kau cemburu?”

“Tidak,” sangkal Frea singkat dan dingin. “Tentang mantan pacarmu dan adik tirinya yang kau dekati. Itu bukan urusanku!” tambahnya ketus. 

“Lalu, kenapa kau tiba-tiba marah?”

“Bisakah kau tak mencampuradukan humor dengan sesuatu yang harusnya disampaikan secara serius!” Frea mengeraskan suara.

“Bagaimana jika yang kuucapkan padamu tadi serius dan bukan humor semata?” Raffa mengubah mimik wajah menjadi serius dan menatap tajam Frea.

“Lalu, yang kudengar pagi tadi dan yang aku dengar sekarang, manakah yang harus kupercaya? Mana yang terkesan serius dan mana yang terkesan gurauan? Bagiku, semua tampak sama! Kenyataannya, kau pintar mempermainkan perasaan orang!” Ucapan Frea yang tajam membuat Raffa tak dapat berkata apa pun, untuk beberapa menit.

“Fre, nada bicaramu barusan terkesan seperti—” ucap Raffa terhenti, agak ragu untuk melanjutkan. “Kau menyukaiku?” Raffa menghilangkan bimbang di raut wajahnya dan bertanya secara terang-terangan.

Tanpa kata-kata manis. Tanpa sebuah pembuka yang mengawali suasana berbunga-bunga. Pertanyaan penting berkaitan erat dengan perasaan seseorang, justru terlontar begitu mudahnya. Kini, giliran Frea membisu.

Tapi raut muka Frea tiba-tiba menunjukkan ketegasan. “Aku datang ke sini bukan untuk itu. Aku kemari ingin sekolah yang benar dan mencari teman sebanyak-banyaknya!”

“Tapi sikapmu seperti bukan mencari teman. Justru lebih ke seseorang yang mencari musuh!” balas Raffa tajam. “Oke…, tak mungkin kau menyukaiku, karena kau hanya menganggapku sahabat saja kan?”

Ucapan Raffa membuat Frea sulit untuk membalas kata. Bisa dibilang perdebatan dimenangkan oleh Raffa. Baginya, untuk urusan bersilat lidah, pemuda itu selihai tupai. Tak pernah habis kata-kata untuk membalas pernyataan Frea, dengan pernyataan yang lebih tajam.

Frea dalam ekspresi berpikir. Pertanyaan Raffa berputar-putar di otak. Ia mencoba melihat Raffa lurus. Mencari sesuatu di kedalaman mata itu. Tapi, hawa dingin saja yang ia temukan. Padat membeku. Sulit bagi keduanya tersenyum. Sulit bagi keduanya mencairkan keadaan. Sudah ada batas membentang di antara dua insan yang pernah mencecap kebersamaan, kehangatan canda tawa, curahan hati, dan ketenangan berdua saat memanjakan mata pada danau buatan dan pemandangan sekelilingnya yang berada di belakang kediaman Pak Wilson. Benar-benar ada batas, kini, antara Raffa dan Frea.

“Dan kita telah membuat kesepakatan bahwa kita hanya akan menganggap satu sama lain sebagai sahabat. Ingat? Karena itu, jangan berusaha merayuku lagi!” Kata-kata tanpa perasaan mengalir begitu saja dan menghunjam hati Frea sendiri.

Raffa bergeser ke samping. Tanpa mau menatap Frea, ia memberikan jalan baginya untuk keluar ruangan. Tidak mengatakan sepatah kata pun. Dan ketika Frea mencermatinya, terlukis air muka terluka. Muram. Frea tak begitu mudah untuk mengetahui teka-teki hati di balik wajah itu. Ia ingin pernyataan yang jelas keluar dari mulut Raffa. Yang jelas hingga dimengerti olehnya. Tidak bercampur aduk dengan humor, kelakar, gurauan, atau sejenisnya.

Cukup! Frea menghentikan diri untuk terus-menerus memikirkan Raffa dan perasaannya. Benar, ia ingin tenang di sekolah baru dan memiliki teman sebanyak-banyaknya. Yang tak pernah dimiliki di sekolah lama. Itulah alasan utama dirinya berada di sini. Karena itu, ia perlu memangkas habis rasa aneh yang selalu tumbuh liar di hatinya.

***

Begitulah waktu berlalu dengan kerenggangan hubungan persahabatan Raffa dan Frea. Frea tak tahu lagi apakah Raffa masih sahabatnya ataukah tidak. Kerisauan itu masih terbesit di otak sembari berpandangan dengan Rheena. Saling melayangkan senyum lebar. Keduanya duduk di tepian kasur kecil milik masing-masing. Untuk saat ini, memiliki Rheena saja sudah cukup. Mereka mencoba tak lagi ketergantungan dengan kewajiban berkumpul di basecamp Nobody Win.

Rheena menemani setiap hari dengan setia dan bercerita sesuatu yang menyenangkan baik di asrama, di kelas, maupun perpustakaan yang kemudian menjadi tempat favorit mereka kini. Hari berganti bersamaan mereka yang makin tekun mengikuti estrakurikuler penulisan sastra. Kegiatan dilakukan di ruang perpustakaan sepulang sekolah setiap dua kali seminggu.

Frea memiliki teman-teman baru. Bergabungnya Frea dan Rheena dalam perkumpulan itu disambut baik dan membuat semarak karena bertambahnya jumlah anggota putri, menjadi delapan. Total anggota menjadi dua belas siswa.

Dan semakin bersemangat karena dibimbing Bu Elvira, guru wanita yang masih cukup muda dan cantik. Ia selalu mengenakan dress. Dress kesukaannya bermotif bunga dengan warna soft atau kadang-kadang dengan warna polos mencolok, seperti kuning, biru, bahkan merah. Rambutnya pendek sebahu. Ketika Frea mendekati dan menanyakan kesulitan, wangi rambutnya tercium. Baik siswa putra maupun putri selalu terpesona dan menantikan penampilan yang makin fresh dan anggun setiap kali pertemuan.

Satu hal lagi, ia mengingatkan Frea pada Bu Ve, pada keramahan dan perhatiannya. Lengkap sudah hari-hari Frea. Lebih tenang dari biasanya karena kehadiran wajah berseri-seri yang selalu menebarkan senyum kehangatan. Seolah kehangatan bersama mantan pengasuhnya hadir kembali.

Pertemuan kali ini Bu Elvira memperdengarkan lagu How Can I Not Love You - Joy Enriquez, sebelumnya memberikan secarik kertas berisi penggalan lirik lagu itu. Setelah selesai diputar, ia melanjutkan penjelasan tugas yang akan diberikan.

“Lagu yang baru saja diputar untuk menginspirasi kalian dalam menghasilkan puisi dengan tema yang sama!”

Teori-teori tentang puisi sudah dijelaskan di awal-awal pertemuan. Ini pertemuan ketiga dan ia meminta para siswa langsung praktik. Hanya saja yang Frea tak mengerti benar adalah lirik lagu yang berbahasa Inggris itu dan Rheena gerak cepat untuk mengambil kamus. Mereka bekerja secara partner untuk menerjemahkan. Begitu juga yang lain.

“Setelah selesai nanti, kalian harus secara mandiri membuat puisi!” lanjut Bu Elvira.

Semua siswa mengangguk paham. Tugas cukup jelas. Frea dan Rheena tersenyum mantap. Mengambil tempat di pojokkan ruang perpustakaan agar dapat berkonsentrasi. Bagi Frea, agar terhindar dari pengamatan yang lain sehingga dapat mengerjakan dengan lebih santai dan dapat diselingi obrolan asyik.

“Itu lagu cinta, kan?” Frea membuka suara di tengah Rheena yang fokus membuka-buka kamus dan mencari arti kata. “Bisa dilihat dari judulnya saja, ada kata love,” tambah Frea cekikikan tanpa berniat serius untuk mencari arti setiap baris lirik.

“Betul sekali. How Can I Not Love You, Bagaimana Mungkin Aku Tidak Mencintaimu.” Ketidakseriusan Frea tak membuat Rheena marah. Bahkan, dengan sabar menanggapi ucapannya.

Frea tiba-tiba termenung. Teringat sesuatu. Teringat pertanyaan Raffa yang tanpa basa-basi, tanpa pembuka yang manis.“Kau menyukaiku?”

“Bagaimana mungkin aku tidak menyukaimu.” Tanpa Frea sadari, ia menjawab lirih.

Rheena menyenggol lengan Frea. “Bagaimana Mungkin Aku Tidak Mencintaimu”.” Ia membenarkan ucapan Frea.

Frea membungkam mulut dengan satu tangan. Ia mengatakan sesuatu yang seharusnya tersimpan saja dalam hati. Hati yang kian berdesir dan jantung yang berdenyut hebat.

“Kau sedih karena tidak lagi berkumpul dengan anak-anak Nobody Win?” Entah mengapa Frea membuka pembicaraan tentang Nobody Win.

“Ya sedih, aku rindu mereka. Dengar lagu tadi dan mengartikan liriknya, aku jadi ingin berlari mencari dan memeluk mereka.” Ungkapan hati Rheena kurang lebih sama dengan perasaan Frea.

Lebih terasa lengkap kebersamaan itu ketika bersama anak-anak Nobody Win. Dan, Raffa.

“Tapi, sudahlah! Nobody Win terasa berbeda semenjak ada Zinta. Jadi, tak asyik. Raffa jadi tak fokus bersama teman-temannya karena terlalu mengurusi masalah pribadi. Kita dengar sendiri kan, ia bilang apa saat bertengkar dengan Erik,” ungkap Rheena kesal.

Frea tak tahu harus menimpali apa. Tapi, dalam lubuk hati, terpendam persetujuan.

“Mungkin ada baiknya, kita menjauhi mereka dulu dan fokus pada kegiatan ini. Tugas-tugasnya juga menyenangkan!” Rheena memamerkan kertas lirik lagu.

Ada coret-coretan di bawah setiap baris lirik. Rheena yang cerdas sudah menyelesaikan tugas pertama. Mau menggunakan kamus pun, jika tidak secerdas Rheena, tetap akan memakan waktu lama. Lalu, cekikikan melihat teman-teman yang masih tengah sibuk membuka-buka kamus. Ada yang malas-malasan dari kelompok putra, Deni dan Tio. 

“Sudah selesai?” Bu Elvira melayangkan pandangan pada Rheena dan Frea. Mau tak mau mereka mengangguk. “Oke, bisa dibacakan ya agar yang lain mendengar!”

Rheena dan Frea menjadi pusat perhatian. Beberapa dari mereka lebih memandang dengan sorot kecewa. “Yach, tidak heran cepat selesai, Rheena kan juara umum di sekolah,” keluh Deni.

“Benar, padahal kami sedang semangat-semangatnya mengerjakan. Tiba-tiba tahu kalian selesai, kami jadi minder,” sahut Sarah, cemberut.

Bu Elvira tersenyum. “Jangan berkecil hati, Anak-anakku. Ibu senang kalian bersemangat mengerjakan. Tapi, mari kita dengarkan curahan hati Rheena. Dipersembahkan untuk kalian. Semoga tak bersedih lagi.” Kelembutan tutur Bu Elvira meredakan keluh kesah mereka. Begitu pandainya ia membuat kata-kata penarik hati.

Karena itulah, mereka mengangguk-angguk, dapat menerima. Sang guru berhasil membawa suasana saat itu seolah-olah Rheena hendak mempersembahkan perasaan hati, tulus, untuk teman-teman barunya. Rheena berdiri di hadapan semua dan membacakan arti baris-baris lirik.

Cannot touch, cannot hold

Tidak bisa menyentuh, tidak bisa memeluk

Cannot be together

Tidak bisa bersama-sama

Cannot love, cannot kiss

Tidak bisa mencintai, tidak bisa mencium

Cannot have each other

Lihat selengkapnya