“Bagiku, persahabatan adalah ketulusan. Bersahabat bukan karena menginginkan sesuatu darinya. Yang lebih membuat nyaman, maka kau bersamanya. Yang tidak membuat nyaman, kau sedikit menjauh. Meski ada hal kecil dari sikap mereka yang membuatmu tak suka, jangan memperlihatkan muka masammu. Bagi kalian yang tiba-tiba menunjukkannya tanpa sebab, itu bisa merusak kehangatan sebuah persahabatan. Itulah aku di masa lalu. Sekarang bersama Rheena tidak akan terjadi. Aku hanya ingin menebarkan benih-benih senyum sehingga tumbuhlah kebahagiaan. Untuk diriku. Untuk orang lain.” (FREA)
Anggota esktrakurikuler penulisan sastra duduk di rerumputan taman. Beberapa siswa di luar kelompok itu juga lalu lalang dan kadang melihat sekilas kegiatan mereka.
Pertemuan kali ini melanjutkan tugas yang lalu. Bu Elvira berdiri di depan dan mempersilakan di antara mereka untuk sukarela membacakan puisi karyanya. Semua saling berbisik pada teman di sebelahnya, termasuk Frea.
“Maaf, Bu. Saya belum membuat karena—” Deni tak melanjutkan ucapannya. Dengan sedikit menunduk mengatakan, “saya sedang galau, Bu, kalau membicarakan cinta.” Kejujuran itu disambut tawa, siulan, dan godaan riuh teman-temannya.
“Karena gagal mendekati Sarah tuh, Bu,” celoteh Tina melirik Sarah yang bereaksi dengan menutupi wajahnya yang tampak rona merah karena disangkutpautkan.
Bu Elvira tersenyum penuh makna. Cinta tidak harus ditujukan untuk lawan jenis. Bisa untuk Sang Pencipta, orang tua, bahkan sahabat. Puisi juga menyampaikan apa yang ada dalam isi hati kepada orang lain. Dan puisi itu akan lebih bermakna ketika dibacakan. Begitulah kata-kata Bu Elvira menghentikan bisik-bisik mereka.
Tiba-tiba, Rheena mengajukan diri. Ia berdiri dengan mantap. Berdeham sebentar. “Maaf, sebenarnya, saya pun tidak memiliki gambaran tentang cinta sehingga puisi yang saya buat jauh dari perasaan itu. Di dalamnya ada ungkapan penyemangat untuk seorang sahabat. Frea.” Mata yang berkaca-kaca itu terpantul di kedalaman mata Rheena. Mengarah tepat di hati Frea.
Kata-kata sang sahabat membuainya. Lembut. Terlena keduanya dalam senyum haru. Menghipnotis Bu Elvira dan teman-teman lain, terutama grup siswa putra. Tanpa berkedip. Bu Elvira mengangguk sebagai isyarat Rheena dapat mulai membacakannya.
Di rengkuhan warna dunia
bersanding bukit, laut, dan angkasa
kutuju titik cakrawala
kutak sekadar layang kertas
dengan kekang di badan
kuseekor camar liar terbang bebas dan berpetualang
mengepak sayap ke nila samar
seiring deru angin sendu
alam berbisik
raihlah satu titik tanpa bimbang