“Aku hanya ingin melihat Chrysanthemum itu, meski tidak dapat merasakan harumnya dari dekat. Dari kejauhan sudah cukup. Bayang-bayang keindahannya sudah lama melekat di kedua bola mata. Jika bisa memilikinya akan lebih baik. Jika bisa memilikinya aku akan sangat bahagia.” (RAFFA)
Hanya sekadar memetik gitar yang ada di pangkuan. Tanpa nada yang pasti. Tanpa lirik. Benaknya kosong. Pertanda pikirannya sedang melayang, entah ke sesuatu yang jauh, entah ke sesuatu yang dekat dari tempatnya berada. Yang jelas tidak beberapa lama, senyum mendadak tersungging di bibir.
“Cantik…,” ucap Raffa yang tidak disadarinya, meluncur begitu saja. Yang mendapat respons berupa tatapan penuh tanya dari ketiga temannya.
“Siapa, Raf?” tanya Nicky membuyarkan awan-awan putih yang bergelayut dalam pikiran Raffa.
“Oh…gadis-gadis cantik itu…,” sela Rahar menatap ke arah kumpulan siswa yang sedang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler penulisan sastra, seolah mengerti siapa yang dimaksud dan dipuji Raffa barusan.
“Cie-cie…, Rheena ya…?” olok Nicky membuat pandangan tak berkedip Rahar berpaling cepat. “Atau Frea, yang cantik?” Senyum penuh arti milik Nicky dilayangkan pada Raffa.
Kedua mata Raffa menghindar cepat. Tidak menduga bahwa tatapannya tertambat lagi pada seseorang yang berdiri sekitar belasan meter dari tempatnya duduk santai. Dia yang berdiri di sebelah Rheena. Sosok berkilauan mulai dari rambut yang tergerai indah sampai tubuh ideal dibalut gaun berwarna ungu sepanjang lutut.
“Bu Elvira yang paling cantik.” Raffa selihai mungkin mengalihkan pembicaraan.
“Oh, begitu,” balas Nicky dengan santai sambil melipat kedua tangan di dada. Masih beradu pandang dengan Raffa.
Raffa seperti ditantang oleh temannya sendiri. Tampak raut tidak percaya tergurat di wajah sang sahabat.
“Untuk apa memandang yang jauh di sana, kan di sini ada yang lebih cantik.” Sebaris kalimat yang membuat ketiga temannya melongo.
Zinta langsung tersipu-sipu. Hanya dia satu-satunya gadis di grup band Nobody Win. Entah apa yang Raffa pikirkan. Ditelannya ludah susah payah. Hanya petikan gitar yang dapat mencairkan suasana yang tiba-tiba kaku. Menyanyikan lagu yang dia iringi sendiri sambil memejamkan mata. Meresapi lirik ataukah menghindari sepasang mata yang seakan-akan meminta kejelasan. Saat ini, dia tidak peduli.
Sayangnya, mendadak harus mati kutu. Lidah kelu. Lupa lirik adalah kesalahan fatal seorang vokalis. Kemudian, suara merdu mengisi lirik yang terpotong itu. Iringan gitar kembali berjalan. Gerakan kepala ke kanan ke kiri Nicky dan Rahar membuat Zinta makin ekspresif. Tinggi rendah suara yang begitu pas sehingga lagu yang dibawakan begitu nyaman di telinga, merasuk ke hati, mengena di perasaan. Kemahiran Raffa memainkan gitar sempurna sudah dengan suara emas gadis di sampingnya.
“Bravo…,” puji Nicky di sela tepuk tangan antusias.
“Wauw…, suaramu Zin, memukauku,” tambah Rahar dengan tampang jujur dan polos.
“Terima kasih semuanya.” Zinta berusaha menutupi senyum malu-malu.
“Sempat teraduk-aduk perasaan karena terbawa suaramu yang begitu menjiwai. Kalau seperti itu, seharusnya dari dulu saja aku mendengarnya.”