“Aku melukisnya dalam aliran impresionime. Impresionisme suatu gerakan seni dari abad ke-19. Karakteristik utamanya adalah kuatnya goresan kuas, warna-warna cerah (bahkan banyak sekali pelukis impresionis yang mengharamkan warna hitam karena dianggap bukan bagian dari cahaya), dan lain sebagainya. Dan dengan kemahiranku memadukan warna dan menyapukannya di kanvas, impresionisme hati terbentuk. Kuatnya goresan kuas dan warna-warna cerah yang tergambar sama halnya dengan perasaanku padamu.” (FREA)
Kanvas berukuran 30 x 40 cm yang terpasang di easel tak menghalangi penglihatan Frea pada suatu objek di kejauhan sana. Sekumpulan orang yang salah satunya berbaring dan satu dari tiga yang berdiri berjajar, sedang membawa gitar.
Frea mengembuskan napas berat dan menunduk untuk mengelak. Kembali menyapukan kuas ke kanvas membentuk suatu objek. Namun, ia tak bisa menjauhkan mata pada pemandangan itu. Tatapannya harus bergantian dari objek asli ke guratan cat di kain putih.
Dan ketika kembali melihat ke depan dengan jarak yang lumayan, tapi masih jelas terlihat, dua pasang mata bertemu. Saling menahan diri untuk tak terkejut. Tiba-tiba, ia melonjak karena tertangkap basah oleh seseorang yang beralih posisi miring—menajamkan mata padanya—dan menggunakan lengan kanan sebagai penyangga badan.
“Itu anak-anak Nobody Win kan? Tidak jadi satu geng lagi?” tegur Sisi menyenggol pelan lengan kanannya.
Cepat-cepat Frea menoleh. Hendak menjawab, tapi tertahan. Benar-benar kebingungan.
“Kami masih berteman. Hanya saja kami perlu mempergunakan waktu sesuai kegemaran dan jurusan kami,” sela Rheena menghilangkan kebingungan Frea.
Rasa penasaran Sisi terjawab. Ia tak lagi bertanya-tanya dan kembali berkonsentrasi pada lukisannya.
“Fre, apa yang kau lukis?” Rheena yang di sebelah kirinya memajukan badan.
Dengan saksama mencermati objek sekelompok orang dan baru bagian itu yang dilukisnya. Masih berlatar belakang putih kanvas. Mendapati sesuatu yang membuatnya tiba-tiba menarik diri. Ekspresi wajah Rheena tiba-tiba berubah.
Tanpa suara, ia kembali memoleskan cat minyak yang ada di ujung kuas ke kanvas miliknya. Frea ikut bungkam tak keruan. Wajah Rheena sesuram pemandangan lurus di depan yang ditangkapnya.
Gadis itu bernyanyi diiringi petikan gitar. Terdengar sayup-sayup. Namun, isyarat ekspresi di wajahnya seolah sedang mengungkapkan isi hati. Pada seorang pemuda yang ditatapnya penuh arti, sedari tadi. Si gadis berhasil menarik sang pemuda untuk beradu pandang.
“Sisi, kau melukis siapa itu?” tanya Sarah berdiri tepat di samping Sisi.
Otomatis Frea yang tepat di sebelah kiri Sisi langsung menoleh ke arah lukisan. Meski kecil, tapi bentuk orang yang dilukisnya tampak sama dengan seorang pemuda—posisi rebahan miring di rerumputan di antara teman-temannya—di kejauhan.
“Kau suka Nicky, ya?” goda Mita yang sudah berdiri di samping Sisi yang sebelumnya telah menggeser Sarah.
Sekali lihat, Mita dapat mengetahui siapa yang dilukis Sisi. Tak henti-hentinya ia meledek. Sosok Nicky dan teman-temannya dalam lukisan digoreskan dengan warna hitam penuh.
“Kau pikir kami bodoh, mau dibuat lukisan siluet pun, kami tetap tahu siapa yang kau lukis!” ledek Tina yang gantian menggeser Mita.
“Iya-iya, ngaku. Aku fans berat Nicky. Dia keren sekali saat manggung.” Lengking malu diredam Sisi dengan menangkupkan kedua telapak tangan di muka.
Tingkahnya tentu mengundang tawa. Tina mencoba menyingkirkan kedua tangan itu. Dan saat berhasil dibuka paksa, rona merah di pipi masih menghiasi wajah Sisi.
“Cie…, tidak hanya mengidolakan, tapi juga suka kan?” goda Mita makin membuat Sisi tersipu-sipu.
“Mau aku sampaikan salam untuknya?” gurau Frea tertawa kecil.