“Aku pernah bertanya kepada Raffa, mengapa kau menamai grup bandmu Nobody Win, tidak seorang pun menang? Dengan tenang ia menjawab, jika dunia ini hanya diisi oleh manusia-manusia yang hanya ingin menang, hancurlah kehidupan dunia. Namun, jika diisi manusia-manusia yang mau mengalah, kedamaian dunia pun akan tercipta. Kita tidak boleh egois. Di balik nama itu sungguh tersimpan makna yang luar biasa. Jujur, aku tersentuh dengan kata-katanya.” (FREA)
“Nobody Win….”
Nama band pembuka disebutkan. Para personelnya muncul ke panggung. Semua yang duduk di kursi penonton, menganga, dan mengeluarkan gumaman tak percaya. Keterkejutan akan penampilan Raffa yang tidak biasa. Gaya Raffa yang kontras ada di kedalaman mata Frea. Entah sejak kapan, mungkin sejak debaran mulai dirasakannya, ia telah menyunggingkan senyum di bibir.
Raffa dengan kaus hitam tanpa lengan bergambar kepala manusia berambut mohawk dan ia mengenakan celana hijau kotak-kotak. Berbeda dengan kaus oblong putih tanpa gambar mencolok yang dikenakan teman-temannya.
Tampilan yang begitu laki-laki itu makin berkarisma dengan gitar di tangan dengan tali dikalungkan ke bahu. Ketika ia maju keluar dari barisan personel dan menuju tepat di depan mikrofon, histeris beberapa gadis dari bangku khusus kelas tiga mengambil perhatian Frea. Disusul sorak dan tepuk tangan hampir seluruh penonton ketika yang lain ikut bersiap dengan alat musik masing-masing. Tak pernah disangka-sangka, Nobody Win memberi pengaruh kuat di Wilson Arts Senior High School .
Frea menanti suara Raffa dengan gaya lincah memainkan gitar. Di luar kendali, ia memang sangat menginginkan itu, tapi hanya untuknya. Seperti yang biasa dilakukan dulu—Raffa bersenandung diiringi gitar klasik—sebelum sekolah di mulai, di balkon kamar kediaman Pak Wilson.
Berbeda kali ini, dalam rangka perpisahan kelas tiga, tentunya ia bernyanyi untuk menghibur semua penonton. Bukan spesial untukku. Seiring kata terbersit di benak, kedua mata Raffa berhenti ke sepasang mata di antara ribuan penonton. Senyum merekah. Frea serta-merta terperanjat. Bisa jadi ditujukan kepadanya atau bisa jadi kepada orang lain. Linglung. Gerakan mencari kepastian—Frea menoleh ke kanan dan ke kiri—untuk menemukan jika benar ada sosok lain itu.
“Are you ready…?” teriak Raffa disambut pekik membahana. “Oke, meski saya hari ini nyaris nge-punk dan akan mempersembahkan musik bergenre punkrock, tapi hati kami, tetap lembut dan penuh cinta untuk kalian semua.” Raffa mempertemukan ujung jari telunjuk hingga kelingking ke atas dan ujung ibu jari ke bawah dari kedua tangan membentuk “Love”, memajukannya agar terlihat oleh ribuan pasang mata.
Meski mengatakan untuk semuanya, sorot mata itu hanya terfokus pada satu orang. Rheena menyenggol lengan sang sahabat. Wajah merona dan perasaan gugup tak bisa lagi Frea sembunyikan. Tatap mata hangat itu merasuk ke hati dan berdesir dengan hebatnya. Meluluhlantakkan pertahanan yang susah payah dibangun selama ini. Hancur bersamaan musik yang dimainkan Nobody Win.
Lagu Musuh dan Sahabat - SID menggema. Wajah-wajah berbinar kakak-kakak kelas yang telah menjalani ujian kelulusan, menyatu dengan luapan kegembiraan. Berteriak mengikuti keseluruhan lirik yang dinyanyikan Raffa. Semua memancarkan sinar itu, mulai dari kelas satu sampai kelas tiga duduk akur memenuhi gedung pertunjukkan.
Gedung dengan interior yang didominasi warna merah dan termegah di Wilson Arts Senior High School. Semarak yang sangat tak ingin Frea akhiri. Berharap dapat merasakan lagi kebersamaan dengan Nobody Win dan seseorang yang masih melonjak-lonjak di atas panggung.
***