“Cinta membuat kita kekanak-kanakan. Tidak mau jujur, padahal sudah ketahuan. Mengelak sepanjang waktu. Tertangkap basah membuatmu bertingkah lucu. Sampai kapan pun kamu memendam perasaan, aku tetap tahu, kamu suka aku.” (RAFFA)
“Kak, aku masih ingat seminggu yang lalu, Kakak begitu mencermati foto Kakak saat manggung. Kuberikan padamu.”
Kata-kata Toni terngiang kembali. Mata disipitkan untuk mencermati selembar foto. Dia sangat ingin tertawa, tetapi ditahan-tahan, untuk menghindari tatapan aneh yang bisa jadi akan menarik perhatian teman-temannya yang tengah sibuk merapikan alat musik sehabis latihan.
Senyum-senyum saja mengingat tadi pagi Frea yang tertangkap basah sedang mencari foto yang sekarang ada di tangannya. Awalnya, dengan polos gadis itu mengatakan sedang mencari fotonya sendiri. Raffa ingat betul gadis imut itu telah melihat-lihat papan jauh sebelumnya. Barangkali karena gugup sedang berhadapan dengan orang terkeren di Wilson Arts Senior High School, sehingga dia lupa bahwa tidak ada foto penonton di balik papan kaca.
Raffa tersenyum sipu sambil mengubah posisi duduk menjadi rebahan di sofa panjang. Pandangan berseri-seri tidak lepas pada cerminan dirinya di lembar kertas foto yang diangkat tinggi-tinggi.
Tidak hanya dipandang, Fre, benda ini juga bisa kau miliki. Tidak hanya memiliki sebuah benda mati saja, kau juga bisa mendapatkan objek aslinya. Raffa terkekeh membayangkan gombalan di otak itu bisa benar-benar terjadi.
“Aneh, kenapa ketawa sendiri?” Muka Nicky tampak membesar di bola mata Raffa.
“Oh…, itu kan fotomu saat manggung, Bos?” Kepala Rahar menyembul tepat di samping kepala Raffa.
Ekspresi muka Raffa kaget dan tidak keruan. Ulah dua setan mengganggu kedamaian hati. Yang satu berdiri tepat di atas kepala dan yang satu berjongkok menengadah.
“Bukan urusan kalian…!” Teriak Raffa pura-pura marah.
Raffa segera menyingkir dari gangguan. Berlari kecil membawa perasaan berbunga-bunga. Dia tidak hendak menyingkirkannya. Perasaan yang mengingatkannya pada memori seminggu setelah acara akbar perpisahan kelas tiga—tepat sehari setelah foto dipajang—yang menjadi penyebab utama jantungnya berdegup kencang.
***
(Sebuah Foto Penghipnotis Hati)
Telunjuk Frea bergerak-gerak dari samping kiri ke samping kanan. Menengadah menelusuri bagian atas. Turun perlahan seirama dengan tatapan mata yang benar-benar difokuskan mengikuti gerakan jari di permukaan kaca. Sampai akhirnya berhenti dan menempel lama di tengah-tengah. Barangkali telah menemukan foto yang dia cari di antara puluhan foto dokumentasi konser band rangkaian acara perpisahan kelas tiga.
Raffa sejak awal sudah memerhatikan dari kejauhan. Saking serius, gadis itu tidak menyadari ada langkah mendekat. Terperanjat setelah menyadari akan sebuah pantulan wajah di kaca. Suara deham mengalihkan pandangan Frea dari papan ke pemuda di sebelahnya.
“Apa kau melihat fotoku?” Raffa ikut-ikutan meletakkan telunjuk bersisian dengan telunjuk Frea.
Bola mata gadis itu membulat penuh. Mata yang indah dengan garis alis melengkung seperti sabit terbalik, nyaris saja, membuat Raffa tenggelam. Mencoba kembali sadar dan berekspresi setenang mungkin. Memamerkan bibir yang dikatupkan dan dikembangkan lebar-lebar, serta mata disipitkan. Berusaha senyum semanis mungkin.