Chrysanthemum

DYAH UTARI, S.Pd.
Chapter #18

Bunga-bunga Harapan yang Layu

“Bagaimana menawarkan racun cemburu? Sudah menjalar hampir ke seluruh tubuh, nyaris mematikan perasaan. Aku hanya bisa menepis kekecewaan dengan seberapa sanggup aku memendam rasa, seberapa sanggup aku melihatnya dekat-dekat dengan gadis lain, dan seberapa sanggup menahan diri saat ia diam-diam memberi perhatian pada gadis lain.” (FREA)

“Zinta…?” Di ujung lorong asrama, Zinta tampak melangkah mendekat.

Frea ingat betul gaun yang dipakai gadis itu adalah miliknya. Terakhir ia pinjamkan saat ia terpaksa mengganti seragam yang basah akibat ulah Rara.

Lagi-lagi terlihat sepeti rival. Hanya sekitar tiga puluh sentimeter bertatap muka. Di balik ketenangan yang ditunjukkan keduanya, ada keangkuhan seolah hendak memperebutkan satu pria.

“Maaf, mengagetkanmu.” Zinta akhirnya tersenyum manis. “Kau pasti bertanya-tanya tentang gaun ini. Setelah dicuci, aku pasti kembalikan.” Ia lalu pamit bermaksud ke kamar.

Pandangan Frea mengikuti gerak punggung itu. Berpapasan dengan Rheena yang sedang mengucek-ucek mata. Frea tanpa ekspresi, mencermati jam dinding. Jam sepuluh malam. Kemunculan gadis itu menimbulkan tanda tanya besar. Dari mana dan dengan siapa.

Rheena yang masih menguap-nguap menyenggol lengan Frea. “Dari mana Zinta? Dia memakai gaunmu?”

Frea mengangguk dengan tatapan terus berpikir. Sementara, Rheena menghilangkan rasa kantuk dengan menunjukkan tampang serius dan melipat kedua tangan di dada.

“Sebelum ini, Zinta pernah memakainya di depan anak-anak Nobody Win. Saat itu semua memandang kagum dengan perubahannya yang semula tomboi menjadi anggun.”

Frea mengangguk sekali lagi. Kali ini tampak ragu-ragu.

“Tapi kali ini, ia pamer ke siapa? Ke seluruh sekolah? Minggu pagi biasanya banyak siswa bertamasya di taman, tapi gadis itu tidak tampak. Bahkan, saat kita mengunjungi perpustakaan, sepanjang lorong ke sana, kita tak melihatnya,” kata Rheena berasumsi.

“Mungkin hanya ingin menunjukkannya pada anak-anak Nobody Win.”

“Tidak mungkin. Sore tadi aku berpapasan dengan Nicky. Ia malah sedang mencari-cari Zinta dan Raffa karena janjian latihan,” sanggah Rheena yakin. “Mereka menghilang secara bersamaan.” Tebakan Rheena membuat Frea terperangah. “Itu artinya, ia ingin tampil di depan seseorang yang ia sukai. Raffa?” Dugaan terakhir itu membuat hati Frea mendadak kalut.

“Apa mereka—” Sepasang mata Frea menatap sayup pada Rheena.

“Sebuah kencan?”

Frea bungkam. Pertanyaan Rheena menggantung. Frea ingin menyampaikan lewat isyarat agar mereka menyudahi saja dugaan-dugaan itu. Setelah tadi mengantar Rheena ke kamar kecil, Frea lalu meraih lengan sang sahabat kembali ke kamar. Tanpa berkata-kata.

***

Ada sesuatu yang aneh di sepanjang lorong kelas. Banyak siswa berarak-arak menuju suatu tempat. Makin lama makin berlari. Frea dan Rheena yang berjalan berdampingan harus berkali-kali merenggang demi menghindari mereka.

Dan di antara gerombolan itu ada si Cupu yang mencoba mendahului. Tangannya sekuat tenaga menyibak tubuh-tubuh yang menghalangi. Teriakan Rheena pada Tony tenggelam begitu saja ditelan siswa-siswa lain yang bergerak maju. Entah ke mana.

“Urusanku bukan lagi urusanmu….” Sebaris kalimat sayup-sayup Frea tangkap.

Lihat selengkapnya