“Sejauh apa pandanganmu tentangku, yang jelas kesalahpahaman sudah meruntuhkan senyummu untukku. Seharusnya jangan menilaiku macam-macam, cukup satu saja, kalau aku ini pemuda yang memiliki perasaan suka terhadapmu.” (RAFFA)
Kabut makin terlihat di wajah Raffa. Dia duduk di hamparan rumput tanpa gairah. Dengan pandangan tidak mengerti tertuju pada foto di tangan. Otak yang terusik oleh pertanyaan tentang bagaimana nasib selembar kertas tebal ini selanjutnya. Gadis manis yang tersipu-sipu tertangkap langsung olehnya karena sedang mencari-cari benda yang sekarang terlihat lusuh. Ada bekas lipatan-lipatan karena remasan tangan Raffa sendiri. Sempat akan dibuang. Terluka karena sikapnya—pertemuan kedua mata penuh keengganan secara sepihak—yang membuang muka tanpa basa-basi.
Di antara para siswa yang menyaksikan perseteruan dengan Rara, barangkali dia termasuk di dalamnya. Dia pasti sudah berpikiran macam-macam. Begitulah ketakutan Raffa yang tiada habisnya. Yang membawa Raffa ke memori memalukan pagi tadi.
***
“Apa kau suka dengan Zinta…? Bagaimana kau begitu tega di saat aku dan Erik berakhir!” kata Zinta meledak-ledak mengeluarkan semua isi hati.
Perhatian beberapa siswa mulai tertuju pada Rara dan Raffa. Zinta mencoba menarik Rara pergi, tetapi sia-sia. Saudara tirinya terlalu kalap. Kemudian, seiring suaranya yang ditinggikan, makin bertambah siswa yang berdatangan mulai mengitari.
Kesengajaan gadis labil itu mencari perhatian benar-benar mempermalukan Raffa. Bosan berurusan dengannya. Jika sudah terbentur dengan ego Rara, dia tidak akan dibiarkan pergi dengan mudah. Sebelum dia puas meluapkan emosi.
Tiap kata yang dia teriakkan akan menguap begitu saja, tepat di depan Raffa. Pikiran pemuda ini hanya mencari celah untuk melarikan diri. Di depan sana, ada lorong ke suatu ruangan yang bisa menyembunyikannya barang sesaat. Sayangnya, gerak-geriknya terbaca. Baru sempat menggeser badan, dia sudah mencekal lengan kuat-kuat. Memelototkan mata seperti hendak mengatakan pembicaraan ini belum selesai. Raffa linglung. Dia benar-benar ditelan bulat-bulat.
“Raf, katakan padaku bahwa hubungan kalian bohongan, hanya untuk membalasku. Iya kan?” Lagi-lagi, ucapan Rara—di telinga Raffa terkesan seperti suatu pekikan—melengking merusak pendengaran.
Gerah dengan sikap kekanak-kanakan Rara. Dia bukan lagi serupa perempuan yang harus diperlakukan secara lembut. “Urusanku bukan lagi urusanmu!” Pegangan di lengan Raffa dikibaskan. Kasar.
Raut ngotot Rara mendadak lenyap. Mata berkaca-kaca yang dipamerkan tidak lantas membuat Raffa iba. Hanya mendengus. Tidak ada rasa simpati mengingat segala hal licik yang dia lakukan pada saudara tirinya.