“Mari berbincang dari hati ke hati. Sudah saatnya aku mengungkapkan isi hatiku. Konyolnya, aku sudah ketahuan suka olehnya. Malu, tapi sudah begitu, kenapa aku harus menjauh.” (FREA)
Frea melihatnya. Sangat dekat. Entah angin apa yang membawa mereka berada di tempat yang sama. Angin belakang rumah seperti biasanya menerpa tirai balkon hingga terkembang melambai-lambai.
Frea berdiri di pagaran balkon kamarnya dahulu, di kediaman Pak Wilson. Ia bisa melihatnya duduk di rerumputan tak jauh di bawah sana. Raffa berbalik dan mendongak. Bersuanya mata membuat desir di hati makin kuat dan detak jantung yang tak biasa. Tak bisa berdiri tenang saat kedalaman mata itu memancarkan sinar jernih. Tak meredup meski langit sore sudah tampak.
“Kemari, Fre…, aku ingin memberimu sesuatu…!” Raffa berteriak.
Tak hanya itu, Raffa bahkan berdiri dari duduk santai dan tangan kanan melambai-lambai memamerkan sesuatu. Senyum malu mekar di pipi. Berona serupa buah tomat setelah tahu barang apa yang ada di tangannya.
Raffa tahu foto siapa yang ia cari-cari selama ini. Dua kali ia kepergok sedang memelototi papan kaca. Saat itu, Raffa menunjuk ke tengah-tengah—potret Raffa sedang berdiri gagah menyanyi—di mana telunjuk Frea juga menempel di permukaannya. Teringat betapa keren Raffa saat menunjukkan kemahiran memainkan gitar. Menambah daya pikatnya di panggung.
“Fre…, tak perlu kau minta, foto ini untukmu!” seru Raffa mengembalikan kesadaran Frea yang mendadak hilang karena foto penghipnotis hati itu.
Jongkok dengan cepat dan menutup rapat wajah demi menyembunyikan rasa malu. Di balik pagaran balkon, tawa Raffa membahana. Sementara Frea, susah payah mengatur napas meredakan degup jantung kencang. Gelisah karena Raffa telah menyadari perasaan Frea sejak awal.
“Tak cuma selembar kertas tebal ini yang akan kuberikan padamu. Bahkan, secara sukarela hatiku akan kuberikan!”
Sontak teriakan Raffa membuat Frea menelan ludah susah payah. Akan tampak tawa lebar seandainya ia tak menutupinya dengan kedua tangan. Jika berhadapan langsung nanti, kecanggungan pasti melanda. Bingung pada ungkapan hati Raffa. Kata-kata yang diharapkan itu sedikit menyulitkan gerak Frea.
“Fre, kau tidak mau?” Pertanyaan diserukan dan berulang-ulang. Frea terpaksa muncul dari balik pagaran balkon dan berkali-kali pula meminta Raffa berhenti. Teriakan itu terlampau melambungkan perasaan. Tak terkira rasanya.
***
(Bunga-bunga Harapan Bermekaran di Semerbak Asmara)
Meski tiupan angin menerpa kasar, dua sejoli enggan beranjak. Permukaan danau yang tenang menjadi pemandangan yang terbingkai di bola mata. Sesekali si gadis tersenyum simpul memandangi foto di genggaman.
“Lama rasanya tak bertegur sapa.” Pemuda sama persis yang ada di potret membuka suara.
Gadis yang duduk bersebelahan dengannya, mengiyakan dalam hati. Dua sahabat seolah dipertemukan kembali dari perjalanan berlawanan arah dan tujuan. Raffa dan Frea kembali dapat beradu pandang dalam jarak dekat. Sorot mata yang sama-sama teduh. Jauh ke dasar bola mata Raffa, Frea dapat menangkap tingkah kocaknya sendiri.
Saat itu, Raffa berteriak keras-keras mencoba memberikan peringatan terakhir.“Kau tak mau kemari? Kau rela foto ini kubuang? Ikhlas jika terpaksa hatiku untukmu kubuang?”
Sontak Frea kalang kabut. Ia terpaksa harus berlari kecil meninggalkan balkon, padahal ia tahu Raffa hanya menggodanya. Bagaimana mungkin Frea bisa mengelak. Hatinya sudah terjebak oleh semerbak asmara. Sejak awal.